Oleh Ilham Prisgunanto
Melihat fenomena berandal bermotor , pada kenyataannya hampir 30 persen pelaku berandal bermotor adalah remaja SMP dan SMA, sedangkan 35 persen adalah pengangguran (Pikiran Rakyat, 23/11/2010). Bagaimana menyelamatkan 30 persen remaja yang masuk dalam berandal bermotor ini? Apakah cukup dengan tindakan keras dan represif?
Dari hasil penelitian diketahui problematika terbesar kriminalitas pada berandal bermotor berangkat dari krisis identitas remaja yang kemudian tersalurkan ke dalam kelompok-kelompok tanpa bentuk yang dinamakan berandal bermotor ini. Darah remaja yang "panas", sikap labil, dan pencarian pengakuan diri mereka yang meluap-luap diarahkan untuk kepentingan oknum-oknum tertentu di kelompok berandal bermotor. Di sinilah terjadi proses pembentukan fantasi melalui episode komunikasi yang disebutkan Ernest Boorman sebagai penguatan control of subjectives meaning lewat organisasi (Boorman, 1972).
Dengan demikian, jelas bahwa berandal bermotor secara organisasi mampu melancarkan aksinya dengan memelihara fantasi-fantasi yang ada di benak remaja dengan memainkan saga-saga (cerita-cerita hikayat) yang melekat pada gambaran berandal bermotor tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa fantasi-fantasi kelompok ini akan mengerucut kepada sosok pimpinan kelompok itu sendiri. Banyak remaja mengaku tidak sadar melakukan aksi kriminal dan menganggap tindakan tersebut sudah biasa dilakukan di kelompok berandal bermotor? Apakah kejadian ini tidak ironis?
Satu hal yang perlu dipahami, proses remaja masuk ke dalam kelompok berandal bermotor juga tidak sepele karena kesalahan pribadi sikap mereka, melainkan upaya pelarian dari lingkungan yang mengimpit dan memuakkan. Dari hasil wawancara dengan remaja yang terlibat dengan kelompok berandal bermotor, mereka menyebutkan bahwa kemacetan di kota Bandung dan banyaknya mobil memunculkan rasa kekesalan mendalam pada kalangan kaya (berduit). Di sini semakin kuat kesenjangan sosial antara yang kaya dengan miskin.
Belum lagi permasalahan stres pada remaja dengan sistem pendidikan yang begitu ketat dan aturan yang kompleks, ditambah lagi dengan beban pendidikan yang terlalu berat dirasakan remaja. Sebagian remaja pun mencari kebanggaan lain di luar bangku sekolah dengan ikut kelompok berandal bermotor.
Kelompok berandal bermotor dianggap mampu mengakomodasi, tidak pilih kasih seperti sekolah yang semakin komersial. Cukup dengan minimal punya sepeda motor (walau tidak harus) dan sering nongkrong bareng, kemudian ikut inisiasi, lalu diterima. Tentu proses inisiasi ini dipenuhi dengan tindakan kriminal, seperti menodong dan aksi kekerasan dengan kelompok berandal bermotor lain, berkendara ugal-ugalan, penjambretan, melawan aparat, sampai dengan kejahatan narkoba.
Klausul melawan aparat inilah yang ditakutkan. Bayangkan apakah aparat dapat dengan mudah mengenali seorang remaja itu berandal bermotor? Sebaliknya, apakah kelompok berandal bermotor mudah mengenali seseorang adalah aparat? Tentu saja sangat sulit bagi aparat mengenali seorang remaja adalah berandal bermotor apalagi bila dia tidak menggunakan atribut atau tidak tercatat dalam catatan kepolisian karena melakukan kejahatan. Sebaliknya, seorang aparat sangat mudah dikenali dari pakaian dan atribut yang digunakan. Hal inilah yang harus diwaspadai oleh semua kesatuan, baik Polri maupun TNI.
Tindakan nyata
Dengan lugas penulis menyebutkan bahwa pembuatan surat kesepakatan bersama (SKB) pelarangan segala ke-giatan kelompok berandal bermotor di wilayah Kabupaten Bandung sudah sangat tepat. Namun, upaya itu harus dibarengi dengan tindakan nyata perlawanan kepada kelompok berandal bermotor sampai ke akar-akarnya. Janganlah kita menyalahkan remaja dan menjadikannya sebagai objek yang bertanggung jawab penuh terhadap tindakan kriminal kelompok berandal bermotor karena hal itu akan menambah beban stres remaja dan melegitimasi mereka akan pembenaran dan keberpihakan kepada kelompok berandalan bermotor.
Jangan pula menyalahkan kepemilikan kendaraan bermotor pada remaja (yang memang sudah cukup usia). Pada kenyataannya, banyak juga remaja yang berprofesi sebagai penarik sepeda motor (ojek) dan ini adalah bentuk ketidakadilan. Jika remaja tidak boleh berkumpul dan berjalan beriringan dengan sesama remaja, hal itu juga sangat mengerdilkan remaja di Bandung. Apakah kita semua tidak takut nantinya remaja Bandung menjadi kurang pergaulan, tertutup, dan semakin stres?
Semua pihak seharusnya mengintrospeksi sikap protes remaja lewat kelompok berandalan bermotor ini dengan membenahi sistem pendidikan, terutama tingkat SMP dan SMA yang menjauhkan aspek komersial sehingga tidak ada perasaan tersisihkan dari remaja yang kurang beruntung. Pemerintah daerah seharusnya mulai membenahi sistem transportasi sehingga memperkecil tingkat kemacetan di wilayah Jawa Barat. Aparat keamanan seharusnya merangkul remaja dengan pendekatan keluarga, mengedepankan sikap bijaksana dan kebapakan, bukan ketakutan yang akan memunculkan kebencian.
Galakkan program kelurga utuh dengan mengembalikan sistem keluarga yang sehat, kuat, sehingga remaja kembali ke dalam ranah anak-anak yang perlu dibina dan diarahkan. Keluarga menjadi wadah tampungan segala keluh kesah, kekesalan, dan pencarian identitas. Hidupkan komunikasi intim keluarga antara bapak/ibu dan anak sehingga anak tidak mencari informasi dan berkeluh kesah dengan pihak di luar keluarga.***
Penulis, dosen perguruan tinggi ilmu kepolisian dan kandidat doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.
Melihat fenomena berandal bermotor , pada kenyataannya hampir 30 persen pelaku berandal bermotor adalah remaja SMP dan SMA, sedangkan 35 persen adalah pengangguran (Pikiran Rakyat, 23/11/2010). Bagaimana menyelamatkan 30 persen remaja yang masuk dalam berandal bermotor ini? Apakah cukup dengan tindakan keras dan represif?
Dari hasil penelitian diketahui problematika terbesar kriminalitas pada berandal bermotor berangkat dari krisis identitas remaja yang kemudian tersalurkan ke dalam kelompok-kelompok tanpa bentuk yang dinamakan berandal bermotor ini. Darah remaja yang "panas", sikap labil, dan pencarian pengakuan diri mereka yang meluap-luap diarahkan untuk kepentingan oknum-oknum tertentu di kelompok berandal bermotor. Di sinilah terjadi proses pembentukan fantasi melalui episode komunikasi yang disebutkan Ernest Boorman sebagai penguatan control of subjectives meaning lewat organisasi (Boorman, 1972).
Dengan demikian, jelas bahwa berandal bermotor secara organisasi mampu melancarkan aksinya dengan memelihara fantasi-fantasi yang ada di benak remaja dengan memainkan saga-saga (cerita-cerita hikayat) yang melekat pada gambaran berandal bermotor tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa fantasi-fantasi kelompok ini akan mengerucut kepada sosok pimpinan kelompok itu sendiri. Banyak remaja mengaku tidak sadar melakukan aksi kriminal dan menganggap tindakan tersebut sudah biasa dilakukan di kelompok berandal bermotor? Apakah kejadian ini tidak ironis?
Satu hal yang perlu dipahami, proses remaja masuk ke dalam kelompok berandal bermotor juga tidak sepele karena kesalahan pribadi sikap mereka, melainkan upaya pelarian dari lingkungan yang mengimpit dan memuakkan. Dari hasil wawancara dengan remaja yang terlibat dengan kelompok berandal bermotor, mereka menyebutkan bahwa kemacetan di kota Bandung dan banyaknya mobil memunculkan rasa kekesalan mendalam pada kalangan kaya (berduit). Di sini semakin kuat kesenjangan sosial antara yang kaya dengan miskin.
Belum lagi permasalahan stres pada remaja dengan sistem pendidikan yang begitu ketat dan aturan yang kompleks, ditambah lagi dengan beban pendidikan yang terlalu berat dirasakan remaja. Sebagian remaja pun mencari kebanggaan lain di luar bangku sekolah dengan ikut kelompok berandal bermotor.
Kelompok berandal bermotor dianggap mampu mengakomodasi, tidak pilih kasih seperti sekolah yang semakin komersial. Cukup dengan minimal punya sepeda motor (walau tidak harus) dan sering nongkrong bareng, kemudian ikut inisiasi, lalu diterima. Tentu proses inisiasi ini dipenuhi dengan tindakan kriminal, seperti menodong dan aksi kekerasan dengan kelompok berandal bermotor lain, berkendara ugal-ugalan, penjambretan, melawan aparat, sampai dengan kejahatan narkoba.
Klausul melawan aparat inilah yang ditakutkan. Bayangkan apakah aparat dapat dengan mudah mengenali seorang remaja itu berandal bermotor? Sebaliknya, apakah kelompok berandal bermotor mudah mengenali seseorang adalah aparat? Tentu saja sangat sulit bagi aparat mengenali seorang remaja adalah berandal bermotor apalagi bila dia tidak menggunakan atribut atau tidak tercatat dalam catatan kepolisian karena melakukan kejahatan. Sebaliknya, seorang aparat sangat mudah dikenali dari pakaian dan atribut yang digunakan. Hal inilah yang harus diwaspadai oleh semua kesatuan, baik Polri maupun TNI.
Tindakan nyata
Dengan lugas penulis menyebutkan bahwa pembuatan surat kesepakatan bersama (SKB) pelarangan segala ke-giatan kelompok berandal bermotor di wilayah Kabupaten Bandung sudah sangat tepat. Namun, upaya itu harus dibarengi dengan tindakan nyata perlawanan kepada kelompok berandal bermotor sampai ke akar-akarnya. Janganlah kita menyalahkan remaja dan menjadikannya sebagai objek yang bertanggung jawab penuh terhadap tindakan kriminal kelompok berandal bermotor karena hal itu akan menambah beban stres remaja dan melegitimasi mereka akan pembenaran dan keberpihakan kepada kelompok berandalan bermotor.
Jangan pula menyalahkan kepemilikan kendaraan bermotor pada remaja (yang memang sudah cukup usia). Pada kenyataannya, banyak juga remaja yang berprofesi sebagai penarik sepeda motor (ojek) dan ini adalah bentuk ketidakadilan. Jika remaja tidak boleh berkumpul dan berjalan beriringan dengan sesama remaja, hal itu juga sangat mengerdilkan remaja di Bandung. Apakah kita semua tidak takut nantinya remaja Bandung menjadi kurang pergaulan, tertutup, dan semakin stres?
Semua pihak seharusnya mengintrospeksi sikap protes remaja lewat kelompok berandalan bermotor ini dengan membenahi sistem pendidikan, terutama tingkat SMP dan SMA yang menjauhkan aspek komersial sehingga tidak ada perasaan tersisihkan dari remaja yang kurang beruntung. Pemerintah daerah seharusnya mulai membenahi sistem transportasi sehingga memperkecil tingkat kemacetan di wilayah Jawa Barat. Aparat keamanan seharusnya merangkul remaja dengan pendekatan keluarga, mengedepankan sikap bijaksana dan kebapakan, bukan ketakutan yang akan memunculkan kebencian.
Galakkan program kelurga utuh dengan mengembalikan sistem keluarga yang sehat, kuat, sehingga remaja kembali ke dalam ranah anak-anak yang perlu dibina dan diarahkan. Keluarga menjadi wadah tampungan segala keluh kesah, kekesalan, dan pencarian identitas. Hidupkan komunikasi intim keluarga antara bapak/ibu dan anak sehingga anak tidak mencari informasi dan berkeluh kesah dengan pihak di luar keluarga.***
Penulis, dosen perguruan tinggi ilmu kepolisian dan kandidat doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.
Opini Pikiran Rakyat 15 Desember 2010