14 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Buruh Perkebunan, Terjajah di Negara Merdeka

Buruh Perkebunan, Terjajah di Negara Merdeka

Oleh : Maruba Nababan S.Sos
Kata buruh adalah sebutan kasar dan bersifat kekiri-kirian bagi masyarakat umum, sehingga sebutan ini jarang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari diperkebunan.
Kata buruh terkesan kasar dan merupakan kelas bawah dalam pranata sosial. Dalam perundang-undangan buruh atau yang biasa disebut pekerja merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain dalam satu perusahaan. Sedangkan Pengusaha adalah orang atau sekelompok orang yang menjalankan perusahaan dengan maksud mendapatkan keuntungan.
Buruh dan Pengusaha pada prakteknya tidak setara kedudukannya dalam pranata sosial perkebunan, pengusaha selalu membuat jurang pemisah dengan buruh, baik dalam pengupahan, fasilitas rumah, maupun fasilitas pekerjaan serta posisi tempat duduk dalam suatu acara-acara yang berlangsung dalam lingkungan perusahaan. Pada beberapa perkebunan di Labuhanbatu, pengusaha mengkooptasi Serikat Buruh/pekerja dengan turut campur tangan dan pendanaan proses pemilihan pengurus serikat, penyediaan kantor Serikat Buruh oleh pengusaha. Sehingga, pengurus-pengurus yang terpilihpun tidak mampu membuat gebrakan dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya.
Pengusaha melalui kaki tangannya (Manajer, Asisten Kepala dan Asisten Divisi), "dilarang" bersosialisasi dengan buruh, dengan cara, pemisahan kompleks perumahan Manajer dan Asisten dengan perumahan buruh (Emplasment), Pakaian Kerja Manajer dan Asisten yang berbeda yaitu Celana pendek putih dan baju putih dengan memakai sepatu (persis seperti tuan-tuan kebun pada jaman penjajahan), hal ini untuk mempengaruhi buruh supaya takut terhadap Manajer, atau asisten. Sebab praktek para tuan kebun pada zaman dulu yang kejam masih menghantui pemikiran para buruh. (buruh sudah ada yang generasi ketiga diperkebunan yang sama). Bahkan dalam masa perekrutan dan pendidikan calon Asisten, sudah ada paham yang diajarkan tentang larangan bersosialisasi dengan buruh kelas bawah di perkebunan.
Perumahan buruh yang berada terpusat di kompleks perkebunan membuat buruh menjadi komunitas yang paling rentan untuk penindasan dan ketinggalan jaman, kenapa tidak, komplek perumahan buruh sangat jauh dari keramaian, kwalitas jalan yang buruk, air yang terbatas dan tidak bersih, pemakaian listrik yang terbatas (genset) dan pekerjaan yang menuntut "kedisiplinan" dan pengawalan ketat dari satpam kebun dengan membuat palang pada setiap pintu masuk perkebunan sehingga setiap buruh dan tamu yang datang dapat terpantau, dimana pada beberapa perkebunan besar sampai meminta meninggalkan KTP pada setiap tamu yang berkunjung ke perumahan buruh.
Bak mandi umum yang disediakan perusahaan juga menimbulkan masalah sosial baru bagi buruh. Dimana antara kamar mandi laki-laki dan perempuan berdekatan, sehingga pada setiap mau mandi-setelah mandi dan menuju pulang kerumahnya Aurat perempuan keliatan sehingga menaikkan birahi laki-laki. Ditambah faktor kebosanan dengan pasangannya, maka seringkali terjadi pelacuran terselubung dan sudah menjadi rahasia umum di kompleks. Pelacuran terselubung tersebut bukan karena faktor materi semata, namun didasasri atas suka sama suka dan menjadi sebuah rekreasi/tradisi. Dari hasil pengamatan penulis, fenomena ini sudah menjadi rahasia umum dikompleks. Bahkan ada suami-istri yang melakoni hal tersebut dan sudah saling tahu tapi tidak mau tahu. Adapun yang menjadi tempat praktek adalah di ancak yang jauh dari komplek perumahan buruh. Pekerjaan Buruh.
Dalam satu perusahaan, buruh diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu Buruh Harian Lepas (BHL) dan Buruh Syarat Kerja Utama (SKU). BHL berasal dari masyarakat dari sekitar perkebunan yang mayoritas adalah kaum perempuan dan dijemput truk setiap pagi pukul 6.00 WIB oleh pihak perusahaan ke perkampungan-perkampungan dan diantar pulang kembali pada pukul 15-17 Sore. a. BHL (Buruh Harian Lepas). BHL ini sehari-sehari bekerja sebagai pemupuk, pendongkel anak kayu, membabat piringan, mencuci parit, mengutip brondolan di jalan, memuat Tandan Buah Segar (TBS) ke-truk pengangkut dan penyemprot, sensus (mencari hama), menanam bunga di pinggir jalan, mencabut sawit tumbuh dipokok. BHL ada juga yang tinggal di perumahan perkebunan dan umumnya bekerja sebagai pemanen. BHL yang dijemput dari kampung, setiap bulan juga membayar Rp. 5000 /orang kepada sopir sebagai uang transport.
BHL-BHL tersebut bekerja selama 7 jam/hari dengan upah Rp. 34-35 ribu /hari. Sedangkan BHL pemanen mendapatkan upah tambahan sesuai dengan banyaknya buah yang dipanen setelah mendapat basis borong dengan upah pokok 1.005.000/bulan tahun 2010. Untuk BHL dari perkampungan itu direkrut oleh seseorang agen yang juga menjadi mandor, BHL ini hanya mendapat upah jika bekerja dan segala resiko ditanggung si BHL itu sendiri. BHL-BHL ini bekerja melebihi 20 hari kerja setiap bulannya, pada hal dalam undang-undang dikatakan bahwa jika buruh bekerja selama lebih dari 20 hari kerja setiap bulannya maka buruh tersebut sama haknya dengan pekerja tetap lainnya. Artinya ketika pekerja tetap mendapat THR, Beras, peralatan kerja, perlindungan K3, perobatan jika sakit karena hubungan kerja, bonusan maka si BHL juga berhak mendapatkannya.b.SKU atau pekerja tetap. Jumlah buruh tetap di Labuhanbatu sesuai dengan data Pemerintah (Dinas Sosial dan Tenaga Kerja) yang tercatat adalah 8127 orang dan tersebar di 24 perusahaan perkebunan. Buruh tetap atau biasa disebut SKU (Syarat Kerja Utama) atau PKWTT. Dalam setiap perkebunan telah ada dibuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara Serikat Buruh dengan manajemen perusahaan. Tetapi masih banyak pula perkebunan-perkebunan yang belum memiliki PKB, sehingga yang masih berlaku adalah Peraturan Perusahaan.
PKB merupakan benang pengikat kerja yang seharusnya menjadi barometer dalam setiap hubungan kerja, sehingga tidak boleh ada penyimpangan dari kedua belah pihak. Namun fakta dilapangan, dominasi perusahaan lebih besar dan manajemen perusahaan seringkali menyembunyikan dokumen PKB tersebut sehingga banyak buruh yang tidak tahu. Pada akhirnya pihak perusahaan leluasa menggunakan cara yang merugikan buruh dalam hubungan kerja.
Serikat Buruh yang seharusnya menjadi benteng perjuangan hak buruh ternyata tidak mampu dan seolah-olah menutup mata. Pengurus Serikat Buruh hanya menuntut haknya kepada anggota, yaitu uang iuran bulanan dan dipotong langsung oleh pihak perusahaan dari gaji buruh setiap bulannya. Dan ada pula praktek Serikat Buruh yang mengharuskan setiap anggota memberikan persenan dari uang bonus yang diterima setiap bulannya.
Serikat Buruh seharusnya berkewajiban melindungi dan membela anggota dari pelang
garan hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya, memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya dan mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Buruh kini berada diantara tekanan tiga sisi yaitu Pemerintah, Pengusaha dan Serikat Buruh. Buruh yang hanya memiliki tenaga tidak mampu mengatasi persoalan hidupnya (makan bergizi, menyekolahkan anak, kesehatan, perumahan yang manusiawi dan masa depan yang tidak pasti).
Pengusaha yang bermotif ekonomi (mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sedikit) menghalalkan segala cara termasuk "kongkalikong" dengan Serikat Buruh.
Serikat buruh hanya dimiliki oleh pengurus saja, dan anggota hanya menjadi "sapi perahan" (dengan membayar iuran setiap bulannya).
Idealnya pengurus sebuah Serikat Buruh harus memberikan pendidikan terhadap anggotanya, membela anggotanya sebagai wujud kewajiban terhadap anggotanya.
Disamping itu pendidikan juga dimaksudkan untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin serikat kedepannya, sehingga regenerasi kepengurusan yang solid and capable sesuai dengan perkembangan jaman dapat tercapai.
Pemerintah idealnya adalah sebagai lembaga yang berwenang mengawasi implementasi Undang-undang ketenaga kerjaan, dan ikut dalam penentuan upah setiap bulannya ternyata tidak seperti yang diharapkan. Kebebasan berserikat dibeberapa tempat masih dikekang, kebebasan buruh untuk berdikusi masih dihantui oleh satuan pengaman kebun, dan upah yang ditetapkan juga masih jauh dari harapan buruh.
Upah yang ditetapkan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan makan yang bergizi apalagi menyekolahkan anaknya. Sehingga untuk mendapat upah yang besar dalam rangka memenuhi kebutuhannya tidak jarang anak buruh dilibatkan dalam kerja (gardang), sehingga anaknya tidak bersekolah. Hasilnya adalah, si anak akan tetap menjadi buruh kelak seperti bapaknya, dan akan berlanjut pada generasi selanjutnya. Buruh, sungguh malang nasibmu.***
Penulis adalah Staf Perhimpunan Lentera Rakyat, Bidang Pengorganisasian, Alumnus jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Univ. Darma Agung Medan.
Opini Suara Analisa Daily 14 Desember 2010