Tak ada warta yang merisaukan bagi sebagian masyarakat konsumen di Indonesia menjelang tutup 2010 ini selain soal rencana pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah yang akan diberlakukan per 1 Januari 2011. Tampaknya masyarakat konsumen di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan 'ketiban sampur', alias menjadi kelinci percobaan pertama kali. Jika pelaksanaan di area Jabodetabek memetik sukses, kebijakan itu akan digulirkan ke area Jawa-Bali, dan akhirnya menjadi kebijakan nasional. Opsi yang dipilih cukup mencengangkan: kendaraan pribadi roda empat dilarang menggunakan BBM bersubsidi! Itulah isu krusialnya. Hanya kendaraan bermotor roda dua plus angkutan umum yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. Boleh jadi, kebijakan itu membuat kelompok kelas menengah di Jabodetabek kebat-kebit karena mesti merogoh kocek berlebih untuk menopang mobilitas mereka.
Distorsi ekonomi
Kendati belum konkret, bagaimanapun rencana kebijakan pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi layak diberikan apresiasi. Namun, rencana kebijakan itu banyak mengandung cacat bawaan dan oleh karena itu, layak ditolak. Alasannya?
Pertama, kebijakan itu juga akan memicu distorsi di bidang ekonomi, sosial, bahkan di sektor transportasi. Misalnya, akan terjadi migrasi pengguna kendaraan pribadi roda empat menjadi pengguna sepeda motor. Tanpa tekanan penggunaan BBM pun, tren sepeda motor sebagai moda alternatif sangat tinggi. Apalagi, jika pengguna mobil dilarang menggunakan BBM bersubsidi, mereka rela 'turun kelas' menjadi bikers, alias pengguna sepeda motor. Fenomena migrasi ini sangat rasional, mengingat, selisih harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi sangat signifikan. Kedua, dan ini yang agak konyol, pengusaha angkutan umum akan beralih profesi menjadi 'pengusaha premium'. Mereka akan 'menimbun' premium di rumah mereka kemudian dijual kepada pemilik kendaraan pribadi roda empat. Modus itu jauh lebih menguntungkan daripada mereka mencari sewa di jalan raya. Nyaris tidak ada instrumen peraturan yang bisa mengontrol dan bahkan melarang perilaku seperti itu.
Pada prinsipnya, sepanjang masih ada disparitas harga, potensi untuk timbulnya distorsi sangat besar. Seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman gas elpiji. Disparitas harga antara gas elpiji 3 kg dan 12 kg terbukti menimbulkan berbagai multidistorsi, yang klimaksnya adalah puluhan nyawa melayang.
Kepentingan neolib
Sebagian kalangan, termasuk konsumen, juga berasumsi bahwa pembatasan atau bahkan pencabutan subsidi BBM hanya akan menguntungkan SPBU asing (misalnya Shell dan Petronas). Asumsi itu tidak salah-salah amat karena, pertama, kualitas BBM dari SPBU milik Pertamina diduga lebih rendah jika dibandingkan dengan SPBU asing; kedua, kualitas pelayanan SPBU asing dalam beberapa hal terbukti lebih ciamik jika dibandingkan dengan SBPU yang dikelola Pertamina. Namun, asumsi semacam itu sepertinya tidak terlalu tepat. Pasalnya, jumlah SPBU asing masih sangat terbatas, hanya beberapa gelintir. Perlu waktu yang sangat lama untuk bisa menandingi jumlah SPBU yang dimiliki Pertamina. Jika memang terbukti kualitas BBM dan pelayanan SPBU Pertamina diklaim kurang bagus (substandar), seharusnya Pertamina tidak tinggal diam untuk memperbaiki kualitas BBM dan pelayanan mereka.
Bahkan, pembatasan dan atau pencabutan subsidi BBM dituding mengusung kepentingan neoliberalisme. Lo, tanpa tudingan semacam itu pun, pada faktanya kebijakan nasional di bidang minyak dan gas (migas) memang sarat dengan misi asing (baca: neoliberalisme). Tetapi, ingat, secara normatif kebijakan semacam itu justru dilegalisasi UU tentang Migas itu sendiri. Sejak awal, UU Migas secara ideologis memang mengusung kepentingan neoliberalisme, baik pada konteks kebijakan hulu dan/atau kebijakan hilir. Jadi, kalau tidak ingin ada kepentingan asing yang ikut bermain, ya, ubah dahulu UU Migas. DPR mempunyai hak normatif untuk mengubahnya. Atau, ajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Instrumen harga
Jurus yang digunakan pemerintah untuk membatasi subsidi BBM tersebut, selain tidak akan efektif, bahkan berisiko tinggi. Berbagai distorsi baik dari sisi ekonomi, sosial, dan bahkan politik sangat mungkin terjadi. Ini disebabkan kebijakan yang digagas pemerintah di luar kelaziman. Nyaris tidak ada negara yang menerapkan model yang demikian. Sejatinya, tidak ada instrumen kebijakan yang paling efektif untuk menekan tingginya konsumsi BBM bersubsidi, selain instrumen harga (pricing policy). Kalau niat pemerintah hanya ingin menekan subsidi BBM yang jumlahnya hanya sekitar Rp10 triliun-Rp12 triliun, menurut hasil kajian Reforminer Institute, pemerintah cukup menaikkan harga BBM Rp300 per liter. Wahai Bapak Presiden Yudhoyono (dan DPR) yang terhormat, masih ciutkah nyali politik Anda hanya untuk menaikkan harga premium Rp300 per liter?
Sandera politik
Betapa pun populisnya, melanggengkan subsidi BBM hingga menyundul langit nyaris tidak ada 'kamus' yang membenarkan. Bahkan, sarat dengan masalah, baik dari sisi kebijakan energi makro, transportasi publik, ekonomi, sosial, dan bahkan, maaf, merupakan stupid policy. Kecuali jika rezim pemerintahan sekarang (berikut DPR) memang ingin menjadikan BBM sebagai 'sandera politik' untuk memperkukuh kekuasan mereka, sebagaimana rezim Presiden Soeharto dahulu. Seharusnya Presiden Yudhoyono (dengan dukungan DPR) berani bermanuver dengan kebijakan radikal, yang pro terhadap lingkungan global, mengembangkan sarana transportasi publik massal, plus mewujudkan prinsip welfare state, yang sesungguhnya. Tanpa itu, selain melanggengkan kebodohan, rezim Presiden Yudhoyono terbukti mengembangbiakkan kesejahteran artifisial belaka. ***
Oleh Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI dan anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta
Distorsi ekonomi
Kendati belum konkret, bagaimanapun rencana kebijakan pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi layak diberikan apresiasi. Namun, rencana kebijakan itu banyak mengandung cacat bawaan dan oleh karena itu, layak ditolak. Alasannya?
Pertama, kebijakan itu juga akan memicu distorsi di bidang ekonomi, sosial, bahkan di sektor transportasi. Misalnya, akan terjadi migrasi pengguna kendaraan pribadi roda empat menjadi pengguna sepeda motor. Tanpa tekanan penggunaan BBM pun, tren sepeda motor sebagai moda alternatif sangat tinggi. Apalagi, jika pengguna mobil dilarang menggunakan BBM bersubsidi, mereka rela 'turun kelas' menjadi bikers, alias pengguna sepeda motor. Fenomena migrasi ini sangat rasional, mengingat, selisih harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi sangat signifikan. Kedua, dan ini yang agak konyol, pengusaha angkutan umum akan beralih profesi menjadi 'pengusaha premium'. Mereka akan 'menimbun' premium di rumah mereka kemudian dijual kepada pemilik kendaraan pribadi roda empat. Modus itu jauh lebih menguntungkan daripada mereka mencari sewa di jalan raya. Nyaris tidak ada instrumen peraturan yang bisa mengontrol dan bahkan melarang perilaku seperti itu.
Pada prinsipnya, sepanjang masih ada disparitas harga, potensi untuk timbulnya distorsi sangat besar. Seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman gas elpiji. Disparitas harga antara gas elpiji 3 kg dan 12 kg terbukti menimbulkan berbagai multidistorsi, yang klimaksnya adalah puluhan nyawa melayang.
Kepentingan neolib
Sebagian kalangan, termasuk konsumen, juga berasumsi bahwa pembatasan atau bahkan pencabutan subsidi BBM hanya akan menguntungkan SPBU asing (misalnya Shell dan Petronas). Asumsi itu tidak salah-salah amat karena, pertama, kualitas BBM dari SPBU milik Pertamina diduga lebih rendah jika dibandingkan dengan SPBU asing; kedua, kualitas pelayanan SPBU asing dalam beberapa hal terbukti lebih ciamik jika dibandingkan dengan SBPU yang dikelola Pertamina. Namun, asumsi semacam itu sepertinya tidak terlalu tepat. Pasalnya, jumlah SPBU asing masih sangat terbatas, hanya beberapa gelintir. Perlu waktu yang sangat lama untuk bisa menandingi jumlah SPBU yang dimiliki Pertamina. Jika memang terbukti kualitas BBM dan pelayanan SPBU Pertamina diklaim kurang bagus (substandar), seharusnya Pertamina tidak tinggal diam untuk memperbaiki kualitas BBM dan pelayanan mereka.
Bahkan, pembatasan dan atau pencabutan subsidi BBM dituding mengusung kepentingan neoliberalisme. Lo, tanpa tudingan semacam itu pun, pada faktanya kebijakan nasional di bidang minyak dan gas (migas) memang sarat dengan misi asing (baca: neoliberalisme). Tetapi, ingat, secara normatif kebijakan semacam itu justru dilegalisasi UU tentang Migas itu sendiri. Sejak awal, UU Migas secara ideologis memang mengusung kepentingan neoliberalisme, baik pada konteks kebijakan hulu dan/atau kebijakan hilir. Jadi, kalau tidak ingin ada kepentingan asing yang ikut bermain, ya, ubah dahulu UU Migas. DPR mempunyai hak normatif untuk mengubahnya. Atau, ajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Instrumen harga
Jurus yang digunakan pemerintah untuk membatasi subsidi BBM tersebut, selain tidak akan efektif, bahkan berisiko tinggi. Berbagai distorsi baik dari sisi ekonomi, sosial, dan bahkan politik sangat mungkin terjadi. Ini disebabkan kebijakan yang digagas pemerintah di luar kelaziman. Nyaris tidak ada negara yang menerapkan model yang demikian. Sejatinya, tidak ada instrumen kebijakan yang paling efektif untuk menekan tingginya konsumsi BBM bersubsidi, selain instrumen harga (pricing policy). Kalau niat pemerintah hanya ingin menekan subsidi BBM yang jumlahnya hanya sekitar Rp10 triliun-Rp12 triliun, menurut hasil kajian Reforminer Institute, pemerintah cukup menaikkan harga BBM Rp300 per liter. Wahai Bapak Presiden Yudhoyono (dan DPR) yang terhormat, masih ciutkah nyali politik Anda hanya untuk menaikkan harga premium Rp300 per liter?
Sandera politik
Betapa pun populisnya, melanggengkan subsidi BBM hingga menyundul langit nyaris tidak ada 'kamus' yang membenarkan. Bahkan, sarat dengan masalah, baik dari sisi kebijakan energi makro, transportasi publik, ekonomi, sosial, dan bahkan, maaf, merupakan stupid policy. Kecuali jika rezim pemerintahan sekarang (berikut DPR) memang ingin menjadikan BBM sebagai 'sandera politik' untuk memperkukuh kekuasan mereka, sebagaimana rezim Presiden Soeharto dahulu. Seharusnya Presiden Yudhoyono (dengan dukungan DPR) berani bermanuver dengan kebijakan radikal, yang pro terhadap lingkungan global, mengembangkan sarana transportasi publik massal, plus mewujudkan prinsip welfare state, yang sesungguhnya. Tanpa itu, selain melanggengkan kebodohan, rezim Presiden Yudhoyono terbukti mengembangbiakkan kesejahteran artifisial belaka. ***
Oleh Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI dan anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta
Opini Media Indonesia 15 Desember 2010