20 November 2009

» Home » Media Indonesia » Sumber dan Muara Mafia Hukum

Sumber dan Muara Mafia Hukum

Jajaran penegak hukum diharapkan dan dipercaya akan selalu memelihara ketertiban, rasa aman, dan keadilan dalam masyarakat. Karena itu, masyarakat akan kecewa berat dan gusar bila rasa percaya tersebut terganggu. Itulah problem yang sedang kita hadapi. Bangkit sikap saling curiga dan salah-menyalahkan di kalangan penegak hukum, sementara masyarakat ribut sendiri karena merasa dirinya terabaikan. Itu suatu tragedi karena ketika terbuka kesempatan dan ada kebebasan menggunakan akal sehat, kebijaksanaan, dan kepandaian demi terciptanya kehidupan lebih baik, kita menyia-nyiakannya.

Dalam setiap babak baru sejarahnya, masyarakat biasanya menghendaki perubahan atau perombakan demi perbaikan keadaan. Misalnya saat-saat ini kita ingin agar politik berjalan lancar dan tertib, ekonomi tumbuh menakjubkan, dan kehidupan rakyat aman dan nyaman. Untuk retorika politik, semua harapan itu enak didengar, tetapi problemnya terbukti luar biasa kompleks. Budaya berpengaruh besar terhadap proses modernisasi. Struktur dan lembaga-lembaga negara yang modern tidak selalu mencerminkan sikap modern orang-orang yang menjalankan sistem birokrasi dan yudisialnya.

Hukum sebagai muara semua persoalan
Tentang supremasi hukum, seorang mantan pejabat tinggi kejaksaan mengatakan sejak kita merdeka, supremasi hukum sulit terwujud karena berlakunya feodalisme dan paternalisme dalam masyarakat. Pola sosialnya mengagungkan orang-orang yang duduk di atas dan yang berperan sebagai pelindung. Karena status itulah, penguasa dianggap lazim menerima upeti atau memungut upeti dari orang-orang di bawahnya atau yang dilindunginya. Kebiasaan seperti itu tidak lazim berlaku di masyarakat-masyarakat modern.

Jadi, tidak benar bahwa lembaga-lembaga hukumnya yang kacau. Bagaimana hukum, yang notabene memiliki konsep modern, bisa tertib kalau terus-menerus terjadi penyimpangan ataupun intervensi oleh oknum-oknum petingginya maupun kekuasaan-kekuasaan lainnya? Walaupun undang-undang dan peraturan-peraturannya lengkap dan sempurna, kalau pelaksanaannya terganggu, pasti berakibat buruk. Itulah kultur yang terbangun, yang eksesnya ke mana-mana, termasuk dampaknya terhadap moral kalangan penegak hukum sendiri. Katanya lebih lanjut: kenyataan itu antara lain menjelaskan mengapa dalam kultur politik kita, supremasi hukum tidak pernah diakui sepenuhnya.

Faktanya, hukum selama ini ada kalanya malahan menjadi kendaraan orang-orang berkuasa, bukan hanya yang secara politis berkuasa atau yang berkuasa dalam pemerintahan, melainkan juga mereka yang memiliki uang atau nama; sebab bukankah orang mendapat kekuasaan lewat kedudukan, lewat uang, atau lewat nama? Buktinya, tindakan hukum menjadi alot kalau menyangkut orang-orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Misalnya, begitu banyak konglomerat 'hitam' meminjam istilah Kwik Kian Gie sampai sekarang masih hidup bebas, tidak tertangkap jeratan hukum sekalipun masyarakat terus-menerus menuntutnya. Sebaliknya, kalangan profesional bisa diganggu proses hukum karena mereka dalam posisi 'tidak berdaya' di depan hukum. Atau lihat bagaimana mudahnya memenjarakan penjahat-penjahat kecil seperti dalam kasus-kasus curanmor atau bahkan pencurian ayam.

Mereka yang merasa menjadi korban proses hukum boleh jadi bertanya, "Why me?" Sebaliknya, kita tidak pernah tahu apa yang ada dalam benak orang-orang yang merugikan negara miliaran atau bahkan triliunan rupiah. Mungkin nilai-nilai mereka berbeda. Mantan petinggi kejaksaan itu selanjutnya menegaskan mereka yang memiliki kekuasaan 'idu geni', meludah api. Artinya kata-kata mereka adalah titah, 'sabdo pandito ratu' yang tidak boleh ditolak.
 
Pernah dalam acara Brainstorming Breakfast, yang diadakan World Economic Forum di Jakarta, dibicarakan tentang hal-hal yang menghambat laju perkembangan ekonomi suatu negara. Pagi itu kami berbicara tentang Indonesia. Lembaga nirlaba yang berdiri sejak 1971 di bawah pengawasan pemerintah federal Swiss itu bertujuan mendorong kemakmuran dunia lewat kerja sama yang efektif dengan mendorong dinamisme kewirausahaan. Meja kami antara lain membicarakan ihwal sikap 'priayi' yang lebih mengutamakan kedudukan atau jabatan daripada kinerja. Sikap demikian tentu menimbulkan dampak negatif. Salah seorang pengusaha Eropa yang duduk bersama kami bercerita bahwa baru saja membuka perwakilannya di Singapura. Mengapa tidak memilih Indonesia yang lebih loh jinawi dan padat tenaga kerja? Jawaban dia sederhana: ada hambatan komunikasi karena kultur priayi itu.

Mengenai manajemen, pengusaha-pengusaha asing yang duduk semeja berpendapat: manajemen 'top-down' yang bisa sukses di Korea sulit berhasil di negeri ini karena berbagai peraturan dilanggar di semua jajaran. Yang parah adalah pelanggaran tertib hukum, yang membuat semua orang merasa kehilangan perlindungan, tetapi sebaliknya memungkinkan sekelompok kecil orang mengambil keuntungan dalam kerancuan itu.

Etika pemerintahan
Dalam buku M Ryaas Rasyid, Penjaga Hati Nurani Pemerintahan (2001), diceritakan bagaimana birokrat intelektual itu sejak kecil meyakini bahwa kita jangan takut kalau kita benar. Pertanyaannya, apakah Dr Ryaas Rasyid mendapat kesempatan menjadi nurani pemerintahan? Secara blakblakan dia mengatakan, "Saya belum tentu diakui kok sebagai representasi mereka (Depdagri)."

Kegalauan perasaannya tentang etika pemerintahan tercurah dalam ucapannya yang membuka bab tentang 'Etika Pemerintahan' dalam buku tersebut. Katanya, 'Saya sebenarnya sejak dulu sudah melihat adanya kevakuman etik dalam praktik politik dan pemerintahan. Tingkah laku kekuasaan kita hanya dikontrol oleh hukum yang tidak lengkap. Itu menjadi keprihatinan saya yang paling dalam'. Hal itu dia ucapkan November 2000, tepat sembilan tahun yang lalu.

Sebelum itu, ketika ditanya tentang usulnya mengenai pembentukan undang-undang etika pemerintahan, dia menjawab '...persoalan etika harus dipikirkan lebih mendalam dengan substansi yang lebih dalam. Undang-undang etika menyangkut tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi pelanggaran etis oleh hakim pun (bisa) dijerat dengan undang-undang ini...'. Mungkin yang dia maksud mirip Bills of Government's Ethics di Amerika yang mengatur etika dalam pemerintahan.

Memang kekalutan skandal nasional waktu ini memerlukan pencerahan nurani, khususnya di kalangan pemerintahan. Buku penjaga nurani pemerintahan bisa menjawab kebutuhan.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 20 November 2009