Sebenarnya, yang menarik perhatian bukanlah perkara hukumnya, tetapi keterlibatan para aktor besar, baik yang sekali-sekali tampil berterang-terangan di depan umum maupun yang bersembunyi di panggung belakang.
Perhatian publik membesar karena liputan media, yang menyuguhkan drama konflik ini sejak awal, kadang diimbuhi paparan faktual dan aktual, juga sering berupa dugaan berbau gosip. Namun, apa pun macam dan kualitas sajiannya, media telah merobohkan dinding-dinding institusi, yang memungkinkan panggung perkara terbuka, disaksikan publik.
Dulu, berbagai konflik hukum—apalagi yang sarat kepentingan politik—berlangsung secara tertutup dan baru terbuka saat konflik masuk sidang pengadilan terbuka. Kini konflik para penegak hukum dapat diikuti sejak awal.
Konflik bermula saat beberapa pihak mulai gerah dengan tindakan dan semangat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menimbulkan rasa waswas. Sang cicak (KPK) bergerak amat aktif menelan puluhan koruptor tanpa pilih-pilih. Dan sosok besar seperti buaya pun seolah tak sanggup menelan si cicak yang bukan sembarang cicak, tetapi superbody yang mempunyai kewenangan luar biasa.
Drama pertunjukan hukum dimulai saat lembaga berlabel buaya ini mencoba menahan cicak agar tidak bertindak terlalu jauh. Ada tudingan, sekaligus kekhawatiran, cicak ”tak tahu diri” dan akan bertindak sedemikian jauh, sampai-sampai terdeteksi kian mendekati ”ring satu”. Beberapa bulan lalu nyelonong lewat akses kasus BLBI dan kali ini (maunya) masuk lebih dalam melalui kasus Bank Century.
Drama ”cicak lawan buaya” mempertontonkan aneka manuver dalam suatu proses hukum yang dimainkan masing-masing pihak untuk saling menyerang dan bertahan. Dan ini baru babak awal. Grandfinal baru akan terjadi nanti jika masalah telah masuk forum pengadilan. Dulu, perhatian khalayak atas konflik semacam ini baru muncul saat permainan masuk babak final, dalam wujud panggung terbuka di ruang pengadilan.
Namun, kali ini semua pihak seolah tak sabar menunggu drama sebenarnya di pengadilan. Masyarakat segera melibatkan perhatian ke perkara yang sedang berlangsung, termasuk keberpihakannya. Media, yang gencar memberitakan perkembangan perkara, mengekspos proses-proses yang semula berlangsung di belakang tembok yang tak gampang dilongok.
Kini masalah kian terbuka. Saat fakta perkara terpapar dan tergambar pada ribuan mata pemerhati, masyarakat—yang selama ini sebenarnya sudah acap curiga, tetapi tak pernah bisa beroleh bukti nyata—seolah mendapat kesempatan untuk ikut menelisik dan menyelidik.
Kini, situasi menjadi kian sulit bagi aparat penegak hukum untuk bermain di belakang tembok institusi secara tertutup, atau berahasia-rahasia. Berbagai keputusan yang diambil tanpa argumen segera diketahui khalayak, yang umumnya didasarkan pada kaidah-kaidah legal formal, gampang dicurigai sebagai kolusi di belakang panggung dan punggung.
Di tengah kehidupan politik yang diprasangkai penuh manuver pejabat pemerintah yang kerap dipercaya tak jujur, massa awam di luar kekuasaan umumnya gampang dirasuki rasa tidak percaya akan maksud baik pemerintah. Akibatnya, jika ada pejabat sedikit bertindak di luar prosedur baku, masyarakat segera beroleh alasan untuk meneriakkan kecurigaan dengan kata-kata yang antipatik. Ketidakberdayaan menghadapi struktur kekuasaan yang terkesan angkuh, keberpihakan massa rakyat gampang jatuh kepada siapa saja yang dirasa berani mencabar dan mengkritik penguasa.
Maka, dalam keadaan seperti itu—saat pecah konflik antara Polri dan KPK telanjur terbuka—dapat diduga ke mana arah keberpihakan khalayak awam. Memandang Polri yang teridentifikasi sebagai representasi kekuasaan yang sedang dicurigai korup, empati khalayak yang ada di luar struktur kekuasaan dapat dipastikan tertuju ke KPK. Berbagai pernyataan sejumlah perwira tinggi Polri di hadapan media acap kali dikesankan ketus oleh khalayak. Hal ini telah menyulitkan upaya mengurangkan keberpihakan dan memulihkan keseimbangan.
Masyarakat belum lupa, saat seorang petinggi Polri mengunggulkan diri sebagai buaya yang tak bisa ditaklukkan oleh cicak kecil yang boleh disepelekan. Sementara itu, hampir setiap hari tayangan TV mempertontonkan pemandangan bagaimana polisi sebagai aparat kekuasaan menghadang massa rakyat pengunjuk rasa yang ingin mengadukan nasibnya ke pejabat pemerintahan. Kekerasan acap digunakan di situ dan berujung dalam berbagai bentrokan yang tak imbang. Sementara itu, di layar televisi, tidak sekali pun pernah tertayangkan kerja KPK yang berbuat kekerasan terhadap rakyat, selain menggiring para pejabat korup yang didakwa ”makan uang rakyat”.
Rekaman yang diputar pada sidang resmi MK juga telah membeberkan bagaimana citra Polri dan aparat kekuasaan kehakiman lainnya menjadi terpuruk. Banyak ulah pejabat yang, meski tak hendak dianggap melanggar undang-undang, sungguh vulgar dan tak pantas.
Dalam perkembangan hingga November ini, konflik tak kunjung surut, bahkan seperti melebar tanpa bisa dilokalisasi di ranahnya yang institusional dan legal formal. Panggung dan arena tempat drama konflik dimainkan sejauh ini sudah tertransfer dari ranah legal-formal ke sosio-psikologik massa.
Opini massa yang berawal dari rasa keberpihakan—dan tidak dari khazanah kognitifnya—tidaklah sekali-kali dapat diabaikan. Meski bukan fakta obyektif, opini massa itu—tanpa bisa dibantah—sesungguhnya realitas intersubyektif yang acap kali tak dapat dibatasi dan dilokalisasi. Karena itu, secara potensial juga akan menggerogoti sendi-sendi kepercayaan kepada pemerintah.
Sehubungan dengan hal itu, rekomendasi Tim Delapan yang mencoba mengambil jalan mediasi dengan memperhitungkan kondisi sosio-psikologik massa patut memperoleh pertimbangan yang arif. Meski upaya menyelesaikan konflik di ranah legal formal guna mengalahkan cicak dan opini massa terus dilakukan—dan mungkin akan memenangkan si buaya—kemenangan di ranah formal itu tidak akan bertahan panjang.
Opini Kompas 21 November 2009