20 November 2009

» Home » Republika » Alquran Menyangkal Sekulerisme

Alquran Menyangkal Sekulerisme

Oleh: Dr Ahmad Sahidah
(Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia)

Ah , betapa hinanya  dunya di mana kebahagiaan tidak berjalan lama di dalamnya.  Dunya mengombang-ambingkan kami dalam peralihan dan perubahan yang senantiasa dalam keadaan pasang-surut (syair Arab dari Hurqah binti al-Nu'man bin al-Mundir).

Kutipan syair di atas diambil dari karya Toshihiko Izutsu,  God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung , yang memang banyak menggunakan syair Arab kuno untuk menemukan makna dasar dan relasional (kaitan) dari kata kunci dalam Alquran.

Biasanya, kata kunci itu diperoleh dari sinonim, antonim, atau pengembangan konseptual dari sebuah kosakata tertentu yang akhirnya memunculkan makna baru terhadap sebuah konsep. Kata 'dunya', misalnya, yang diterjemahkan dengan dunia, adalah sebuah kata kunci berkaitan dengan pandangan Alquran tentang konsep eskatologi.

Dengan memahami kata 'dunya', yang ditelusuri dari penggambaran Alquran tentang kata ini di beberapa tempat, bisa disimpulkan bahwa salah satu dari kepercayaan masyarakat pra-Islam adalah dunia dianggap sebagai akhir dari kehidupan manusia (lihat AlJatsiyah: 24). Tentu saja, implikasi dari pandangan ini telah menyeret penduduk Makkah sebelum Alquran pada praktik nihilisme dan hedonisme.

Mereka begitu mengasyiki hasrat bagaimana mereguk nikmat dunia tanpa peduli kehidupan sesudah mati atau hari kebangkitan. Meskipun mereka mengenal etika, itu belum terbentuk sebuah struktur yang  ajeg dan teoretik.

Dengan paradigma teosentrik, seluruh kosakata kitab suci harus merujuk pada fokus tertinggi, Allah. Pandangan dunia Alquran ini telah mengubah  weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat Arab pada masa itu yang sebelumnya cenderung 'menggelorakan' pemahaman nihilisme pesimistik, hidup hampa dan berakhir menjadi debu, kepada kepercayaan adanya akhirat. Paganisme juga merupakan ekspresi Arab pra-Islam yang lain untuk menegaskan kepercayaannya kepada hal gaib dan menempatkan Allah di antara berhala-berhala ciptaan mereka sendiri.

Pergeseran makna
Bagaimanapun kehadiran Islam di tanah gersang Arab pada masa itu tetap mengekalkan kosakata yang telah akrab di telinga masyarakat padang pasir. Namun, makna kaitan telah berubah sebab ia harus dirujuk pada fokus tertinggi, Allah. Jika sebelumnya, seluruh kata kunci, seperti karim (dermawan), takwa, kafir, dan lain-lain, mempunyai arti kata yang cenderung berpusat pada diri manusia (homosentris); Alquran menguncinya dengan sebuah paradigma teosentris di mana seluruh kosakata penting menuju puncak piramida, Allah.

Lebih jauh, jelas Izutsu, konsep Tuhan tidak saja berhubungan dengan konsep-konsep agama dan keimanan, tetapi juga semua ide moral, bahkan juga konsep-konsep yang mewakili aspek-aspek keduniawian dalam kehidupan manusia, misalnya perkawinan, perceraian, warisan, serta perdagangan, termasuk perjanjian utang, riba, timbangan, dan sebagainya. Jadi, Islam tidak bisa ditafsirkan sebagai lembaga etik semata-mata, tetapi juga praktik konkret. Di sini, formalisasi syariat menemukan legitimasi.

Dunya yang sebelumnya dianggap satu-satunya tempat eksistensial manusia telah bergeser menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih abadi, akhirat. Kata kunci yang menghubungkan dunia dan akhirat adalah Hari Pengadilan, Kebangkitan, dan Penghitungan. Secara terang-benderang, hal itu menjelaskan sebuah proses panjang pertanggungjawaban manusia selama menjalani hidup. Ini dilakukan dengan analisis semantik budaya, bukan sekadar analisis kata, juga pandangan dunia masyarakat 'kitab', penegasan terhadap dunia mendapatkan makna yang sama sekali berbeda, yaitu sebagai jalan atau sarana menuju kebahagiaan yang lebih abadi, akhirat.

Keseimbangan
Pesan menjaga keseimbangan seperti termaktub dalam sabda Nabi SAW,  khoirul umur ausatuha , acap kali diperdengarkan. Ia secara tersurat mencegah kecenderungan manusia yang ingin bebas ('kiri') dan sebaliknya terikat ('kanan'). Sebenarnya, Alquran telah memberikan jawaban terhadap kecenderungan manusia untuk bertindak ekstrem dengan menyodorkan pandangan dunia baru. Ketika orang-orang Arab sebelum risalah Nabi SAW menghabiskan waktu untuk pemenuhan kebutuhan duniawi semata-mata, Alquran menyuguhkan visi revolusioner tentang akhirat, tanpa harus meninggalkan yang pertama.

Namun, persoalannya, apakah label sekulerisme boleh disematkan begitu saja pada kelompok yang ingin memisahkan negara ( dunya ) dan agama (akhirat) atau pada sebuah kelompok yang acap kali menyoal kembali pemahaman keagamaan yang mapan, Islam Liberal, misalnya? Tentu, untuk memastikan 'tuduhan' liar ini, kita harus mengungkap arti sekulerisme itu sendiri sebagaimana diterakan oleh pemiliknya, Barat, yaitu sebagai pembebasan manusia pertama dari agama dan kemudian kontrol metafisik terhadap akal budi dan bahasanya (Cornelis van Peursen, teolog dari Belanda).

Kalau melihat definisi di atas, pribadi atau kelompok yang selama ini dianggap sebagai pengusung pemahaman sekulerisme tidak lebih dari tipu muslihat seterunya. Demikian pula, kepercayaannya terhadap pemisahan agama dan negara sebenarnya tidak bisa dianggap sebagai mengusung sekulerisme. Malah, meskipun menegaskan sebagai sekuler, Partai Wafd Mesir bisa dijadikan rujukan karena meneriakkan  al-din li-Lah wa al-watan li al-jami yang bermakna ideologinya didasarkan pada identitas sosial, politik, dan kebangsaan yang tidak merujuk pada agama. Partai bersangkutan tidak menentang agama, tetapi mencegah institusi agama disalahgunakan untuk meraih kepentingan kekuasaan oleh para pengawalnya, ulama.

Dengan demikian, jika agama tidak disalahgunakan, ia dengan sendirinya boleh dijadikan rujukan politik praktis. Bagaimanapun penolakan sekulerisme Alquran lebih ditekankan pada pengagungan kehidupan dunia yang sebenarnya tak akan memberi kebahagiaan apa pun dan acapkali berujung pada ketidakpastian.

Mengejar kepuasaan duniawi hanya akan memurukkan sang pencari pada kebingungan karena dunia hanya alat untuk mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi, spritualitas dan tepatnya akhirat, bukan tujuan pada dirinya. Tentu, nilai-nilai semacam ini tidak hanya disampaikan secara normatif melalui ceramah dan pengajian, tetapi lebih jauh diselipkan dalam banyak cara, dunia seni, film, sastra, dan sistem pembelajaran sekolah.

Kata  dunya itu juga berhubung secara erat dengan kata kunci lain kekayaan (mal). Dengan jelas, diterakan dalam surah Alhumazah bahwa celakalah orang yang mengumpulkan harta dan menghitungnya seakan-akan bisa mengekalkannya. Pada ayat lain, dengan nada yang berbeda, kita menemukan sebuah frasa yang tuntas bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (Alhadid: 20). Jadi, penyangkalan Alquran terhadap sekulerisme berpusat pada persoalan bagaimana manusia tidak teperdaya permainan dan senda gurau dunia. Itu saja.  Wallahualam .

Opini Republika 20 November 2009