20 November 2009

» Home » Seputar Indonesia » Menimbang Kembali The Rule of Law

Menimbang Kembali The Rule of Law

Pemikiran filsuf Ibnu Khaldun (Muqaddimah, 1377) asal Tunisia masih valid sampai hari ini. Bahwa tata dunia dan keadaan bangsa-bangsa selalu berubah.

Selalu ada perbedaan dan perubahan setiap hari dan periode. Hal ini berlaku pula pada diri orang per orang,waktu, kota-kota, wilayah, distrik, periode dan dinasti. Maka masa depan itu adalah perubahan. Dengan merujuk pada gagasan dasar Ibnu Khaldun,dari hasil berbagai risetnya selama bertahuntahun tentang kerajaan-kerajaan di dunia, ahli sejarah Arnold J Toynbee (A Study of History, 1934) asal Inggris menyimpulkan bahwa kelahiran, survival, bangkrutnya peradaban manusia sangat ditentukan oleh bentuk krisis yang dihadapi dan bagaimana para pemimpin peradaban itu mengatasi krisis-krisis itu.
Tentunya, tidak terkecuali negara seperti halnya negara dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai salah satu peradaban manusia. Pertanyaannya, apa saja jenis risiko atau tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah RI periode 2009-2014? Sekurang-kurangnya ada empat tantangan utama jangka pendek Pemerintah RI tahun 2009- 2014, yaitu konsolidasi kedaulatan rakyat, peningkatan kapasitas pemerintah, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan penguatan negara hukum (rule of law).

Rule of Law dan Kesejahteraan Rakyat

Awal tahun 1990-an,Paul Krugman mendukung argumen Laurence Lau dan Alwyn Young bahwa pertumbuhan zona Asia Tenggara, termasuk pertumbuhan ekonomi Indonesia,bukan mukjizat,tapi hanya mitos dan residu pertumbuhan. Karena pertumbuhan total faktor produksi hanya marginal. (The Myth of Asia Miracle,1994). Akibatnya, pertumbuhan ekonomi di zona ekonomi rupiah Indonesia 1980-an dan awal 1990-an berusia pendek dan tidak tahan terhadap terpaan krisis.

Oleh karena itu, tantangan Pemerintah RI tahun 2009-2014 ialah memacu pertumbuhan total faktor produksi yangdapatmenghasilkankesejahteraan jangka panjang. Selain itu,seperti dikemukakan oleh Adam Smith (The Wealth of Nations, 1776) bahwa kekayaan bangsa-bangsa itu bersumber dari nilai kerja dan hasil kerja, perdagangan, sentimen moral, dan pengembangan diri.

Efisiensi dan produktivitas kerja di sini tidak hanya diukur oleh hasil kerja per orang per jam tetapi lebih diukur oleh besaran energi yang dihabiskan untuk menghasilkan produktivitas itu seperti diyakini oleh paham dan paradigma energynomics. Misalnya,ekonomi Amerika Serikat (AS) sangat tidak efisien dari segi pemanfaatan energi. Sebaliknya ekonomi RRC sangat efisien. Karena jika tata ekonomi RRC berjalan seperti tata ekonomi AS, misalnya,dibutuhkan 80 juta barel minyak per hari hanya untuk menggerakkan mobil-mobil transportasi barang, jasa, manusia, informasi, dan uang di RRC seperti kapitalisme AS.Ekonomi AS itu juga tidak ramah lingkungan karena boros menggunakan bahan bakar fosil.

Maka model AS itu tidak perlu ditiru dan tantangan ke depan Pemerintah RI ialah efisiensi ekonomi negara melalui efisiensi penggunaan energi dan konservasi energi. Secara legal dan konstitusional, kewenangan dan tanggung jawab rule-making Pemerintah adalah peluang untuk melaksanakan program strategis di bidang kesejahteraan rakyat, tata kelola pemerintahan yang baik, penguatan demokrasi,dan penegakan hukum. Hal ini antara lain diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan undang-undang.

Mengapa rule of law penting untuk melahirkan negara kesejahteraan? Karena rule of law tidak hanya menjamin dan melindungi hak rakyat atas pekerjaan, hak usaha, dan hidup layak. Rule of law juga menjamin perlindungan hukum atas properti, modal usaha dan kepastian hukum investasi.Atau menurut James Harrington,“commonwealth” atau “common-well-being” (kesejahteraan umum) lahir dari “an empire of laws” (Harrington, 1656). Selama ini memang ada anggapan bahwa “Productivity is the cornerstone of economic growth.” Namun, rule of law justru lebih menghasilkan pilar-pilar dasar ekonomi pasar yang tahan terhadap krisis dan mempromosi smart growth.

Karena rule of law melindungi hak-hak dasar rakyat dan pasar, mencegah korupsi baik oleh pelaku pasar dan pemerintah serta investment bubbles—khususnya saat semakin terintegrasinya ekonomi negara ke pasar global.Negara-negara di Asia yang level rule of law-nya rendah, sangat lamban pulih dari krisis keuangan Asia tahun 1997–1998 (Haggard,Stephan,2000).

Rule of Law dan Kapasitas Pemerintah

Pemerintah RI 2009–2014 juga perlu menghasilkan suatu model pertumbuhan berkualitas tinggi (smart growth) yang dapat dilaksanakan melalui sejumlah kebijakan strategis.

Pertama, konsolidasi demokrasi untuk memaksimalkan efektivitas proses ekonomi; kedua, penerapan prinsip transparansi, keterbukaan,dan akuntabilitas untuk meraih state efficiency; ketiga, pemberantasan KKN yang memicu risiko ekonomi biaya tinggi; keempat, menyediakan kerangka rule of law yang solid; kelima, mutualisme antara pemberdayaan stabilitas ekonomi makro dan reformasi struktural, dan pertumbuhan yang mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi; keenam, pelestarian lingkungan hidup, nilai lokal dan penghargaan nilai etik fundamental; ketujuh, investasi pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Rule of lawsangat penting untuk melahirkan suatu tata kelola pemerintahan yang baik.Sebab rule of law membatasi kewenangan pemerintah agar tidak menjadi korup. Pemerintah yang patuh pada hukum dapat menjalankan fungsi-fungsinya, khususnya hak, kemampuan, kewenangan dan tanggung jawabnya. Tanpa rule of law, suatu pemerintahan berisiko disfungsional. Hal ini dapat memicu krisis kepercayaan rakyat dan krisis kepercayaan pasar.

Dalam kondisi rapuhnya rule of law, intervensi pemerintah di sektor ekonomi maupun kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi, deregulasi pasar, atau mengurangi dan mereposisi kewenangan, hak,kemampuan dan tanggung jawab pemerintah di bidang ekonomi, tentu mudah memicu risiko dan dapat menuai krisis (Haggard,Stephan,2000).

Jika pemerintah tidak mampu menyediakan jasa dan barang-barang kebutuhan pokok (public goods and services) dengan harga murah atau terjangkau seperti jaminan keamanan, layanan kesehatan, pendidikan dasar, ketertiban umum, perlindungan, pencegahan dan penanganan wabah epidemik, lapangan kerja untuk memenuhi standar hidup layak, maka rapuhnya kinerja kapasitas pemerintahan itu akan memacu ketidakpuasan meluas dari rakyat.

Meningkatnya ketidakpuasan rakyat akhirnya memicu erosi legitimasi dan krisis legitimasi.Risikonya ialah merosotnya konsolidasi demokrasi dan pergantian atau perubahan rezim pemerintahan. (Linz, Juan J & Alfred C Stepan, 1996).Inilah yang kita pelajari dari pengalaman krisis tahun 1997– 1998.Bahwa krisis politik memicu risiko krisis ekonomi.(*)

Marwan Ja’far
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI

Opini Seputar Indonesia 20 November 2009