UNTUK seorang Presiden SBY, seharusnya kisruh cicak-buaya yang berkepanjangan itu dapat diselesaikan sedini mungkin. Sepertinya, ada sesuatu yang ''disembunyikan" dari publik. Presiden yang biasanya reaktif dalam menyikapi banyak hal tiba-tiba berubah menjadi sunyi di tengah situasi krisis dan kritis. Presiden seperti gagap dalam mengambil langkah yang tepat.
Setelah mengakomodasi tuntutan publik untuk akuntabilitas penyelesaian permasalahan tersebut dengan membentuk Tim Independen Pencari Fakta dan Keadilan (Tim 8) yang agak terlambat, kini presiden juga mengalami hal yang sama setelah Tim 8 menyerahkan hasil rekomendasinya (17/11).
Hal itu nyata terlihat dalam rapat terbatas yang membahas rekomendasi Tim Delapan (18/11), di mana SBY meminta agar dirinya tidak didesak untuk mengambil langkah yang melampaui kewenangannya sebagai presiden. Dalam hal ini, presiden ingin kembali bersikap ''formal-formalan''.
Pernyataan tersebut jelas terlihat aneh apabila kita mencoba mengikuti logika ''formal-formalan" presiden. Pertama, SBY mengatakan tidak ingin ikut campur. Namun, nyatanya Tim 8 dibentuk. Pembentukan Tim 8 itu sendiri sebenarnya sudah melampaui wewenangnya dalam koridor sistem peradilan pidana.
Bagaimana mungkin Tim 8 yang hanya dibentuk oleh keputusan presiden (keppres) bisa memanggil orang, menginterogasi, melakukan gelar perkara, serta mengumpulkan fakta dan data terhadap setiap orang yang dianggap terlibat. Kepolisian, kejaksaan, KPK, semua kewenangannya diatur dalam bingkai undang-undang, yang eksistensinya jauh melebihi keppres. Belum lagi apabila kita memperbincangkan materi yang tertuang di keppres.
Kedua, pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menunjuk Plt pimpinan KPK. Ketiga, presiden mengeluarkan keppres yang berperan sebagai ''juklak dan juknis" untuk membantu presiden memilih pimpinan tersebut, yang kemudian melahirkan ''Tim 5". Hampir semua yuris bingung ketika mencoba memahami adanya unsur kegentingan memaksa yang menjadi causa prima dikeluarkannya sebuah perppu. Begitu pula halnya dengan substansi yang diatur di dalamnya, yang melangkahi UU KPK soal tata cara pemilihan pimpinan yang diatur sangat ketat.
Logika ''formal-formalan" itu akan semakin tak jelas juntrungannya apabila kita nanti merujuk kepada rekomendasi Tim 8. Secara ''formal-formalan" juga, tanpa adanya pembentukan Tim 8 dan segala macam rekomendasinya, presiden sudah mempunyai wewenang untuk mengambil langkah hukum yang paling tepat untuk kasus tersebut. Sudah dibahas banyak yuris di media, paling tidak ada 4 (empat) pilihan langkah hukum yang dapat diambil presiden.
Pertama, meminta Kapolri untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP, dengan berbagai alasan, yaitu tidak terdapat cukup bukti, peristiwa itu bukan merupakan perbuatan pidana, atau dihentikan demi hukum. Kalaupun presiden merasa ''tak enak hati'' melakukan intervensi, sebelumnya presiden dapat meminta dilakukannya gelar perkara terbuka atau terbatas. Dari gelar perkara saja, sebenarnya indikasi ada atau tidaknya delik sudah dapat dibaca.
Kedua, karena berkas perkara tersangka Bibit dan Chandra sudah berada di tangan kejaksaan, maka pilihannya adalah presiden meminta kejaksaan untuk mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKP3). Alasannya sama persis dengan pengaturan untuk SP3. Dengan bermodal rekaman hasil penyadapan KPK yang telah diperdengarkan di MK, jaksa agung, secara waras dan wajar, tanpa harus mendapat instruksi presiden, seharusnya bisa mengeluarkan kebijakan tersebut.
Ketiga, pilihan hukum yang tersedia masih terkait dengan wewenang jaksa agung, yakni dengan meminta jaksa agung melakukan pengenyampingan perkara demi kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam pasal 35 huruf c UU Kejaksaan RI.
Itu merupakan kewenangan diskresi yang diberikan kepada jaksa agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu perkara. Namun yang jadi persoalan, dalam logika ''formal-formalan" kemudian adalah apakah definisi dan ukuran yang jelas soal "kepentingan umum". Dalam penjelasan pasal tersebut hanya disebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas.
Keempat, presiden langsung menghentikan perkara dengan instrumen abolisi. Dasarnya adalah Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Diatur di sana bahwa presiden atas kepentingan negara dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Presiden memberikan amnesti dan abolisi itu setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat tersebut atas permintaan menteri kehakiman. Dengan pemberian abolisi, penuntutan pun ditiadakan.
Namun, opsi itu juga tak menguntungkan bagi Bibit dan Chandra. Mereka dan tim pembelanya beranggapan, tidak pernah ada perbuatan pidana yang dilakukan. Sementara penghapusan penuntutan mengindikasikan telah terjadi perbuatan pidana.
Meninjau sikap presiden yang sejak awal menunjukkan ''ketidakbiasaannya" dalam bersikap dan ekspresinya: ''Tidak akan ikut campur dan intervensi", ''Saya taat hukum", ''Tidak ada kriminalisasi", ''Jangan paksa saya melampaui wewenang", ditambah kemudian logika formal-formalan yang dijelaskan di atas, maka publik jangan heran apabila kasus itu kemudian diteruskan ke meja persidangan atas nama ''biar kebenaran" terungkap di persidangan.
Setelah itu, akan diteruskan dengan pernyataaan: ''Saya pribadi yang akan mengawal proses hukum tersebut". Semoga bukan langkah ini yang akan menjadi jalan. (*)
*). Bobby R. Manalu , mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UGM, praktisi hukum pada Fredrik J. Pinakunary Law Offices, Jakarta
Opini Jawa Pos 20 November 2009
20 November 2009
Menebak Langkah Istana
Thank You!