Secara hukum memang tidak ada hambatan bagi media cetak untuk menyatakan dukungan terbuka kepada kandidat sepanjang masih dalam koridor memajukan demokrasi.
ADA sebuah wacana mengenai posisi media massa dalam Pemilu 2009 lalu yang nyaris terlupakan. Saat pemilu berlangsung, orang tampaknya disibukkan dengan hiruk-pikuk konstelasi politik yang menyita perhatian, terutama selama berlangsungnya pilpres. Kini setelah semuanya reda, kita patut kembali menguji wacana tersebut.
Adalah Denny JA yang menyatakan bahwa sudah saatnya pers Indonesia membuat political endorsement terkait calon yang maju dalam pilpres. Pers nasional tidak lagi harus bersikap netral dalam pilpres melainkan boleh memiliki sikap dan dukungan politik yang jelas terhadap pasangan capres tertentu.
Denny menggunakan perbandingan praktik media massa di AS. Dalam banyak kasus pilpres di Negeri Paman Sam itu, termasuk yang terakhir terpilihnya Barack Hussein Obama sebagai presiden ke-44 AS, banyak media yang terang-terangan mendukung Obama.
Dukungan politik media terhadap kandidat tertentu dianggap sikap yang sah-sah saja. Tentu saja masing-masing media memiliki pertimbangan dan kepentingan tertentu dalam menetapkan dukungannya itu. Setelah pilpres selesai, media yang semula mempunyai political endorsement itu akan kembali kepada sikap semula yang netral.
Lontaran pendapat Denny kemudian ditanggapi sejumlah kalangan. Pakar komunikasi politik UI, Effendi Gazali dalam artikelnya di sebuah media ibu kota memaparkan sejumlah alasan dan pertimbangan yang terkait dengan perkembangan sikap media massa ke depan dalam konteks politik.
Menurut Gazali, memang ada sejumlah dorongan dan tuntutan bagi media untuk memberikan dukungan yang jelas terhadap kandidat tertentu dalam pilpres. Gazali mendukung alasan Denny bahwa sikap media yang berpihak kepada calon tertentu adalah sah. Apalagi keberpihakan itu hanya berlangsung sementara, setelah pilpres selesai maka media kembali pada mainstream untuk mendukung kebaikan bersama dalam kerangka membangun bangsa.
Media dalam Pilpres AS Pertimbangan rasionalitas memang masuk akal apabila media, dengan alasan dan kepentingan tertentu, mendukung salah satu kandidat presiden. Dalam kasus pilpres di AS, dukungan media terhadap Obama kebetulan sejalan dengan opini publik yang menginginkan presiden baru dengan spektrum berbeda akibat krisis dan kekecewaan rakyat AS terhadap kebijakan George Bush.
Obama adalah simbol harapan baru rakyat AS yang merasa teraniaya oleh kebijakan ekspansif dan diskriminatif Bush. Oleh karenanya, hasil jajak pendapat menunjukkan tingkat dukungan publik untuk Obama jauh melampaui dukungan untuk Bush menjelang pelantikan keduanya sebagai presiden, yakni 79 persen berbanding 60 persen.
Bagaimana di Indonesia? Dalam Pilpres 2009, yang menjadi raison d’etre Denny JA dalam mengemukakan wacana dukungan politik media, terdapat psikologi politik yang berbeda. Media harus memiliki alasan yang sangat kuat untuk mendukung salah satu pasangan calon, apakah Megawati-Prabowo, Jusuf Kalla-Wiranto atau SBY-Boediono.
Ketiga pasangan calon itu berada dalam status sama, tidak ada yang istimewa sebagaimana posisi Obama bagi rakyat AS. Dukungan kepada SBY-Boediono bahkan terkesan memperkuat status-quo yang mengurangi kritisisme media terhadap kekuasaan.
Jika lebih ditarik ke belakang, pers Indonesia sudah kenyang pengalaman selama pemilu masa Orde Baru. Dukungan semu media terhadap Soeharto selama tiga dasawarsa telah menimbulkan budaya pers yang eufemistik (misalnya betapa gegap gempitanya media menafsirkan kata ‘’miris’’ yang pernah diucapkan Soeharto dalam salah satu episode pencalonannya sebagai presiden).
Pers bergerak dalam tataran ideologi gerakan sosial dan menjadi pers bawah tanah (Victor Menayang et all, 2002). Internet menjadi saluran alternatif sebagai simbol ketidakpercayaan publik terhadap media off-line (Jeffrey Winters, 2002). Pers terpaksa menggunakan jurus jurnalisme keseimbangan ketimbang jurnalisme objektif sebagai prasyarat profesionalisme media (Joseph Manzella, 2000).
Itulah sebabnya pers nasional menyambut gembira kata ‘’suksesi’’ yang dilontarkan Amien Rais sebagai isyarat perubahan rezim dan perubahan sosial. Ketika reformasi bergolak pada penghujung tahun 90-an, pers Indonesia yang sudah lama dikekang oleh otoritarianisme langsung berganti haluan ke ideologi kemerdekaan pers sebagai hak asasi manusia dan wujud kedaulatan rakyat untuk menciptakan kehidupan yang demokratis.
Etika dan Bisnis Dilihat dari perspektif ini, wajar bila pers nasional pada umumnya masih trauma terhadap political endorsement. Era sekarang masih dianggap sebagai bulan madu media dalam menikmati kebebasannya, yang sebagian juga masih menghadapi resistensi dari anasir status-quo maupun kekuatan-kekuatan antidemokrasi.
Secara hukum memang tidak ada hambatan bagi media cetak untuk menyatakan dukungan terbuka kepada kandidat (baik dalam pemilu maupun pilkada). UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak mengandung pasal yang mengekang pemihakan politik oleh media cetak, sepanjang masih dalam koridor memajukan demokrasi. Beda dengan media elektronik karena ada sanksi yang diatur dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran.
Resistensi muncul dari sisi etika dan bisnis media. Etika jurnalistik menuntut pers bersikap independen, mengabdi kepada kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam istilah Habermas, pers harus menjadi public sphere yang menyediakan ruang leluasa bagi masyarakat untuk berdialog.
Kepercayaan (trust) bagi media muncul karena kegiatan jurnalistik dan aktivitas bisnisnya, keduanya saling sinergis. Pemihakan media kepada kandidat politik dapat menimbulkan distrust dari publik jika mereka tidak dalam persepsi yang sama dengan pertimbangan pemilik/pengelola media. Hal ini sekaligus mnimbulkan segmentasi politik dalam pasar media yang bersangkutan.
Karena itu, independensi dan netralitas media dalam kompetensi politik adalah sikap paling aman untuk menjaga kepercayaan publik sekaligus mempertahankan kepentingan bisnisnya. Jadi reposisi media dalam konteks pemilu adalah peneguhan kembali kepercayaan publik yang sempat mengalami defisit akibat tarikan kepentingan sesaat.
Demikian evaluasi atas wacana yang muncul saat Pemilu 2009 yang lalu. Sejauh mana peran ideologis dan pemihakan media dalam pemilu itu, baik dalam skala nasional maupun regional, bisa dilacak dari perdebatan paradigmatik seputar political endorsement tersebut.(10)
— A Zaini Bisri, wartawan Suara Merdeka dan Ketua Presidium J-Trend (Jurnalis untuk Transformasi, Edukasi, dan Demokrasi)
Wacana Suara Merdeka 21 November 2009