20 November 2009

» Home » Republika » Korupsi dan Mafia

Korupsi dan Mafia

Oleh: Hendardi
(Ketua Badan Pengurus SETARA Institute)

Korupsi dan kekuasaan mafia ibarat dua sisi mata uang yang sama di Indonesia. Kesempatan korupsi diikuti dengan kesempatan beroperasinya kelompok mafia. Di mana ada korupsi, di situ juga ada mafia. Semakin banyak kasus korupsi, semakin banyak juga mafia yang beroperasi.
Korupsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara Republik Indonesia, terutama sejak Orde Baru. Sumber kekayaan negara telah menjadi rebutan kepentingan kelompok politik, bisnis, dan birokrasi. Pada dasawarsa 1980-an, mekar kelompok bisnis yang tak kompetitif dan berkerumun di seputar Soeharto dan keluarganya.

Karakter pemerintahan yang sentralistis itu berakhir seiring tumbangnya rezim Soeharto. Tapi, kini, setelah 11 tahun reformasi, sumber kekayaan negara meluas menjadi rebutan dalam pelaksanaan 'desentralisasi korupsi' yang telah menyebar sampai jauh ke tingkat unit negara.

Tak heran jika sejumlah anggota DPR dan DPRD atau gubernur dan bupati atau wali kota disangkut-pautkan dengan berbagai proyek. Mereka pun diseret ke muka pengadilan agar mereka mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, dugaan semua itu masih sebagian kecil.

Pemerintah yang didukung berbagai lembaga donor telah menyosialisasikan atau kampanye program 'pemerintahan yang baik' ( good governance ) dengan prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. Seolah-olah mengarahkan pemerintahan berkepentingan meminimalisasi korupsi.

Begitu juga dengan membentuk lembaga khusus, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berwenang hingga penuntutan serta beberapa komisi negara lainnya, yang diharapkan berperan efektif untuk mengawasi kinerja dan perilaku penegak hukum dan kehakiman.

KPK, kejaksaan, dan kepolisian, baik sendiri maupun bekerja sama, memang telah melakukan berbagai gebrakan untuk menangkap, menggeledah, dan mengadili mereka yang disangka dan didakwa melakukan korupsi sehingga mengesankan bahwa korupsi telah menurun.

Tapi, kesan itu pupus jika kita mengamati lebih jauh praktik dan kebiasaan korupsi yang terus berlanjut. Kini, kita dipertunjukkan dengan semakin marak 'mafia peradilan' atau mafia hukum. Mereka tanpa rasa malu mempertontonkan borok masing-masing di muka umum.

Mantan hakim agung, Benjamin Mangkudilaga, pernah mengatakan, Mahkamah Agung (MA) di bawah kepemimpinan Bagir Manan berada di titik nadir atau terendah sebagai lembaga peradilan tertinggi. Begitu juga dengan polisi dan kejaksaan atau KPK menyusul silang sengketa yang menajam, selain beberapa tersangka dari ketiga lembaga tersebut.

Para mafia
Setelah aparat penegak hukum membuka boroknya masing-masing di muka umum, pada 5 November lalu Presiden Yudhoyono mencanangkan program prioritas 100 hari untuk pemberantasan mafia hukum serta menyiapkan kotak surat pengaduan 'Ganyang Mafia' (GM).

Presiden juga menyebutkan, praktik mafia bisa terjadi di berbagai tingkat lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen-departemen, instansi pajak, bea cukai, dan hingga di daerah-daerah. Bisa ditambahkan juga, di sekretariat negara, DPR, DPRD, dan militer.
Apakah hal itu pertanda bahwa selepas dari pemerintahan yang sentralistis dan korup di bawah Soeharto kini kita justru berada di bawah operasi kekuasaan para mafia?

Simak saja, betapa sulitnya pemerintah menuntaskan reformasi TNI, terutama dalam mengambil alih bisnis militer, mengeliminasi bisnis keamanan, dan menggulung bisnis ilegal. Sementara itu, terus saja bertambah komando teritorial yang menegaskan tersebarnya kekuasaan TNI.

Kekuasaan para mafia itu ditunjukkan dengan rangkaian penyelundupan kayu dan  illegal logging , pasir laut, serta ikan dan  illegal fishing yang menguras sisa-sisa kekayaan alam atau penyelundupan barang-barang mewah dan ilegal yang menjadi 'lahan basah' bea dan cukai.

Kelemahan Departemen Kehutanan telah mengakibatkan banyak hutan lindung semakin punah oleh penyelewengan. Dua kasus yang menghebohkan adalah Kabupaten Bintan (Kepulauan Riau) dan Tanjung Api-api (Sumatra Selatan) yang melibatkan sejumlah anggota DPR. Kita pun telah sejak lama dikhawatirkan oleh beroperasinya 'mafia tanah' yang disusul aksi penggusuran penduduk di kota-kota.

Dugaan skandal keuangan terbesar setelah BLBI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengalirkan dana kepada Bank Century sebanyak Rp 6,76 triliun. DPR menyorotinya. Sementara itu, kepolisian, kejaksaan, dan KPK malah terkesan seperti berebut kasus. Menteri keuangan merasa perlu membantah terkaitnya presiden.

Tentu saja, dengan otonomi daerah yang masih diwarnai berbagai tuntutan pemekaran, operasi kekuasaan para mafia pun menyebar. Sejauh sumber kekayaan negara masih dapat diselewengkan, berbagai kelompok mafia ini masih memiliki peluang untuk mengoperasikan jaringannya.

Begitu juga dengan penegakan hukum. Kendati kesaksian Williardi Wizard yang mencabut BAP meringankan mantan ketua KPK Antasari Azhar telah melemparkan borok pada polisi, itu juga tak terungkap mengapa Nasrudin Zulkarnaen dibunuh dengan tembakan. Kekuasaan para mafia telah menyebar luas dan hal ini tak lepas dari karakter aparat negara yang korup. Langkah untuk membasmi mafia hukum haruslah berjalan seiring dengan pembasmian mafia dalam tubuh pemerintahan.

Opini Republika 21 November 2009