20 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Krisis Energi dan Emisi 41 Persen

Krisis Energi dan Emisi 41 Persen

Pemenuhan energy security di sektor kelistrikan dapat dicukupi dengan peningkatan kapasitas pembangkit yang mencapai 35-40 GW di tahun 2020. Apabila hal itu tercapai, emisi negara kita akan meningkat lebih dari 200 persen dari emisi yang diproduksi saat ini.

Seperti baru saja disampaikan oleh juru bicara kepresidenan RI Dinno Patti Djalal.  Negara kita berkomitmen menurunkan emisi sebesar 41 persen di tahun 2020. Sepuluh tahun kurang lebih kita ‘masih’ punya waktu untuk mewujudkan komitmen tersebut.

Kenyataannya untuk  merealisasikan target pemerintah tersebut tidak semudah seperti yang dibayangkan.  Sedikit ilustrasi mengenai upaya apa yang harus dilakukan agar target tersebut tidak hanya menjual wacana. Ada euforia menyambut pertemuan KTT UNFCCC di Copenhagen, Denmark bulan depan.

Sebelum membahas mengenai ilustrasi skenario, terlebih dulu ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab pemerintah mengenai patokan komparasi penurunan emisi tersebut.

Pertama, penurunan emisi tahun 2020 dibandingkan dengan emisi tahun berapa? Kedua, apakah penurunan emisi dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan berdasarkan prediksi Business as Usual di tahun 2020 yang menggunakan asumsi-asumsi yang telah disepakati oleh banyak peneliti dengan pemerintah. Kita tengok melalui sektor apa saja emisi bisa dikurangi.

Sektor Pembangkit

Telah dirumuskan dalam blue print  energi nasional, bahwasanya sumber energi pada pembangkit listrik kita dalam tempo 10-15 tahun ke depan sebagian besar akan mengandalkan batu bara. Itu merupakan salah satu  sumber energi yang menghasilkan emisi, terutama efek rumah kaca terbesar. Sektor pembangkit listrik dipercaya merupakan salah satu kontributor terbesar emisi (terutama CO2) di negara kita setelah emisi yang dihasilkan lahan gambut.

Seperti disebutkan dalam pemaparan mengenai alternatif pengembangan energi skenario di Asia Tenggara sampai tahun 2020 di (GCOE) Global Center of Excellent 1st symposium di Kyoto Jepang.

Prediksi terhadap negara kita dengan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun 5-6 persen, pertumbuhan penggunaan energi di sektor industri lebih tinggi dibandingkan sektor perumahan dan komersial. Ada juga asumsi seperti loss factor  dalam distribusi listrik dan reserve margin yang dibawah 10 persen.

Diperkirakan kebutuhan akan listrik di tahun 2020 akan mencapai 260 TWh atau lebih dari dua kali lipat kebutuhan listrik saat ini. Kapasitas yang dibutuhkan dengan kondisi kehilangan dalam distribusi, serta margin simpanan 10 persen dibutuhkan pembangkit dengan kapasitas 60-65 GW (saat ini berkisar 21 GW). Kebutuhan akan tingginya permintaan listrik tersebut didorong dari besarnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya kenaikan dari sector industri.

Diperkirakan apabila blue print energy nasional lancar dengan penambahan pembangkit 20 GW. Negara kita diperkirakan masih akan kekurangan pembangkit sekitar 15-20 GW di tahun 2020. Pemenuhan energy security di sektor kelistrikan dapat dicukupi dengan peningkatan kapasitas pembangkit yang mencapai 35-40 GW di tahun 2020.

Apabila hal itu tercapai, emisi negara kita akan meningkat lebih dari 200 persen dari emisi yang diproduksi saat ini.

Sektor End Use

Telah disampaikan dalam laporan penilaian ke empat oleh pemenang nobel price panel antarnegara untuk perubahan iklim (IPCC). Ruang untuk mengurangi emisi (terutama CO2) dengan biaya paling murah adalah melakukan efisiensi.

Hal itu bisa dibandingkan dengan sektor lain, seperti perubahan bahan bakar mobil dari bensin ke ethanol; perubahan bahan bakar diesel bagi mesin industri ke bio-diesel. Meski dengan pembangunan pembangkit listrik yang berkelanjutan (misalnya pembangkit air, matahari dan angin).

Efisiensi dilakukan tidak hanya pada penggunaan bahan bakar pada mesin-mesin industri tetapi pada penggunaan listrik dan energi pada bangunan, baik banguan perumahan, perkantoran, komersial, publik mapunun multi fungsi, serta efisiensi pada transportasi (peningkatan jumlah pengangkut massal dan penggunaan bahan bakar rendah emisi). Dalam laporan tersebut ruang pengurangan emisi diprediksi dapat berkurang sebesar 30 persen dibandingkan besaranya emisisi pada tahun 1990.

Memenuhi Target

Apabila melihat dari diskusi di atas, pemerintah akan kesulitan untuk menurunkan tingkat emisi sebesra 41 persen bersamaan dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen pertahun.

Langkah strategis peningkatan pembangkit karena tingginya permintaan akan kebutuhan tidak dapat dielakakn. Di tahun 2020 negara kita mau tidak mau harus menyediakan kapasitas pembangkit listrik sebesar 65 GW.

Target mengurangi emisi bisa dilakukan dengan peningkatan efisiensi di segala bidang, yang terbukti dapat menurunkan emisi sebesar 30-40 persen. Apabila target pengurangan emisis berdasarkan pengurangan perkiraan emisi di perkiraan tahun 2020, maka cara tersebut adalah yang terbaik.

Tetapi apabila target pengurangan emisi 41 persen tadi berdasarkan perkiraan emisi tahun 2010. Pemerntah kita harus bekerja ekstrakeras menentukan jenis pembangkit yang rendah emisi dan ramah lingkungan.

Dengan hal tersebut pengurangan emisi di sektor lahan, seperti pemanfaatan lahan gambut menjadi lahan berfungsi dan meminimalisasi peralihan fungsi hutan, serta pemanfaatan limbah sampah kota menjadi sumber energi alternatif menjadi pilihan paling rasional dan menguntungkan bagi pemerintah.

Jalan Pintas

Pemilihan pembangkit listrik berbahan baku seperti uranium (pembangkit listrik nuklir) bukan merupakan pilihan yang bijak, ketika teknologi pembangkit, pengolahan pengayaan uranium, konstruksi pembangkit dan pengolahan limbah adalah 100 persen impor.

Ketergantungan semua lini di pengembangan pembangkit berteknologi nuklir ini terhadap negara asing, membuat negara kita nantinya memiliki ketergantungan besar terhadap negara asing. Juga lokasi penempatan pembangkit yang sulit ditemukan, di mana hampir semua wilayah di nagera kita merupakan wilayah yang rentan terhadap gempa (kecuali Kalimantan).

Pembangunan PLTN di Kalimantan juga akan memiliki kendala besar dengan membengkaknya biaya karena tingginya biaya distribusi ke pulau Jawa (60 persen kebutuhan listrik berada di pulau ini).

Saat ini sudah banyak penelitian di bidang energi alternatif yang sedang dikembangkan. Terutama penelitian lintas sektor antar disiplin ilmu serta penelitian antarbangsa. Target pemerintah yang baru saja disampaikan tidak hanya menjadi wacana karena menjelang KTT UNFCCC di Copenhagen. Ini lebih ke sesuatu yang berdasarkan hasil empiris dan realistis. (80)

—Dr Nuki Agya Utama, postdoctoral fellow yang bekerja di Energy Scenario Planning Research Group, Kyoto University, Jepang
Wacana Suara Merdeka, 20 November 2009