20 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Mengaji Sistem Peradilan Pidana

Mengaji Sistem Peradilan Pidana

SISTEM  hukum menurut Friedman terdiri atas tiga komponen, yaitu struktural, substansial, dan kultural. Hal tersebut bersifat universal, termasuk di Indonesia. Sebab, sistem hukum nasional ditentukan oleh falsafah negara, bentuk dan tujuan negara serta sistem ketatanegaraannya.

Menurut Muladi dalam bukunya Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (1995), sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan lingkup sistem dapat bersifat fisik. Maksudnya, dalam arti sinkronisasi struktural  dapat pula bersifat substansial  dan dapat pula bersifat kultural.

Dalam hal sinkronisasi struktural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antarlembaga penegak hukum.

Sinkronisasi subtansial, keserempakan tersebut mengandung makna baik yang bersifat vertikal ataupun horizontal berkaitan dengan hukum positif yang berlaku.

Adapun sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Agar dapat dinilai keterpaduannya dalam sistem peradilan pidana, maka harus benar-benar diinventarisasikan komponen-komponen, baik yang bersifat struktural, substansial maupun kultural tentang apa saja yang terlibat di dalamnya.

Secara setruktural, yang pertama-tama harus dilihat adalah lembaga kepolisian kemudian kejaksaan, pengadilan, lembaga-lembaga koreksi baik yang bersifat institusional maupun noninstitusional. Dalam hal tersebut lembaga penasihat hukum juga harus ditambahkan.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Kelembagaan substansial itu harus dilihat dalam konteks sosial.

Sifatnya yang terlalu formal, bila dilandasi hanya untuk kepentingan hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Dengan demikian, demi apa yang dikatakan  sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat material yang nyata-nyata dilandasi asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Prof Umar Senoadji pernah memperkenalkan apa yang dinamakan penafsiran yang bersifat futuristik. Contohnya soal batas umur minimal pertanggungjawaban pidana (minimum age of criminal responsibility).
Bisa  Dipidana Bila hanya mengacu Pasal 45 KUHP, maka bayi yang baru lahir pun dapat dijatuhi pidana. Hal itu tidak bakal terjadi bila ada keberanian, kemauan dan kemampuan berpikir ke depan sebagaimana sudah dirumuskan dalam konsep rancangan KUHP bahwa batas minimal umur pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun.

Perumusan tersebut sekalipun masih bersifat konsep, merupakan kristalisasi pandangan yang sudah diakui oleh komunitas hukum (legal community) Indonesia.

Menerapkan hukum pidana yang diciptakan lebih dari 100  tahun lalu, secara dogmatis dalam konteks sosial sekarang jelas akan memberikan citra buruk bagi sistem peradilan pidana.

Demikian pula bila berbicara tentang kelembagaan yang bersifat kultural, harus ada konsistensi terhadap pandangan, sikap, bahkan falsafah yang mendasari sistem peradilan pidana.

Ideologi yang sering disebut sebagai model itu harus tegas-tegas dinyatakan. Indonesia tidak mungkin menganut crime control model atau secara membabi buta menganut due process model seperti di Amerika Serikat.

Indonesia juga tidak dapat menerima sepenuhnya family model seperti yang diterapkan di Belanda. Dikaitkan dengan sejarah hukum pidana negeri ini, maka semestinya ditengok pula model yang dibangun atas dasar hukum pidana perbuatan yang mendasarkan pada konsep equal justice.

Akan tetapi, Indonesia juga sulit menerima warisan aliran modern yang bertumpu pada penekanan kepada pelaku tindak pidana.

Yang dianut semestinya adalah model yang realistik yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, umum, individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kecelakaan.
Pengakuan Contoh konkret, pada tahun 1951 Pemerintah RI memberlakukan Het Herziene Inslandsch Reglement (HIR) yang menganut sistem inkuisitur karena titik beratnya pada pengakuan yang dianggap sebagai alat bukti yang sah (Pasal 295, 3e HIR).

Untuk mendapatkan pengakuan tersebut, maka polisi dan jaksa selalu berusaha dengan berbagai cara agar tersangka mengakui perbuatannya. Ciri sistem itu sama dengan crime control model atau affirmative model.

Pemberlakukan UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, telah mengalami perubahan mendasar baik secara konsepsional ataupun implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Tujuan KUHAP untuk memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia.

Dalam KUHAP tersebut terdapat perbedaan yang mendasar dengan HIR. Yang diatur dalam KUHAP meliputi hak-hak tersangka/terdakwa berupa bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan, dasar hukum bagi penangkapan/penahanan, dan pembatasan jangka waktu, ganti kerugian, dan rehabilitasi. (10)

— Danu Pamungkas T, mahasiswa PTIK angkatan 55
Wacana Suara Merdeka 20 November 2009