20 November 2009

» Home » Kompas » Kasihanilah Para Guru

Kasihanilah Para Guru

Segera sesudah peresmian pemerintahan baru Indonesia Bersatu Jilid Dua, sangatlah jitu menonjolkan ke permukaan mengenai kondisi, atau kepantasan, atau kompetensi, atau kualifikasi akademik para guru di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Upaya ini sekaligus dijadikan penegasan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa.
Semua terbuka dan telah diketahui, yakni ketidaklayakan menjadi guru. Data Depdiknas 2007/ 2008 menunjukkan, hal itu terjadi di tingkat TK sebanyak 88 persen, SD (77,85 persen), SMP (28,33 persen), SMA (15,25 persen), dan SMK (23,04 persen) (Kompas, 24/10/2009).
Data itu pasti memprihatinkan bagi yang melihatnya. Tanggapannya pun dapat beragam. Namun, mau bagaimana? Didiamkan atau diupayakan agar menjadi layak?


Pendampingan
Sudah bukan saatnya lagi untuk menghamburkan ungkapan kosong bernada nostalgia, sentimental. Misalnya, dulu negara tetangga belajar dari kita bagaimana mendidik, dulu guru-guru kita dikirim ke negara tetangga untuk mengajar di sana, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa (kalau kepleset menjadi pahlawan tanpa jasa), kalau tidak ada guru tidak ada menteri dan tidak ada presiden, dan sebagainya.
Berbagai ungkapan semacam itu tidak bermakna karena tidak menggerakkan, apalagi mengubah. Ungkapan semacam itu hanya akan meninabobokan, hanyut dalam ketidakjelasan.
Yang terus ditumbuhkan adalah rasa prihatin mendalam dan mengambil langkah nyata demi kemajuan anak bangsa. Data itu amat mendalam maknanya; dan seharusnya menggetarkan siapa saja, entah yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan atau yang tidak.
Sejatinya, jenjang pendidikan yang harus senantiasa dengan penuh ketekunan mendapat perhatian serius dan mendesak adalah pendidikan dasar-menengah itu.
Harus disadari, pendidikan dasar-menengah adalah bakal bagi tercapainya kemajuan bila pendidikan dimengerti dan diusahakan sebagai jalan kemajuan yang harus dilalui. Hasil lebih nyata akan dapat diharapkan apabila bakal ini diperhatikan sungguh-sungguh, laksana seseorang merawat bibit tanaman. Konon, buah yang bagus, salah satunya, amat ditentukan oleh perawatan bibit pohonnya.
Kondisi guru yang memprihatinkan itu bukannya tanpa perhatian sama sekali dari pihak-pihak terkait. Munculnya kesediaan lembaga pendidikan tinggi yang boleh dikatakan menjamur di segala penjuru kota cukup memberi bukti. Mereka menawarkan berbagai program yang memungkinkan siapa pun yang hendak atau ingin menyandang gelar sarjana seperti diisyaratkan oleh ketentuan yang berlaku dalam dunia pendidikan. Bahkan, terkesan menawarkan berbagai kemudahan bagi peminat yang jumlahnya tidak sedikit itu.
Selanjutnya, bisa diduga seberapa bagus mutu para guru yang meraih gelar sarjana atau D-IV dari lembaga pendidikan tinggi semacam itu. Guru perlu mendapat pendidikan bermutu agar menjadi guru yang bermutu. Jika tidak, lembaga pendidikan akan merusak diri sendiri.
Pelatihan
Perhatian lain yang tampak jelas adalah adanya pelatihan ini itu atau berbagai pertemuan di lingkungan Depdiknas, baik dalam ranah negeri maupun swasta, yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas guru atau pendidikan.
Jadwal pelatihan atau pertemuannya pun umumnya tampak disiapkan dengan baik; ini terlihat dari daftar atau urutan acara yang terencana dan tertulis rapi dari jam ke jam.
Namun, yang lazim terjadi, pelaksanaannya tidak serapi dan seserius yang tertulis. Banyak kali acara pokok dipenggal dan disudahi hingga jam makan siang saja. Kalaupun dilanjutkan, peserta ngacir satu per satu meninggalkan acara.
Karena itu, hal lain yang paling mendesak untuk dibiasakan adalah pendampingan total; artinya semua jajaran terkait menunggui dan mengikuti semua pertemuan atau pelatihan. Penanggung jawab atau pemimpin Depdiknas atau yang diberi wewenang hadir hingga acara paripurna. Jadi, tidak lagi melanggengkan kebiasaan, hanya berperan sebagai pemberi restu alias hadir untuk pembukaan, lalu meninggalkan acara yang dimaksudkan untuk peningkatan mutu.
Kehadiran diri dengan hati dan budi demi mengikuti semua proses harus dijadikan habitus yang mencerdaskan dan membangun karakter. Kehadiran total adalah cermin kesungguhan. Kesibukan harus dibuang jauh-jauh sebagai alasan untuk tidak mengikuti proses karena acara lain dapat direncanakan jauh hari.
Pemurnian motivasi
Pada hemat penulis, persoalan pokok para pendidik atau guru adalah bukan pada kualitas akademik yang diukur dengan gelar yang disandang. Yang lebih mendalam dan mendesak adalah kurang adanya kebanggaan atas peran pendidik yang sedang dijalani.
Para guru terus-menerus memerlukan pendampingan nyata demi pemurnian motivasi keguruannya. Janganlah terlalu mudah membawa semua persoalan guru atau mutu pendidikan ke arah permasalahan kesejahteraan sebagai muaranya.
Kasihanilah para guru.
Baskoro Poedjinoegroho EPemerhati Pendidikan; Tinggal di Jakarta
Opini Kompas 20 November 2009