20 November 2009

» Home » Republika » Anggaran Bank Indonesia 2010

Anggaran Bank Indonesia 2010

Oleh Azis Setiawan
(Dosen STEI SEBI)

Mulai Senin (16/11) rancangan Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2010 telah diajukan dan sedang dibahas secara intensif oleh Komisi XI DPR. ATBI 2010 perlu mendapat perhatian publik mengingat besarnya defisit yang diajukan, mencapai sebesar Rp 22,4 triliun.
Sebagaimana diketahui, anggaran bank sentral terbagi atas dua pos. Pertama, pos operasional untuk kebutuhan sumber daya manusia, gaji dan tunjangan, pengelolaan logistik, kegiatan pendukung, pajak, serta biaya tak terduga. Kedua, pos anggaran kebijakan untuk menjalankan tugas utama BI, yaitu menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Karena besarnya defisit yang diajukan maka perlu dicermati lebih mendalam sisi pengeluaran ATBI tersebut, sekaligus mencari alternatif solusinya.

Penghematan operasional
Dalam pos operasional ATBI 2010, pengeluaran diperkirakan sebesar Rp 5,1 triliun akibat naiknya enam pos anggaran. Pertama, anggaran pengelolaan gaji, tunjangan, dan penghasilan lainnya yang dianggarkan sebesar Rp 1,96 triliun, naik Rp 79,9 miliar atau 4,29 persen dari ATBI 2009. Kedua, anggaran pengembangan dan pemeliharaan sumber daya manusia (SDM) sebesar Rp 1,53 triliun atau naik 18,97 persen. Ketiga, anggaran pengelolaan logistik sebesar Rp 541,13 miliar atau meningkat 7,21 persen.

Selanjutnya yang keempat, anggaran pelaksanaan kegiatan pendukung yang dianggarkan sebesar Rp 269,13 miliar atau meningkat 9,81 persen. Kelima, anggaran pajak sebesar Rp 546,39 miliar atau naik 4,66 persen. Keenam, biaya tak terduga dianggarkan sebesar Rp 242,36 miliar. Rencana kenaikan seluruh pos anggaran operasional tersebut perlu dicermati secara serius oleh Komisi XI DPR dengan mempertimbangkan aspirasi publik selama ini.

Pengajuan rencana kenaikan anggaran operasional 2010 untuk gaji, tunjangan, dan penghasilan lainnya sebesar 4,29 persen serta pengembangan dan pemeliharaan SDM sebesar 18,97 persen harus ditolak. Hal ini mempertimbangkan kepatutan publik dan besarnya alokasi pengeluaran untuk SDM BI selama ini dibandingkan dengan lembaga negara yang lain.

Sudah menjadi rahasia publik, gaji, tunjangan, dan fasilitas untuk Dewan Gubernur BI telah jauh lebih besar dibandingkan dengan pejabat negara yang lain. Gaji Gubernur BI, pada 2007, misalnya, telah mencapai Rp 162,2 juta per bulan atau Rp 1,965 miliar per tahun. Gaji tersebut dua setengah kali lebih tinggi dari total penghasilan yang diterima Presiden, yang sebesar Rp 62,74 juta per bulan atau hampir tiga kali lipat dari gaji Wakil Presiden yang setiap bulan memperoleh total penghasilan Rp 57,2 juta. Belum lagi jika ditambah berbagai tunjangan dan fasilitas mewah lainnya yang dinikmati Dewan Gubernur BI.

Hal ini juga didukung dengan data besarnya pengeluaran BI untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas pengembangan SDM, yang pada 2008 mencapai Rp 3,23 triliun, pada 2007 sebesar Rp 2,72 triliun, dan tahun 2006 sebesar Rp 2,70 triliun (LKTBI, 2006-2008). Jika angka tersebut dibagi dengan jumlah sekitar 6 ribu pegawai BI, maka akan didapatkan:

Biaya SDM per kapita per tahun sebesar Rp 538,33 Juta (2008), Rp 453,33 Juta (2007), dan Rp 450,00 Juta (2006). Atau, Biaya SDM per kapita per bulan sebesar Rp 44,86 Juta (2008), Rp 37,77 Juta (2007), dan Rp 37,50 Juta (2006). Tentu angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan lembaga negara yang lain. Kondisi ini jika tidak diperbaiki tentu akan mengganggu keadilan publik.

Rencana kenaikan anggaran untuk pengelolaan logistik sebesar 7,21 persen, pelaksanaan kegiatan pendukung sebesar 9,81 persen harus diturunkan. Dengan pertimbangan, terdapat beberapa beban operasional yang juga terdapat dalam anggaran kebijakan. Contoh riil yang bisa disebut adalah biaya penelitian uang beredar yang cukup besar mencapai Rp 7,18 miliar (2006), Rp 8,51 miliar (2007), Rp 5,33 miliar (2008). Selain itu, juga terdapat beban penelitian pengelolaan cadangan devisa mencapai Rp 236 Juta (2006), Rp 236 Juta (2007), Rp 112 Juta (2008).

Memperkecil biaya kebijakan
Defisit ATBI 2010 yang besar diakibatkan oleh rencana pengeluaran kebijakan yang sangat besar, mencapai Rp 39,5 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari tahun sebelumnya. Pengeluaran kebijakan BI untuk 2006 adalah sebesar Rp 34,42 triliun, tahun 2007 sebesar Rp 26,83 triliun, dan tahun 2008 mencapai Rp 23,08 triliun.

Dalam pengeluaran kebijakan, beban pengendalian moneter merupakan beban terbesar, mencapai Rp 32,74 triliun atau 95,11 persen tahun 2006, sebesar Rp 25,03 triliun atau 93,29 persen tahun 2007, dan tahun 2008 sebesar Rp 21,27 triliun atau 92,16 persen. Sedangkan beban penyelenggaraan sistem pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan perbankan relatif kecil.

Kontributor terbesar beban pengendalian moneter adalah dari beban operasi pasar terbuka (OPT), terutama dari instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Berdasarkan data tahun 2008 beban bunga SBI dan FASBI adalah sebesar Rp 19,93 triliun. Sedangkan beban bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) hanya Rp 60,04 miliar, beban imbalan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebesar Rp 87,33 miliar, serta Jasa Giro sebesar Rp 744,95 miliar.

Besarnya beban bunga SBI dan FASBI yang diproyeksikan ke depan masih berlanjut sebenarnya bisa direduksi signifikan jika BI mau mengambil sejumlah kebijakan. Pertama, BI perlu membatasi atau melarang pembelian SBI oleh asing. Dari total SBI saat ini yang mencapai Rp 270 triliun, sekitar Rp 46 triliun dimiliki asing. Kalau hal ini tidak dilakukan maka dana asing akan berpeluang masuk lebih besar lagi ke instrumen SBI, karena spread yang sangat tinggi dengan suku bunga di luar negeri. Akhirnya, beban bunga yang harus dikeluarkan BI juga akan membengkak.

Penerbitan SBI ke asing sesungguhnya adalah kemubaziran karena dananya tidak bisa digunakan untuk apa pun. Selain itu, dengan pembatasan tersebut paling tidak akan ada penghematan dari pengeluaran kebijakan sebesar Rp 2,99 triliun dengan BI rate 6,5 persen.

Kedua, BI bisa menetapkan BI rate lebih rendah dari suku bunga deposito. SBI adalah investasi bebas risiko ( risk free investment ), sudah sewajarnya jika imbal hasil juga lebih rendah dari suku bunga simpanan. Joseph Stiglitz pernah berpesan pada sebuah seminar tahun 2004 bahwa suku bunga SBI yang sedikit di bawah angka inflasi ( negative real rate ) bisa bermanfaat bagi Indonesia.

Dengan langkah ini, diyakini bank akan mengurangi penempatan ekses likuiditasnya ke SBI dan beralih ke investasi di sektor riil dan dunia usaha. Kebijakan ketiga, mengganti instrumen SBI dengan instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN). Bagi BI peralihan ini akan mengurangi biaya bunga secara signifikan karena bunga SPN dibayar pemerintah. SPN merupakan surat utang dengan masa jatuh tempo sampai dengan satu tahun.

Bagi pemerintah, penerbitan SPN ini akan sangat bermanfaat bagi keuangan negara karena dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan jangka pendek, seperti halnya untuk melakukan  refinancing SUN yang akan jatuh tempo. Selain itu, dalam skala yang lebih luas, SPN dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen fiskal dalam pembiayaan belanja negara.

Mengenai kekhawatiran tentang beban bunga yang harus ditanggung oleh pemerintah sebenarnya bukan menjadi masalah yang berarti karena selama inipun dengan menggunakan SBI maka lembaga negara kita, dalam hal ini BI, juga telah mengeluarkan beban serupa. Bagi kita sebagai sebuah bangsa, pengeluaran akibat pengalihan instrumen dari SBI ke SPN dapat diibaratkan hanya pengalihan pengeluaran beban dari saku kiri ke saku kanan. Dana SPN yang termanfaatkan tentu lebih baik dari dana SBI yang menganggur.

Opini Republika 21 November 2009