PADA tahun 1980-an, saat Gubernur Jawa Tengah dijabat HM Ismail, lurik sesaat populer karena ada kebijakan pemakaian lurik di tingkat provinsi (SM,14/04/2009).
Pada masa kepemimpinan Bupati Klaten, Sunarno SE, MHum, Pemkab Klaten menempuh kebijakan serupa. Dengan Surat Edaran Nomor 05/575/2008 tanggal 25 Juni 2008, pemkab mengharuskan pemakaian seragam lurik bagi 17.000 PNS setiap Kamis saat jam kerja.
Akankah kebijakan ini mampu mengangkat pamor lurik yang sempat meredup dan mengubah lurik yang notabene warisan budaya (culture heritage) menjadi ikon masyarakat Klaten? Ataukah kebijakan ini akan berakhir sekadar harapan belaka?
Pemerintah sebagai pelaku pembangunan berkewajiban meracik, merancang, dan memadukan pilar budaya, ilmu pengetahuan, dan agama dalam sinergisitas kebijakan yang ditempuh dalam membangun masyarakatnya.
Semangat inilah yang coba ditempuh Pemkab Klaten salah satunya melalui pelestarian budaya lurik agar tetap eksis di tengah hantaman tren budaya manca.
Lurik adalah simbol eksistensi masyarakat Jawa. Walau tak semujur kain batik yang pamornya menasional, bahkan sebagai world heritage atau warisan dunia, lurik tradisional khususnya di Klaten mencoba bertahan di tengah kembang kempis para perajin yang tersebar Kecamatan Cawas, Bayat, Juwiring, Pedan, Trucuk, dan Wonosari.
Kondisi pahit sempat dirasakan perajin lurik tradisional. Rendahnya perhatian pemerintah dan minat masyarakat, apalagi kehadiran industri tekstil pascamodernisasi dengan gelontoran pemodal besar tahun 1978 menyebabkan tidak sedikit perajin alat tenun bukan mesin (ATBM) gulung tikar.
Bak siraman air hujan di tengah kemarau yang kerontang, Surat Edaran Bupati Nomor 025/575/2008 pertengahan tahun lalu menyembulkan kembali asa di tengah dahaga.
Pemkab mewajibkan sekitar 17.000 PNS mengenakan seragam lurik setiap Kamis dalam jam kerja. Sesaat kebijakan ini mendongkrak produksi lurik.
Untuk mencukupi kebutuhan PNS saja dibutuhkan 34.000 meter kain lurik untuk satu PNS per satu potong kemeja.
Kenyataamnya setiap PNS tidak cukup puas dengan satu potong lurik sehingga diasumsikan permintaan pasar trendnya meningkat.
Tidak itu saja, mobilisasi penggunaan lurik tak dinyana merambah dunia usaha, sehingga banyak institusi swasta yang tergerak dan tertarik menggunakan lurik sebagai salah satu seragam kerja. Bahkan kabupaten tetangga yang notabene bukan sentra lurik, tak sedikit yang ikutan memesan.
Euforia kecintaaan terhadap lurik ini adalah momentum baik bagi Pemkab Klaten untuk pencitraan identitas daerah.
Penerapan lurik sebagai seragam PNS di lingkungan pemkab seharusnya tidak berhenti disitu saja, tapi bagaimana kebijakan ini sekaligus dikemas guna membangun ikon atau identitas daerah.
Pemkab selayaknya bisa memanfaatkan momentum ini, jangan sampai momentum itu hilang begitu saja.
Lurik pernah jaya di bumi Jawa Tengah pada era ’’Lurah’’-nya Jateng dijabat HM Ismail (kini almarhum). Jawa Tengah sempat kebanjiran order, permintaan lurik. Namun lurik jatuh meredup di kemudian hari karena tidak ada konsistensi dan keberlanjutan kebijakan.
Harus Belajar Dari sini pemkab harus belajar, kalau tidak ingin berujung nasib yang sama. Konsistensi, kesungguhan, dan keberlanjutan kebijakan menjadi kata kunci didukung langkah strategis yang subtansial.
Kemudahan akses pembiayaan, membuka jalur pemasaran, perlindungan, dan peningkatan kualitas produksi, menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan produk lokal menjadi hal ñ hal penting untuk ditempuh.
Upaya pencintraan lurik sebagai ikon, identitas atau produk asli Klaten dapat diwujudkan dengan pembuatan miniatur sebagai simbol. Penbuatan cindera mata, suvenir, vandel atau jenis plakat dengan bahan dasar lurik sebagai representasi daerah tidak salah jika dipatenkan sebagai produksi khas Klaten.
Sudah saatnya kabupaten ini memiliki kompleks niaga kebanggaan masyarakat sendiri di salah satu titik strategis pusat pemerintahan guna promosi daerah.
Kompleks ini nantinya bukan semata memamerkan semua produk unggulan, ajang interaksi perajin dengan pembeli, pameran bagi tamu-tamu daerah, tapi juga bagaimana produk lurik dibuat menjadi barang berkualitas seni.
Lurik tradisional hasil olahan alat tenun bukan mesin dengan alunan oklek bambu sebagai ciri khasnya selayaknya dipertahankan.
Harmonisasi alunan dentang bambu di antara tangan-tangan terampil ibu paro baya dalam merajut benang demi benang menjadi lembaran kain adalah alunan bunyi berjuta pesona yang mampu menyihir telinga yang mendengarkannya.
Saat ini publik Klaten tengah menunggu akan lahirnya sebuah kebanggaan daerah yang dibangun di atas budayanya sendiri.
Selayaknya harapan itu dipelihara dan tidak sia-siakan. Ataukah kita harus menunggu budaya dan kekayaan negeri ini kembali diserobot bangsa manca dan kita hanya bisa menyesal, gigit jari, dan kecewa? (10)
— Joko Priyono S Sos, Pranata Kehumasan Pemkab Klaten
Wacana Suara Merdeka, 20 November 2009