20 November 2009

» Home » Kompas » Memboikot Sertifikasi

Memboikot Sertifikasi

Sungguh mengejutkan. Forum Rektor Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan akan memboikot pelaksanaan sertifikasi tahun 2010.
Pasalnya ada ketidakberesan masalah keuangan terkait pengembalian honor para instruktur yang telah dibayarkan; padahal tenaga instruktur diambil dari kalangan profesional, doktor, hingga profesor.
Konon, persoalan dimulai dari pemeriksaan keuangan oleh Inspektorat Jenderal Depdiknas yang mengambil tenaga dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pihak BPKP merasa bekerja berdasarkan peraturan; sementara pihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menganggap peraturan itu amat tidak manusiawi jika diterapkan dalam konteks sertifikasi.


Dengan hati-hati, Menteri Pendidikan Nasional mencoba merespons boikot itu sambil memberikan klarifikasi kepada masyarakat bahwa pelaksanaan sertifikasi tidak akan dihentikan.
Positif
Ada pengalaman empiris yang perlu dicatat. Baru saja kami menemui ratusan guru di seluruh Indonesia yang telah menerima tunjangan profesi atas keberhasilannya dalam sertifikasi, baik melalui jalur portofolio maupun jalur diklat. Sebagai catatan, guru yang lolos sertifikasi akan menerima tunjangan profesi. Mereka ada yang tinggal di kota seperti di Jakarta dan Medan, dan ada pula yang tinggal di daerah seperti Ternate, Maluku Utara, dan Kupang, NTT.
Meski tempat tinggal berbeda, respons atas diterimanya tunjangan profesi sama: gembira dan bersyukur. Seorang guru SD negeri di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, amat senang menerima tunjangan profesi karena gajinya di atas Rp 5 juta. Seorang guru TK swasta di Gorontalo bersyukur karena menerima tunjangan profesi hampir empat kali lipat gajinya. Secara kuantitatif, ratusan guru yang kami temui menyambut gembira hal ini.
Dampak
Bahwa sertifikasi berdampak menambah kesejahteraan keluarga guru, ini fakta tidak terbantahkan. Sekitar 60 persen dari ratusan guru yang kami wawancarai menggunakan tambahan penghasilannya itu untuk membeli laptop guna meningkatkan produktivitas pengajaran. Sampai di sini tunjangan profesi berdampak positif terhadap kesejahteraan keluarga dan pemenuhan perangkat pembelajaran.
Namun, saat ditanyakan apakah tunjangan profesi yang diterima berpengaruh pada peningkatan prestasi belajar anak didik, mereka kesulitan untuk menjawab secara lugas.
Sebagian guru menyatakan, tunjangan profesi yang diterima belum berpengaruh pada prestasi belajar anak didik. Sebagian lagi menjawab tidak tahu, tidak yakin, dan yang lain menjawab ada pengaruh positif meski masih amat kecil.
Jadi, sertifikasi berdampak dan berpengaruh positif pada kesejahteraan keluarga. Itu tidak terbantahkan. Namun, apakah sertifikasi berpengaruh positif terhadap peningkatan prestasi belajar siswa masih harus dikaji lebih mendalam.
Di sisi lain, sertifikasi juga berdampak negatif. Mengapa? Karena umumnya tidak semua guru di suatu sekolah sudah mendapat giliran sertifikasi. Tentu saja hal ini menimbulkan kecemburuan antarguru. Hujan tidak merata karena rezeki hanya diberikan kepada guru yang telah bersertifikat. Apalagi guru yang sudah bersertifikat mulai melancarkan aneka tuntutan tanpa memedulikan guru yang belum bersertifikat. Tuntutan itu antara lain agar pemerintah membayar tunjangan profesi tepat waktu, agar nominal tunjangan profesi dinaikkan, dan sebagainya.
Gertak sambal
Berbagai temuan empiris itu perlu dikemukakan agar pemerintah mengerti bahwa para guru dan Forum Rektor LPTK mengetahui serta memahami persoalan yang muncul sebagai dampak sertifikasi. Jika Forum Rektor dan pimpinan LPTK ngambek dengan memboikot pelaksanaan sertifikasi, tentu akan muncul masalah baru yang ujungnya akan merugikan guru.
Bahwa sertifikasi belum membawa dampak nyata bagi peningkatan prestasi belajar siswa kiranya benar, tetapi setidaknya sertifikasi secara riil telah meningkatkan kesejahteraan guru yang diharapkan dalam jangka panjang membawa kemajuan pendidikan nasional. Dengan kesejahteraan itu, diharapkan keprofesionalan pun akan diraih.
Seandainya Forum Rektor LPTK benar-benar memboikot pelaksanaan sertifikasi, bisa jadi akan terjadi kemandekan, bahkan mungkin kekacauan dalam pelaksanaan sertifikasi guru yang ratusan ribu jumlahnya. Hal itu memang benar, tetapi bukan berarti tanpa peran Forum Rektor LPTK, semua akan berakhir. Itu sebabnya Depdiknas—khususnya Mendiknas—perlu segera menyelesaikan ”kemelut” ini secara bijak.
Pada sisi lain, diharapkan Mendiknas memahami ”psikologi orang Indonesia”. Ancaman boikot seperti itu bisa jadi hanya gertak sambal, sebagai siasat agar pimpinan departemen memberikan perhatian serius dalam penyelesaian masalah. Kita yakin teman-teman Forum Rektor LPTK punya nurani yang tidak akan menegakan nasib ratusan ribu guru beserta keluarganya.
Menyelesaikan masalah yang dihadapi Forum Rektor LPTK kiranya penting. Namun, menyelesaikan masalah yang dihadapi para guru yang belum mendapat giliran sertifikasi adalah jauh lebih penting.
Ki SupriyokoDirektur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa, Yogyakarta
Opini Kompas 21 November 2009