SUDAH menjadi kelaziman bersama bahwa korupsi tidak mudah diberantas. Hal tersebut sudah dirasakan jauh-jauh hari ketika era reformasi datang dan bangsa ini bertekad kuat untuk memberantas habis korupsi.
Dari sinyalemen banyak pihak, kasus perseteruan antaraparat penegak hukum ('cicak vs buaya') belakangan ini pada akhirnya juga akan menyeret kasus lain. Misalnya persoalan Bank Century. Secara mengejutkan terungkap bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menambah modal Bank Century hingga Rp6,76 triliun sebagai konsekuensi dari pengambilalihan Bank Century oleh LPS. Kebijakan ini sebetulnya bukan hanya mengambilalih bank, akan tetapi juga menjamin seluruh simpanan nasabah. Termasuk simpanan yang besarnya lebih dari Rp2 miliar.
Penambahan modal dilakukan secara bertahap mulai dari November 2008 hingga pertengahan 2009, yakni sejumlah Rp2,776 triliun untuk menambah modal agar mencapai CAR 10% pada 23 November 2008; Rp2,201 triliun pada 5 Desember 2008 untuk menutup kebutuhan likuiditas sampai 31 Desember 2008; Rp1,155 triliun pada 3 Februari 2009 untuk menutup kebutuhan CAR berdasarkan assesment BI atas perhitungan Direksi Bank Century; Rp630 miliar pada 21 Juli 2009 untuk menutup kebutuhan CAR berdasarkan assesment BI atas hasil audit Kantor Akuntan Publik. Total suntikan dana hingga mencapai Rp6,76 triliun (Sumber: LPS).
Kasus ini sampai kini menjadi perdebatan dalam konteks hukum dan politik. Publik disuguhi perdebatan yang membingungkan mana yang benar dan salah. Publik hanya berharap semua bisa diketahui dan dicerna dengan jelas, di atas landasan moral politik dan keadilan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. Saat ini adalah saat tepat untuk untuk memperbaiki transparansi sistem hukum kita agar mampu secara sungguh-sungguh mewujudkan keadilan. Sesuatu yang telah lama hilang di negeri ini. Tak dapat disangkal lagi bahwa semuanya memerlukan kesabaran, keberanian dan yang pasti adalah kejujuran bersama sebagai anak bangsa.
Keadilan publik
Semua kasus hukum di negeri ini bersangkut paut dengan keadilan publik. Ketika seorang buruh disangka mencuri sandal jepit lalu ia dihukum beberapa saat silam, secara hukum legal formal barangkali benar bahwa ia harus dijatuhi hukuman karena mencuri. Namun pada saat yang sama hukum dinilai bersifat sangat tidak adil ketika ia begitu tegas menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, namun membiarkan para pencuri besar lainnya berkeliaran tak tersentuh hukum.
Begitu banyak masalah ketaatan hukum di negeri kita menyangkut rasa ketidakadilan ini. Yang sedang aktual adalah kasus perseteruan antaraparat di lembaga penegak hukum. Bisa jadi kasus 'cicak vs buaya' ini bisa jadi hanya secuil dari berbagai kasus lain yang membutuhkan perhatian lebih. Akibat itulah seharusnya bangsa ini tidak terlena, melainkan tetap kritis terhadap model-model perubahan yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam banyak kasus yang identik seperti ini dan menyangkut orang-orang kuat, kita memetik pelajaran utama. Kendatipun pejabat pemerintah menyatakan sebagai sesuatu yang absah menurut hukum, namun apakah keputusan yang demikian sudah dijiwai oleh semangat keadilan, transparansi, akuntabilitas dan seterusnya. Itulah yang mendasari publik seringkali mempertanyakan inti semua ini, yakni keadilan.
Berikutnya tentu yang menjadi pertanyaan mendasar ialah bukan soal formal sah atau tidak sahnya, melainkan sejauh mana keputusan yang bersangkutan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik berdasarkan suara-suara empati dan keadilan. Dan apakah juga bisa disangkal dalam konteks keadilan peraturan bahwa keputusan tersebut benar-benar tidak merugikan rakyat.
Sebuah keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak bisa semata-mata hanya didasarkan pada rasionalisasi legal formal belaka. Tetapi keputusan yang tidak membawa persoalan di kemudian hari terkait dengan urusan adil dan tidak adil ini. Sungguh benar bahwa sebagai negara demokrasi kita harus bertindak untuk mengedepankan hukum dan peraturan. Namun dalam implementasi di lapangan, hukum yang diberlakukan secara terpisah dari moralitas keadilan sosial seringkali menegasikan suara hati itu sendiri. Ia akan menegasikan moralitas dan keadilan publik.
Berbagai macam proyek pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah dengan menggusur lahan-lahan rakyat kecil juga berhadapan dengan masalah sensitif seperti ini. Para pedagang kecil digusur dan dikucilkan atas nama keputusan pemerintah yang menyatakan demikian. Akibatnya keadilan yang tercipta bersifat timpang, ia lebih banyak berguna untuk membela mereka-mereka yang 'kuat' daripada yang 'lemah'.
Rakyat miskin tiada daya untuk menentang itu semua karena mereka terjebak dalam rasionalisasi penerapan peraturan yang diterapkan tanpa melihat situasi dan konteks moral serta pembelaannya terhadap kaum lemah yang sering ditindas dan dimanipulasi. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan bukan hal penting lagi untuk diperbincangkan. Singkat kata, hal-hal seperti inilah yang membuat kita terus mengritik mengapa hukum selalu berpihak kepada yang kuat dan bersikap tidak adil kepada yang lemah.
Keputusan menyangkut hajat hidup orang banyak harus melalui banyak pertimbangan. Sejauh mana ia diyakini akan menguntungkan negara dan memberi nilai tambah bagi masyarakat luas. Selain itu apakah kebijakan tersebut bisa dipertimbangkan secara moral bila diperkirakan yang diuntungkan hanya beberapa orang atau kelompok saja.
Mengedepankan aspek perasaan publik merupakan faktor utama sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan-keputusan penting, menyangkut anggaran dalam skala besar dan sangat sensitif.
Keterbukaan kebijakan menjadi pokok pangkal pertimbangan. Adakah ia diputuskan secara sembunyi-sembunyi atau secara transparan. Karena itu menjadi aneh ketika seorang pejabat penting negeri ini konon tidak mengetahui pengambilan kebijakan yang penting dan sensitif.
Moralitas publik
Menegakkan keadilan bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga bersangkut paut dengan moralitas. Hukum harus dijalankan seiring dengan moralitas publik. Sinisme publik atas suatu keputusan hukum dan politik merupakan cermin dari diabaikannya moralitas dalam perilaku politik.
Hukum dan moralitas ada tapi sering dianggap tiada. Berpuluh-puluh undang-undang dan ketetapan dilahirkan untuk bisa dicari-cari sisi lemahnya, diperdayai. Masyarakat diajari hidup di alam yang amat-amat buas, bahwa yang kuat selalu menang dan yang kecil harus kalah.
Ketika reformasi datang, kita beranggapan budaya demikian makin luntur sedikit demi sedikit. Nyatanya, reformasi sudah dia ambang kematian suri, budaya itu tetap makin kuat dengan berbagai kasus.
Kita makin menjauhi demokrasi substansial dengan hanya menyodorkan demokrasi simbolistik. Perasaan rakyat semakin hari semakin dihancurkan oleh berbagai pola perilaku yang menusuk-nusuk kalbu rakyat.
Kehidupan publik tidak lagi tunduk pada moralitas. Realitas inilah yang akhirnya menghancurkan peradaban kita sebagai bangsa. Kita menjadi bangsa yang tidak lagi perlu taat pada norma hukum, dan boleh saja melalui logika kekuasaan dan uang mengkhianati nilai-nilai keadilan. Masih adakah ruang kita untuk berbenah? Inilah saatnya.
Oleh Benny Susetyo Pr, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute
Opini Media Indonesia 5 November 2009