Pemutaran rekaman percakapan telepon seluler Anggodo Widjojo dengan beberapa oknum kepolisian dan kejaksaan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (3-11-09), mulai menjawab perseteruan panjang KPK versus kepolisian. Dari rekaman itu, teka-teki konflik cicak melawan buaya kini mulai menuju titik terang. Sangat mengejutkan, rekaman itu dengan vulgar menceritakan terjadinya mafia peradilan melalui tawar-menawar imbalan kepada pihak-pihak yang diduga ikut terlibat.
Di satu sisi, langkah MK dengan memutar rekaman tersebut tidak hanya membuahkan hasil penangguhan penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Tetapi, dalam aspek yang lebih luas, masyarakat justru mendapat pelajaran dan gambaran nyata bahwa mafia peradilan di negeri ini masih menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan hukum.
Tentu saja, kita patut mengacungi jempol terhadap MK. Institusi ini tidak terpaku pada sekat-sekat formal, sehingga berani melakukan gebrakan demi sebuah penegakan hukum. Pemutaran rekaman itu tidak berkaitan erat dengan perkara undang-undang (konstitusi), yaitu uji material terhadap UU KPK khususnya terkait dengan penonaktifan pimpinan KPK yang menjadi terdakwa.
Namun, langkah MK itu sangat mempengaruhi lahirnya keadilan hukum. Kita tidak bisa membayangkan apabila rekaman hasil penyadapan KPK itu diserahkan kepada institusi penegak hukum yang lain, seperti kejaksaan ataupun kepolisian. Obyektivitas dan netralitas institusi patut dipertanyakan.
Tulisan ini akan mencoba merefeleksikan rekaman hasil penyadapan KPK dalam konteks realitas penegakan hukum di Indonesia.
Pelajaran Banyak hal menarik dalam rekaman hasil penyadapan KPK. Bukan hanya karena terdapat sejumlah pejabat dari kejaksaan dan kepolisian, namun karena di dalamnya juga disebut beberapa nama lain. Misalnya, individu-individu yang berprofesi sebagai advokat, Lembaga Perlindungan saksi dan Korban (LPSK), serta nama salah satu media massa.
Sekalipun kebenaran rekaman itu masih belum dapat dipastikan secara hukum, tetapi ada beberapa pelajaran yang dapat diambil sebagai gambaran terhadap realitas sosial yang terjadi di negara kita saat ini.
Pertama, integritas aparat penegak hukum yang masih jauh panggang dari api. Beberapa nama pejabat yang terlibat dari kepolisian dan kejaksaan semakin memupus harapan publik tentang penegakan hukum di Indonesia.
Padahal, tegak tidaknya hukum tergantung dari bagaimana kualitas penegak hukum itu sendiri. Apalagi, ada tiga pilar hukum yang menjadi tonggak tegaknya hukum, yakni kepolisian, kejaksanaan, dan kehakiman. Lantas, bagaimana jika ketiga pilar itu tidak memiliki integritas hukum?
Kedua, pemutarbalikan fungsi kekuasaan. Dari pihak kopolisian, muncul sejumlah nama seperti Susno Duadji dan nama penyidik, yaitu Benny, Parman, Gupu, dan Dikdik. Demikian pun, dari pihak kejaksaan muncul nama Wisnu Subroto, Abdul Hakim Ritonga dan jaksa Irwan Nasution. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan — khususnya kekuasaan penyelidikan, penyidikan dan penahanan— masih disalahgunakan sebagai instrumen mafia peradilan.
Artinya, keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Pantas bila Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi mengatakan dalam Pengantar Filsafat dan Teori Hukum (2001), Law is the command of the law giver. Artinya, hukum adalah perintah dari penguasa. John Austin, seorang penganut aliran positivisme hukum juga mengatakan, hukum dibentuk oleh kalangan politikus atau pemegang kekuasaan.
Ketiga, mudahnya intervensi dan campur tangan orang luar dalam pengaturan perkara. Sangat ironis, seorang Ong Yuliana Gunawan yang juga menjadi aktor dalam rekaman hasil penyadapan KPK, bisa mengatur perkara di kejaksaan. Hal itu tecermin dari beberapa dialog dengan Anggodo dalam rekaman itu. Aneh, tapi nyata. Ada orang luar kejaksaan bisa mengatur perkara di kejaksaan. Namun, itulah realitas penegakan hukum di negeri ini.
Keempat, tingginya pengaruh media massa . Ada beberapa media massa yang juga dicatut dalam rekaman itu. Yaitu, RCTI, Metro TV, detik.com. Bahkan, muncul keinginan Anggodo Wodjojo untuk tampil live di salah satu stasiun televisi untuk menggiring opini publik. Artinya, media massa mempunyai peranan yang sangat vital, di mana pun, kapan pun dan dalam hal apa pun. Media massa juga bisa menjadi tunggangan para pelaku kejahatan untuk menggiring opini publik.
Kekuatan media massa dalam pemberitaan atau penyebaran informasi dapat berpengaruh pada pembentukan opini masyarakat dan pergerakan masyarakat. Bahkan, media massa dapat mengontrol berbagai kebijakan dan kinerja dari lembaga-lembaga negara yang ada di Indonesia. Untuk itu, di sini media massa dituntut netral, profesional, serta selalu berpihak pada kebenaran.
Kelima, lunturnya profesionalisme advokat. Dalam rekaman itu, Anggodo Wodjojo juga menyebut beberapa nama advokat (kuasa hukum). Yaitu, Kosasih, Alex, dan Bonaran. Mereka juga diduga terlibat dalam dugaan skenario kriminalisasi KPK. Padahal, seorang kuasa hukum selayaknya bukan membela kesalahan kliennya, atau mendukung tindakan pidana lainnya. Fungsi kuasa hukum adalah membela kepentingan hukum seorang klien. Misalnya, apabila pasal yang didakwakan penyidik keliru, maka sejatinya kuasa hukum meluruskannya, bukan justru sebaliknya.
Keenam, pudarnya integritas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Walapun masih sebuah dugaan, namun institusi juga disebut dalam tranksip rekaman antara Anggodo Widjojo dengan beberapa oknum. Padahal, LPSK selayaknya berperan sebagai pelindung saksi dan korban serta proaktif dalam penegakan hukum. Bukan tidak mungkin, dugaan keterlibatan ini menggambarkan, keselamatan para saksi dan korban dalam berbagai kasus masih terancam.
Ketujuh, kebenaran pasti akan mengalahkan kebatilan. Kasus ini memberi pelajaran, siapa saja yang melakukan tindak kejahatan, cepat atau lambat akan tercium juga. Sekuat apa pun pengaruh jabatan, kekuasaan, uang, tidak akan mampu menggulingkan kebenaran. Siapa yang menanam, dialah yang menuai. Karena itu, kasus ini selayaknya menjadi hikmah bagi para koruptor dan pelaku kejahatan lainnya.
Untuk itu, harus ada political will dari semua pihak, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif —termasuk Presiden— untuk menempatkan para pejabat negara yang memiliki kulitas profesionalisme dan integritas tinggi, khususnya para aparat penegak hukum. Masyarakat di level akar rumput pun dituntut untuk berpikir kriris, memilih pemimpin dan wakil rakyat yang dianggap paling mampu memegang amanah kepemimpinan. Tanpa itu semua, hukum di Indonesia hanya akan menjadi lapangan permainan para elite. (80)
—Abdul Waid, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis Buku Sorban Yang Terluka (2009)
Wacana Suara Merdeka 5 November 2009