05 November 2009

» Home » Republika » Memenjarakan Pemberantas Korupsi

Memenjarakan Pemberantas Korupsi

Oleh: Oce Madril
(Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM)

Kasus yang melanda dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Riyanto (BSR) dan Chandra M Hamzah (CMH), makin tak tentu arah. Ibarat bola liar, kasus ini menggelinding ke segala arah. Perkembangan terbaru adalah penahanan oleh polisi terhadap keduanya pada Kamis (29/10).

Dua pemimpin KPK yang dinonaktifkan karena sedang menjadi tersangka itu ditahan hanya berselang beberapa saat setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan provisi yang memerintahkan presiden untuk menunda pemberhentian keduanya sampai keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Tak profesional
Penahanan yang dilakukan Polri terhadap BSR dan CMH patut dipertanyakan. Secara hukum, memang aparat kepolisian berwenang untuk menahan seorang yang telah berstatus tersangka. Penahanan tersebut atas pertimbangan dua hal, yakni syarat objektif dan subjektif. Pertimbangan tersebut haruslah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Menurut Pasal 21 KUHAP, penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih. Selain itu, penahanan dilakukan jika dikhawatirkan tersangka tersebut merusak atau menghilangkan alat bukti, melarikan diri, dan mengulangi perbuatan pidananya.

Jika syarat objektif dan subjektif itu terpenuhi, seorang tersangka bisa saja ditahan oleh kepolisian demi kepentingan penyidikan lebih lanjut. Yang menjadi persoalan adalah jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi dan cenderung dipaksakan. Sebagaimana halnya terjadi pada kasus BSR dan CMH, penahanan mereka terkesan sangat dipaksakan. Karena, kedua pimpinan KPK nonaktif tersebut selama ini sangat kooperatif dengan penyidik kepolisian. Selain itu, sangat kecil kemungkinan mereka menghilangkan alat bukti dan mengulangi tindakan pidananya karena sangkaan perbuatan pidana terhadap keduanya berkaitan dengan jabatan mereka di KPK.

Sedangkan, saat ini mereka bukanlah pimpinan KPK aktif. Yang paling bermasalah adalah alasan karena seringnya keduanya melakukan konferensi pers yang dapat menggiring opini publik. Alasan tersebut jelas mengada-ada dan tidak dapat diterima dalam logika hukum pidana, bahkan cenderung melanggar prinsip hak asasi manusia, yakni kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan pers. Lagi pula, kalau mereka harus ditahan, mengapa tidak dari awal ketika resmi menyandang status tersangka pada bulan September lalu.   

Sebenarnya, penahanan yang dilakukan Polri bukanlah pemicu kontroversi kasus ini. Sejak awal, kasus ini memang sudah mendapat sorotan publik karena berbagai kejanggalan yang ditemukan. Beberapa kejanggalan tersebut, yakni, pertama, dasar penyelidikan kasus ini adalah testimoni mantan ketua KPK, Antasari Azhar. Testimoni ini jelas bermasalah. Dalam hukum pembuktian, keterangan Antasari dikenal dengan istilah testimonium de auditu . Secara harfiah,  testimonium de auditu berarti kesaksian mendengar dari orang lain. Dalam hukum pidana,  testimonium de auditu bukan alat bukti yang sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Kedua, terkait berubah-ubahnya dasar sangkaan pidana yang pada awalnya terkait penyuapan dan sekarang berubah menjadi penyalahgunaan wewenang karena BSR dan CMH memerintahkan penerbitan surat pencekalan terhadap Anggoro Widjojo yang diduga melakukan pidana korupsi dalam kasus proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Tuduhan ini pun jelas bermasalah karena apa yang dilakukan oleh BSR dan CMH merupakan perintah UU KPK untuk mencekal seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Dijelaskan dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU KPK, KPK berwenang memerintahkan instansi lain yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. Sehingga, tindakan pimpinan KPK sah menurut hukum. Lagi pula, jika menggunakan logika hukum Polri, apa yang pernah dilakukan oleh pimpinan KPK selama ini dapat dipersoalkan. Ketiga, sampai saat ini, Polri tidak mampu membuktikan sangkaannya. Buktinya, ketika berkas perkara diserahkan kepada Kejaksaan Agung, berkas tersebut ditolak karena tidak cukup bukti.

Apalagi setelah salah seorang saksi kunci, Ari Muladi, yang pada awalnya diduga menyerahkan sejumlah uang ke pimpinan KPK, membantah dan mencabut kesaksiannya. Serangkaian kejanggalan tersebut tentu membuat kita mempertanyakan profesionalitas Polri dalam mengusut kasus ini. Apalagi setelah terungkapnya transkrip yang diduga merupakan hasil pembicaraan antara petinggi Kejakgung dengan sejumlah pihak yang juga menyebut beberapa nama petinggi kepolisian yang terkesan mengatur (merekayasa) perkara ini. 

Tim independen
Terungkapnya transkrip rekaman merupakan fakta hukum baru. Walaupun masih dalam perdebatan, pimpinan KPK telah mengonfirmasi bahwa rekaman itu ada. Memang, belum ada yang tahu pasti mengenai isi rekaman tersebut. Namun, mencermati transkrip yang beredar selama ini, wajar jika masyarakat makin meragukan komitmen profesionalitas Polri dan Kejakgung. Dalam transkrip yang beredar, terlihat adanya komunikasi yang intensif antara petinggi Kejakgung dan sejumlah pihak yang diduga berperan dalam mengatur perkara ini. Bahkan, nama SBY pun dicatut dalam pembicaraan tersebut.

Apabila transkrip rekaman tersebut benar adanya, hal tersebut harus diusut tuntas. Pengusutan harus meliputi dua hal. Pertama, mengusut adanya unsur pidana penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh petinggi Kejakgung dan kepolisian serta adanya dugaan transaksi suap. Kedua, harus juga diusut keterkaitan antara pembicaraan dalam rekaman tersebut dan proses hukum yang sedang berlangsung terhadap dua pimpinan KPK nonaktif.

Untuk melakukan pengusutan tersebut, sebaiknya Presiden SBY mempertimbangkan untuk membentuk tim independen. Tim yang independen diperlukan agar lebih netral dan lebih menjamin agar pengusutan berjalan secara transparan dan akuntabel. Karena, dikhawatirkan jika pengusutan tersebut dilakukan oleh salah satu institusi penegak hukum: KPK, Polri, atau Kejakgung; akan terjadi conflict of interest yang berpotensi menimbulkan bias investigasi.

Kehadiran tim ini bukan untuk mengacaukan proses hukum yang sedang berjalan, melainkan justru untuk mengurai benang kusut kasus ini dan mencegah konflik ini agar tidak berkepanjangan sehingga berpengaruh terhadap kredibilitas politik dan ekonomi. Selain itu, poin yang lebih penting adalah memulihkan dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi demi mengembalikan kredibilitas pemerintahan SBY.

Opini Republika 4 November 2009