05 November 2009

» Home » Republika » Mengapa Harus Hak Angket?

Mengapa Harus Hak Angket?

Oleh: Bambang Soesatyo
(Anggota Komisi III DPR RI)

Kita semua pantas marah dan tidak bisa menerima langkah tak lazim penyelamatan Bank Century oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Karena, dana Rp 6,7 triliun itu dikucurkan dari kocek Lembaga Penjaminan Simpanan, namun di sana ada uang rakyat yang disisihkan dari premi dan uang negara (APBN) dalam bentuk penyertaan modal.
Pertanyaannya adalah bagaimana penyelamatan yang pada awalnya dikatakan hanya membutuhkan dana Rp 673 miliar, bisa membengkak sampai Rp 6,7 triliun?
Kita sangat prihatin bahwa BPK yang selama ini lugas dan ligat ternyata bekerja sangat lamban. Sampai mereka lengser, pekerjaan melakukan audit investigasi tidak kunjung selesai. Kini kita tinggal berharap BPK yang baru mau menuntaskan pekerjaan itu.

Sambil menunggu sekaligus memberikan dukungan terhadap BPK agar dapat bekerja dengan jujur dan punya nyali, kami di DPR menggulirkan hak angket untuk pembentukan pansus penyelidikan skandal Bank Century. Kami tidak hendak menohok apalagi menjatuhkan siapa pun dalam kasus ini. Yang kami perjuangkan adalah kebenaran. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan ke mana saja dana itu mengalir.Sebab, menurut kami, tidak masuk akal pemerintah masih mau melakukan penyelamatan terhadap bank yang dirampok oleh pemiliknya sendiri.

Aspek hukum
Ada beberapa aspek terkait hukum yang bisa dikaji untuk kasus Bank Century, yakni mencakup pre-incident, incident, dan post-incident pengambilalihan bank 'pesakitan' oleh LPS. Dan, setengah dari perjalanan pre-incident ini sudah terungkap, yakni terjadinya 'perampokan' (penyalahgunaan wewenang) oleh para pemilik Bank Century, yaitu Robert Tantular (WNI), Rafat Ali Rizfi (WNA), dan Hesyam Al Waraq (WNA).

Robert Tantular (RT) telah dinyatakan bersalah menggunakan deposito valas milik Budi Sampoerna sebesar 18 juta dolar AS (Rp 180 miliar), mengucurkan kredit fiktif kepada PT Wibowo Wadah Rejekis senilai Rp 121,3 miliar dan kepada PT Accent Investment Indonesia sebesar Rp 60 miliar. Atau, bila ditotalkan, 'perampokan' ini kurang lebih bernilai Rp 360 miliar. Sedangkan dua rekan RT lainnya, yakni Rafat Ali dan Hesyam Al Waraq yang merupakan warga negara asing keturunan Arab ini masih menjadi buron interpol. Secara bersama-sama, mereka bertiga tidak mengembalikan aset-aset surat berharga Bank Century yang berada di luar negeri. Dan, hingga saat ini, polisi masih terus memburu sejumlah L/C (letter of credit) bodong yang mencapai Rp 1,7 triliun.

Vonis hukuman empat tahun penjara Robert Tantular terlalu singkat jika dibandingkan kriminalitasnya. Terlepas dari amar keputusan tersebut,  kita tidak boleh hanya berpaku pada sosok RT, karena kriminalitas RT kemungkinan besar hanya berada di era pre-incident<I>. Masih ada dua masa yang lebih besar, yakni incident dan post-incident.

Periode incident, yakni diselamatkannya Bank Century oleh LPS atas rekomendasi Gubernur BI dan disetujui Menteri Keuangan, yang berimplikasi pada kucuran dana likuidasi perdana sebesar Rp 2,78 triliun. Dan, dalam waktu kurang dari tiga bulan (23 Nov 2008 - 3 Feb 2009), LPS telah menyuntikkan total dana Rp 6.13 trilun, terakhir ditambah lagi Rp 630 miliar. Sehingga, total dana LPS yang dikucurkan adalah Rp 6.76 triliun per Juli 2009.

Hal lain yang menarik adalah kesan bahwa telah terjadi pelangkahan kewenangan eksekutif oleh otoritas keuangan. Menteri Keuangan menyatakan Presiden tidak terlibat dalam urusan ini. Saat itu Presiden di luar negeri dan telah menginstruksikan Menteri Keuangan berkonsultasi dengan Wakil Presiden--yang ketika itu adalah penanggung jawab lembaga kepresidenan. Ternyata Wakil Presiden baru mendapat informasi tentang bailout itu beberapa hari kemudian. Pertanyaan yang muncul, siapa yang harus bertanggung jawab atas kemelut Bank Century? Bolehkah Menteri Keuangan mengklaim keputusannya sebagai keputusan pemerintah?

Laporan awal hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan atas Bank Century (tanggal 30 September 2009) mengungkapkan, banyak kelemahan dan kejanggalan serius di balik penyelamatan Bank Century yang menelan dana hingga Rp 6,7 triliun. Sedianya, BPK telah menyelesaikan hasil audit terakhir pada tanggal 19 Oktober 2009. Namun, dengan alasan beratnya kasus, audit belum bisa diselesaikan tepat waktu, dan diserahkan kepada anggota BPK yang baru untuk dilanjutkan. Sangat mungkin ini disebabkan oleh BPK sendiri yang tidak berani untuk mengusut tuntas kasus Bank Century, karena diduga melibatkan pejabat negara.

Siapa bakal terjerat?
Kasus Bank Century jika diusut dari awal bakal menyeret sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara. Jika dilihat dari proses kelahiran Bank Century (merger Bank Danpac, Pikko, dan CIC) pada 2004, para pejabat BI patut diduga telah melakukan aturan asas kehati-hatian perbankan. BI terlalu memberikan kelonggaran persyaratan merger.

Proses perizinan merger dilakukan melalui Rapat Dewan Gubernur BI. Dalam rapat ini, pengambilan keputusan dilakukan oleh Deputi Gubernur yang membawahi koordinator bidang perbankan, pemeriksaan, dan pengawasan bank, serta koordinator bidang perbankan secara keseluruhan yang dilakukan oleh Deputi Gubernur Senior.

Seusai kisruh Bank Century, November 2008, otoritas keuangan yang bakal terjerat kasus ini adalah Menkeu dan Gubernur BI pada periode tersebut. Dua orang inilah yang menyetujui pencairan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) untuk Bank Century, dengan mengakali ketentuan CAR.

Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 10/26/PBI 2008 tentang FPJP, Bank yang bisa mendapatkan FPJP harus memiliki CAR sebesar delapan persen. Namun, karena posisi CAR Bank Century per tanggal 30 September 2008 hanya sebesar 2,35 persen, pada tanggal 14 November 2008, BI mengubah PBI mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula CAR delapan persen menjadi CAR positif. Berbekal PBI itulah FPJP pun digelontorkan kepada Bank Century.   

Menurut hasil audit BPK, keputusan itu sesungguhnya sudah melalui berbagai pembahasan antara BI, Departemen Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam rapat konsultasi KSSK tanggal 14, 17, 18, 19 November 2008. Dengan memperhatikan surat Gubernur BI No 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, KSSK melakukan rapat KSSK pada 20 - 21 November 2008. Rapat kosultasi tersebut dilalui dengan presentasi BI yang menguraikan Bank Century sebagai Bank Gagal dan analisis dampak sistemis.

Dari rapat tersebut, diketahui bahwa sejumlah peserta rapat lain pada umumnya mempertanyakan dan tidak setuju dengan argumen dan analisis BI, yang menyatakan Bank Century ditengarai berdampak sistemis. Menanggapi pertanyaan dari peserta rapat lainnya, BI menyatakan sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan risiko sistemis atau tidak, karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang dapat diukur hanyalah perkiraan atau biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan. Sejumlah besar peserta rapat tidak setuju untuk menyelamatkan Bank Century, namun atas desakan pejabat BI mengatakan penyelamatan Bank Century harus dilakukan saat itu juga (21 November 2008).

Sejak awal upaya penyelamatan Bank Century sudah menunjukkan banyak keanehan dan kejanggalan. Dampak yang ditimbulkan pun sangat besar. Sudah seharusnya inkompetensi kebijakan dan praktik bad governance seperti ini segera diselesaikan. Tak hanya langkah hukum yang harus diambil. Langkah politik pun harus ditempuh.

Karena itu, pemeriksaan terhadap otoritas keuangan yang terlibat harus segera dilakukan. Para deposan yang menerima kucuran dana Bank Century harus ditelusuri satu per satu. Dan, dari sisi politik, Hasilnya, bila yang bertanggung jawab adalah personel birokrasi, solusinya adalah administratif personalia. Tapi, bila yang bertanggung jawab adalah produk pengangkatan politik, solusinya tentu sebuah keputusan politis.

Hak angket DPR merupakan salah cara yang terbaik. Maka itu, dengan adanya konsolidasi antara Komisi III dan Komisi XI, diharapkan akan melahirkan kesepakatan di tingkat fraksi untuk menggunakan hak angket.


Opini Republika 3 November 2009