05 November 2009

» Home » Media Indonesia » Quo Vadis UKP3R?

Quo Vadis UKP3R?

UNIT Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP-PPR) atau UKP3R dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2006 tanggal 29 September 2006 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2008 tanggal 23 September 2008.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 17/2006, UKP3R bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan pemantauan, pengendalian, pelancaran, dan percepatan atas pelaksanaan program dan reformasi sehingga mencapai sasaran dengan penyelesaian penuh.

Seiring dengan proses seleksi menteri kabinet, keberadaan UKP-PPR, terutama siapa yang akan menggantikan Marsillam Simanjuntak sebagai Kepala UKP-PPR, kembali menjadi perhatian masyarakat. Namun demikian, tiga tahun sejak berdirinya, karena lebih banyak disebabkan kendala politis dan birokratis, tidak banyak yang berhasil dilakukan UKP-PPR. Lalu kemudian pertanyaan yang muncul adalah apakah UKP-PPR sebagai instrumen manajemen institusional kepresidenan masih diperlukan?

Permasalahan yang dihadapi
Sejak awal pembentukannya, UKP-PPR telah menghadapi permasalahan yang tidak mudah, di antaranya adalah lemahnya akseptabilitas politik terhadap eksistensi, fungsi dan kewenangan UKP-PPR. Selain itu, dukungan politik dan komitmen dari birokrasi pemerintahan untuk efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi UKP-PPR terasa kurang kuat. Salah satu penyebab masalah ini barangkali adalah masih belum tersosialisasikannya dengan baik akan pentingnya fungsi, kewenangan, dan keberadaan UKP-PPR.

Hal itu terlihat dari surat-surat yang masuk ke UKP-PPR pada 2007 dan 2008, yang sebagian besar menanyakan fungsi, kewenangan dan organisasi UKP-PPR. Penyebab lainnya mungkin adalah keengganan lembaga pemerintah untuk dipantau kinerjanya oleh suatu lembaga eksternal seperti UKP-PPR.

Masalah penting lainnya adalah adanya duplikasi dan tumpang tindih kewenangan, tugas dan fungsi UKP-PPR dengan portofolio lembaga pemerintah lainnya, seperti dengan Dewan Pertimbangan Presiden, Deputi Pemerintahan Sekretariat Kabinet, Kementerian Koordinasi, dan, dalam hal reformasi birokrasi, dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Hal itu tentu berpotensi mengakibatkan inefisiensi dan konflik kelembagaan.

Kendala penting lain yang cukup menghambat kinerja UKP-PPR adalah masalah keterbatasan sumber daya, terutama sumber daya manusia. Masalah ini dapat dilihat dari kebutuhan awal pegawai sebanyak 51 orang pada 2007 baru terpenuhi sebanyak 4 orang (0,7%), tahun 2008 15 orang (29%), dan tahun 2009 27 orang (53%). Selain itu, dari 30 jabatan struktural dan fungsional yang ada, baru 8 atau 26% terisi, dengan hanya dua deputi--satu deputi mengundurkan diri.

Karena sumber daya manusia yang terbatas, tidak banyak yang dilakukan UKP-PPR dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Akibatnya, realisasi belanja negara dari anggaran yang tersedia tidaklah terlalu besar, yaitu hanya Rp1.814.180.000 atau 20,99% pada tahun anggaran 2008, dan Rp1.027.424.099 atau 12,02% pada tahun 2009.

Masalah ini, di antaranya, tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan pengadaan pegawai--terutama pegawai Sekretariat UKP-PPR--dan anggaran UKP-PPR pada Sekretariat Negara. Oleh karena itu, ke depan UKP-PPR diharapkan secara mandiri dapat memiliki sekretariat dengan pegawainya sendiri serta mempunyai pos anggaran yang terpisah.

Pemikiran ke depan
Berdasarkan analisis masalah kelembagaan dan hambatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi UKP-PPR selama ini, saya mengusulkan lima alternatif kebijakan untuk mengatasi permasalahan kelembagaan kepresidenan yang berfungsi melakukan pemantauan dan percepatan tercapainya tujuan kebijakan dan program pemerintah.

Pertama, mempertahankan eksistensi dan memperkuat kewenangan UKP-PPR. Bagaimanapun, untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan, lembaga yang memiliki fungsi pemantauan, pengendalian, pelancaran dan percepatan atas pelaksanaan program dan reformasi pemerintahan seperti yang dimiliki UKP-PPR tetap diperlukan Presiden. Namun demikian, agar UKP-PPR dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan tujuan kebijakan dan program pemerintah dapat tercapai dengan penyelesaian penuh, kewenangan dan fungsi UKP-PPR harus diperkuat.

UKP-PPR, misalnya, tidak hanya memantau kinerja departemen atau lembaga pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan dan program pemerintah, tapi ia juga hendaknya memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada lembaga pemerintah atau pemangku kepentingan terkait. Selain itu, UKP-PPR dapat melaporkan hasil evaluasi dan rekomendasi kebijakan tersebut kepada Presiden atau Sidang Kabinet.

Kedua, UKP-PPR dibubarkan. Sebagai gantinya, fungsi dan kewenangan Deputi Pemerintahan Sekretariat Kabinet dan Dewan Pertimbangan Presiden yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi UKP-PPR lebih diberdayakan dan diperkuat.

Ketiga, UKP-PPR dileburkan ke dalam Kantor Anggaran dan Manajemen Kebijakan dan Program Pemerintah. Kantor itu merupakan subordinat dari suprastruktur Kantor Eksekutif Presiden yang sedang kami kaji fisibilitas politik, konstitusional, dan organisasinya. Kantor itu meleburkan, merasionalisasi, dan mentransfer fungsi, personel dan organisasi Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinasi, Deputi Pemerintahan Sekretariat Kabinet, Deputi Dukungan Kebijakan Sekretariat Negara, dan Deputi Politik dan Deputi Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden.

Nantinya kantor ini merupakan kantor yang paling powerful di antara kantor-kantor presiden, bahkan di antara instansi pemerintahan eksekutif. Kantor itu didesain sehingga Presiden memiliki institusi kepresidenan yang kuat dan efektif yang berada di bawah kendali langsung Presiden untuk secara tersentralisasi merencanakan, mengoordinasikan, mengintegrasikan, mengarahkan, dan mengendalikan kegiatan perumusan dan pengimplementasian kebijakan, dan program pemerintah.

Dengan demikian, masalah koordinasi, komunikasi, disintegrasi, konflik kepentingan, duplikasi, dan inefisiensi kebijakan dan program pemerintah dapat diatasi dan tujuan kebijakan atau program pemerintah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan performance-based budgeting sebagai implementasi stick and carrot mechanism di bidang anggaran, kebijakan dan program pemerintah.

Keempat, UKP-PPR dibubarkan dan diaktifkannya kembali Sekretariat Pengendalian dan Operasional Pembangunan atau Sesdalopbang semasa pemerintahan Presiden Soeharto, atau Sekretariat Pengendalian Pemerintahan atau Sesdalprin masa pemerintahan Abdurrachman Wahid. Sekretariat ini melakukan tugas dan fungsi seperti yang dimiliki UKP-PPR, berkedudukan di bawah, dan bertanggung jawab langsung kepada serta dikendalikan langsung oleh Presiden.

Kelima, UKP-PPR dileburkan ke dalam Deputi Pemerintahan Sekretariat Kabinet dan namanya diubah menjadi Deputi Manajemen Program dan Reformasi Pemerintahan dengan fungsi dan kewenangan yang diperkuat. Atau UKP-PPR menjadi unit kerja atau deputi tersendiri dari Sekretariat Kabinet dengan fungsi dan kewenangan khusus, yaitu memantau dan mengendalikan implementasi program dan kebijakan yang menjadi prioritas dan perhatian khusus Presiden.

Namun demikian, terlepas dari apa pun nanti bentuk dan proses kelembagaannya, dalam manajemen pemerintahan, Presiden, selaku chief excecutive officer, tetap dan akan sangat memerlukan suatu lembaga dan mekanisme kerja untuk memastikan tercapainya tujuan kebijakan dan program pemerintah dengan penyelesaian penuh, efektif dan efisien. Oleh karena itu, reformasi kantor kepresidenan, dengan paradigma baru berdasarkan konstitusi demokratis UUD 1945, merupakan conditio sine qua non bagi suatu pemerintahan yang efektif.

Oleh Roby Arya Brata, Asisten Kepala Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP-PPR); tulisan ini adalah pendapat pribadi

Opini Media Indonesia 5 November 2009