05 November 2009

» Home » Republika » Gunung Es Chandra-Bibit

Gunung Es Chandra-Bibit

Didin S Damanhuri
(Guru Besar IPB)


Hukum atau syariat dalam Islam esensinya harus membuahkan kebijaksanaan yang berujung tegaknya keadilan (adalah ). Ini sudah banyak dikemukakan oleh para ahli Agama (Islam) yang dalam momen 'kasus Chandra-Bibit' (KCB) menjadi tersambung dengan para ahli dan praktisi hukum yang bernurani.

Ini terkait dengan peristiwa historis di mana KPK membuka rekaman pembicaraan Anggodo (adik tersangka yang buron, Anggoro) dengan sejumlah pejabat Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang terekam secara tak sengaja ketika KPK menyelidiki salah satu kasus korupsi. Pendapat bahwa rekaman tak layak dibuka MK dipersoalkan oleh Menkumkam, Patrialis Akbar (mewakili pemerintah yang hadir di MK), dan beberapa ahli dan praktisi hukum bertentangan dengan pendapat para ahli agama dan hukum yang 'bernurani'.
Publik yang menjadi pemilik saham adanya rasa keadilan hukum di negeri ini menjadi terusik setelah mendengar rekaman pembicaraan Anggodo di MK tersebut. Hal ini hanyalah menjadi bukti betapa Mafia Peradilan konspirasi antara para 'cukong', aparat kepolisian, kejaksaan, peradilan dan advokat yang selama ini mengangkangi rasa keadilan masyarakat menjadi benar adanya.

Lucunya pemberitaan KCB yang hampir dua pekan ini menghabiskan energi masyarakat yang luar biasa yang menyalip peristiwa lain, seperti program Kabinet Baru,  National Summit , dan seterusnya yang menyangkut masa depan kesejahteraan bangsa. Dalam pengertian pragmatis, seolah debat publik soal KCB merupakan kesibukan tanpa makna.

Namun, kalau direnungkan lebih mendalam, justru hal ini merupakan gunung es di mana rasa keadilan masyarakat yang selama ini terkubur oleh ingar-bingar pembangunan material yang praktiknya juga masih jauh dari keadilan ekonomi (kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan keterbelakangan masih menimpa sebagian masyarakat kita).

Dengan begitu, sesungguhnya ketidakadilan hukum yang menimpa masyarakat banyak juga berkorelasi dengan ketidakadilan ekonomi yang keseluruhannya tercakup dalam ketidakadilan sosial yang merupakan negasi terhadap tujuan bernegara (sila kelima dari Pancasila) dan beragama (Islam) seperti telah disebutkan di atas.

Tulisan ini mencoba menguak kaitan bagaimana momentum KCB ini dan perlunya reformasi menyeluruh yang seyogianya terjadi di negeri ini. Ini terutama setelah adanya awal reformasi politik (pemilu yang sukses) yang harus tersambung dengan demokratisasi politik yang substansial, reformasi ekonomi yang harus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan rakyat, dan reformasi hukum di mana produksi perundang-undangan dan pelbagai regulasi turunannya yang mampu menegakkan rasa keadilan hukum bagi semua warga negara. Dan bagi bangsa yang beragama, ini adalah agenda pribadi, ormas, orpol maupun lembaga keagamaan yang tak berhenti pada ritual serta sekadar puas dengan pertumbuhan bank syariah seperti selama ini, misalnya.

Kabinet Baru
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, hasil kemenangan pasangan SBY-Boediono dalam pemilu, telah terbentuk dan langsung tancap gas dengan  National Summit . Salah satu hasilnya adalah kebutuhan Rp 10.000 triliun investasi dalam lima tahun. Pertanyaannya investasi bidang apa, apa telah terkait untuk menggerakkan sektor riil yang selama ini mandek? Juga, apakah akan mengorekasi  misallocation of resources di mana investasi lebih menciptakan  trackle-up effect , yakni hanya ramai di kota dan memperkaya kaum elite dan strata atas yang mengorbankan rakyat banyak dengan abai terhadap UKMK dan sektor pertanian dalam arti luas?

Jika  National Summit yang terkesan elitis yang hasilnya juga akan elitis. Yakni, hanya mengulang format pembangunan yang urban and elite bias, maka tampak kegalauan masyarakat terhadap harapan akan adanya keadilan ekonomi. Apalagi kualitas pertumbuhan ekonomi makin terdistorsi dalam beberapa tahun terakhir oleh sumbangan yang signifikan adanya  capital inflow pada pasar uang dan modal yang bersifat spekulatif (ribawi). Pertumbuhan perbankan syariah yang mencengangkan pun baru menyalurkan pada pertumbuhan sektor riil hanya kurang dari 30 persen. Karena itu, gejala ini pun harus dikoreksi.

Di tengah kegalauan tersebut, berseliweranlah transkrip tak resmi pembicaraan Anggodo dengan sejumah pejabat penegak hukum seperti disebutkan di atas yang diduga adanya 'rekayasa kriminalisasi KPK'. Kemudian disusul dengan penahanan Chandra-Bibit yang dituduh melakukan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan, yang terkesan dipaksakan. Ini menjadikan momentum 'kemarahan massal' publik di mana kegalauan belum terjaminnya keadilan ekonomi bercampur dengan tertusuknya 'rasa keadilan hukum' masyarakat dengan KCB tersebut. Sebelumnya dalam perspektif politik pun, meski telah sukses besar dengan pemilu yang damai, namun masih banyak proses demokratisasi politik yang substansial yang belum menciptakan Keadilan Politik.

Dari sini, Presiden SBY kiranya harus menangkap sinyal ketidakadilan sosial yang menyatu (ekonomi, hukum, dan politik) dalam menghadapi KCB. Tak semestinya hanya mendengarkan nasihat hukum dengan pendekatan legal-formalistik. Tapi, harus menghunjam terhadap adanya rasa ketidakadilan sosial yang kompleks yang dirasakan masyarakat seperti telah diuraikan. Maka, kalau pendekatannya keliru, harus dipertimbangkan bisa terjadinya 'ketidakpercayaan masyarakat' ( social distrust ) yang dapat menjadi modal terjadainya perlawanan rakyat dalam bentuk  people power yang merugikan bangsa.

Prospek Pemberantasan Korupsi
Pada 2005, saya pernah menulis sebagai apresiasi terhadap sikap SBY pada KIB I, yang menciptakan KPK yang mampu mengulang adanya pemberantasan korupsi yang relatif substansial sejak Kabinet Burhanuddin Harahap pada pertengahan tahun 50-an ( Republika , 19 mei 2005). Dan publik selama KIB I memerintah relatif memberi harapan bahwa lorong untuk terbebaskannya bangsa dari penyakit korupsi sudah dalam jalan yang benar, terutama dengan adanya peran KPK. Dengan telah terpidanakannya sejumlah mantan menteri, gubernur, anggota DPR, DPRD, dan seterusnya menghasilkan indeks persepsi korupsi yang diterbitkan lembaga-lembaga internasional relatif telah ada perbaikan.

Tetapi, memasuki masa pemerintahan SBY dengan KIB II, apalagi posisi pimpinan KPK dengan segala kelemahannya, kemudian dikesankan diintervensi atau istilah populer adanya 'kriminalisasi KPK', maka publik kembali amat galau. Oleh karena itu, perlu dicermati prospek pemberantasan korupsi dalam beberapa tahun ke depan yang menurut hemat penulis ada tiga skenrio:

Pertama, kalau pada akhirnya rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) tidak ditindaklanjuti sehingga terjadi pemelamahan peran KPK yang berdampak kepada pelemahan upaya pemberantasan korupsi, antara lain juga karena dalam UU Tipikor banyak pasal ngambang, KPK terpasung, dan seterusnya. Maka, dapat terjadi apatisme masyarakat yang menciptakan  social distrust yang pada akhirnya KIB II akan kurang mendapat dukungan, sehingga ketidakadilan sosial seperti digambarkan di atas makin besar dan kompleks. Dengan begitu, potensial terjadi krisis ekonomi lanjutan dalam lima tahun ke depan yang lebih sulit lagi untuk ditangani dibandingkan pada 1998 dan 2008.

Kedua, kalau rekomendasi TPF ditindaklanjuti Presiden dengan memberhentikan pejabat yang salah dan memperadilankan para pelaku tindak pidana, termasuk menuntaskan kasus Bank Century yang menjadi episentrum KCB, maka hal tersebut akan memenuhi sebagian rasa keadilan masyarakat dan KIB II pun akan lebih didukung rakyat. Dan, potensial bagi bangsa ini mampu untuk keluar dari krisis multidimensi yang mengangkanginya selama ini.

Ketiga, kalau rekomendasi TPF hanya ditindaklanjuti secara parsial, yakni menindak yang salah namun hanya pelaku lapangan, apalagi kasus Bank Century tak tersentuh, maka rasa keadilan masyarakat pun hanya terpenuhi secara semu, yang ini pun dampaknya bisa mengarah pada skenario seperti yang dijelaskan dalam skenario pertama yang pada akhirnya bangsa ini terjebak pada 'sejarah yang tak mengalami perubahan' ( history of no-change ).

Mudah-mudahan tidak terjadi seperti dalam skenario yang ketiga apalagi yang pertama. Oleh karena itu, kaum beragama, khususnya yang beragama Islam mayoritas di negeri ini, harus menanggung beban sejarah di pundaknya. Yakni, untuk ikut berkontribusi mencarikan solusinya, termasuk bagaimana mengarahkan perkembangan syariah yang sudah tumbuh dengan baik, namun harus berujung mampu mewujudkan esensinya, yakni menciptakan keadilan ( adalah ), baik keadilan ekonomi, hukum maupun politik, sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat ( fallah ), baik material maupun spiritual. Semoga

Opini Republika 6 November 2009