05 November 2009

» Home » Republika » Waspada Rekayasa Tingkat Tinggi

Waspada Rekayasa Tingkat Tinggi

Oleh Mohamad Fathollah
(Sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta)


Sejak ditetapkannya Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah (pimpinan KPK demisioner) sebagai tahanan oleh Mabes Polri, banyak pihak baik melalui lembaga resmi ataupun perseorangan memberikan dukungan dan empati.

Merebaknya dukungan terhadap mantan pimpinan KPK tersebut karena disinyalir terdapat skenario besar-besaran untuk membunuh karakter KPK. Hal tersebut mungkin masuk akal. Karena penahanan Bibit dan Chandra cenderung dipaksakan. Pasal hukum yang menjerat mereka pun tidak cukup bukti.
Hanya alasan klise yang menghantarkan mereka ke hotel prodeo yakni, pihak polri tidak begitu yakin Bibit dan Chandra tidak akan menyalahgunakan wewenang dan agar pelaku tidak melarikan diri, merusak, menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi perbuatannya. Atau alasan yang cukup 'kekanak-kanakan' ialah kedekatan Bibit dan Chandra dengan para awak media.

Tapi, bukannya mereka berdua sejak ditetapkan sebagai terdakwa cukup kooperatif dengan pihak berwajib?
Kalaupun Polri khawatir Bibit dan Chandra mengulangi perbuatannya yang merusak atau menghilangkan barang bukti kasus yang menderanya, yang menjadi pertanyaan besar masyarakat ialah kasus yang mana? Sebab, hingga kini Polri tidak membeberkan secara lebih rinci kasus yang menjerat Bibit dan Chandra, apakah disebabkan oleh kelalaian mereka atau kesengajaan. Tuduhan polisi yang berubah-ubah menghantarkan ribuan 'facebookers' dan para tokoh bangsa memberikan dukungan moral terhadap mereka dan KPK.

Apatisme
Rasa empati masyarakat terhadap kasus Bibit dan Chandra apabila tidak dibuktikan secara hukum 'de facto' serta pembeberan alat bukti (evidence ) yang bersifat rasional, akan dapat menjadi bom waktu bagi eksistensi lembaga hukum setingkat Polri.

Terus mengalirnya dukungan kepada Bibit dan Chandra dari berbagai penjuru merupakan salah satu langkah konkret terciptanya keadilan. Keadilan yang bersifat masif dan berkesinambungan akan menjadi senjata untuk menebang egosentrisme dan persekongkolan yang melawan hukum. Menegakkan hukum, memperjuangkan demokrasi, dan tetap terlaksana menurut hukum rasional merupakan hakikat dari kebenaran-kemanusiaan.

Kalaupun benar Bibit dan Chandra bersalah di mata hukum, setidaknya interpelasi yang sering diajukan oleh pihak KPK dan masyarakat kepada Polri untuk membeberkan barang bukti dapat mewujudkan hukum yang humanis. Napoleon Bonaparte boleh mengatakan 'hukum adalah saya', namun di zaman demokrasi ini hukum bukanlah milik perseorangan ataupun lembaga tertentu di pemerintahan. Sebab, hukum milik semua ( law for justice ).

Apabila Polri tidak membeberkan bukti secara detail kepada kyalayak, bahwa Chandra dan Bibit benar-benar terbukti melawan hukum, dapat dipastikan simpati dan empati masyarakat terhadap lembaga penegak hukum akan berubah apatis. Dan, secara gradual dapat dipastikan ketika hukum dijadikan alat membabat kebenaran, yang menjadi korban bukan saja Bibit, Chandra, KPK, dan masyarakat, lebih daripada itu hukum yang mengatur demokrasi akan menjadi mandul. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya pembenaran dari Polri dan lembaga hukum lainnya, tidak dapat dimungkiri hukum selamanya akan menjadi kambing hitam atas segala kasus yang ada.

Rekayasa
Apabila tidak ada kepentingan parsial dari beberapa oknum atas penahan Bibit-Chandra, seyogianya semua pihak yang terlibat atas kewenangan penahanan tersebut dievaluasi secara masif, baik dari pihak terkait Mabes Polri dan KPK maupun lembaga hukum idependen lainnya.

Pembiaran permusuhan 'cicak versus buaya' secara institusional akan berakibat buruk ( presendece ) pada segala proses hukum yang berlaku di negeri ini. Penahanan Bibit dan Chandra, tanpa proses hukum rasional, tidak mustahil memunculkan pendapat miring dari masyarakat bahwa kasus tersebut memang terdapat rekayasa politik yang melibatkan orang-orang dalam pemerintahan. Testimoni ini dapat kita perhatikan dari serangkaian putusan hukum oleh Kejaksaan, Pengadilan, Polri, dan lainnya. Misalnya saja, penelurusan kasus kematian aktivis HAM, Munir, kini diberhentikan, atau kasus korupsi di Bank Century hingga kini belum jelas.

Adanya rekayasa besar-besaran yang terjadi pada proses hukum Bibit dan Chandra terlihat dari 'plin-plan'-nya tuduhan pihak Polri terhadap Bibit-Chandra. Tuduhan yang dialamatkan pada mereka berdua sebelumnya atas testimoni Antasari Azhar (ketua KPK domesioner) tentang penyelewengan dana kasus Radiokom, kini berubah penyelewengan wewenang.

Atau terhadap kasus Bank Century, misalnya, yang disinyalir melibatkan para petinggi negara. Setelah mengalami kolaps, Bank Century yang disuntik dana dari negara malah merugikan negara triliunan rupiah. Berdasarkan audit investigasi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 21 transaksi yang mencurigakan, baik di dalam negeri maupun luar negeri, terkait kongkalikong pengucuran dana Bank Century.

Peperangan antara 'cicak versus buaya' yang semakin meruncing tersebut tidak hanya merebut pengaruh kuasa, bisa jadi 'grand design'-nya adalah untuk melemahkan salah satu lembaga tersebut atau menghancurkan kelompok pelaku keadilan. Dalam undang-undang secara tersirat atau tersurat sudah diatur mengenai wewenang dan kewenangan sebuah institusi pemerintah. Menyalahi aturan dan melebihi kewenangan ( overlapping ) atas sebuah lembaga dapat dipastikan motif politis atau parsial menjadi alasan pragmatis.

Terlepas dari rekayasa besar. Seyogianya kasus yang melibatkan hukum diproses secara hukum rasional pula, bukan hukum kekuasan demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Untuk kasus Bibit dan Chandra, misalnya, dapat menjadi pecut setiap petinggi negara dan pelaku hukum lainnya untuk melakukan revitalisasi lembaga hukum sebagai lembaga penyelesaian hukum humanis. Bukan malah sebaliknya, memperlakukan seseorang atau lembaga dengan mendiskreditkan atau membuat kamuflase demi sebuah kepentingan pragmatis.

Opini Republika 4 November 2009