05 November 2009

» Home » Media Indonesia » Reformasi belum Selesai

Reformasi belum Selesai

REFORMASI, seperti halnya demokrasi, terus bergulir menuju kesempurnaan. Untuk memenuhi tuntutan keadaan yang diangankan, reformasi tidak bisa mandek. Maka ketika pada pembukaan National Summit 2009 di Jakarta seminggu lalu, tepatnya Kamis 29 Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono antara lain mengkritik metode pendidikan kita, tentu kita sepakat. Dunia pendidikan selama ini terus-menerus menjadi sorotan karena memang dirasakan perlu reformasi. Bahkan dua dasawarsa yang lalu sebenarnya Prof Matthias Aroef, sarjana tehnik industri yang ahli didik, sudah menyatakan perlunya diadakan perombakan di bidang pendidikan demi terciptanya budaya produktif. Sampai sekarang kita belum juga sampai ke sana. "Salah kita semua," kata Presiden Yudhoyono.

Beliau benar. Walaupun sekali-sekali ada semangat mengadakan perombakan dalam cara pembelajaran maupun silabus, metode pendidikannya belum secara revolusioner menjalani reformasi. Selama ini sifatnya one way traffick, dari pengajar ke siswa. Pengajar memberi, siswa menerima. Pengajar dituntut aktif menyampaikan pembelajaran, siswa merespons dengan menampungnya dan pada akhir masa pendidikan menerima rapor atau ijazah. Cara itu sudah berlaku sejak zaman penjajahan sampai sekarang. "Cari cara agar siswa seaktif mungkin sehingga mereka nantinya bukan pencari kerja, melainkan pencipta lapangan kerja," tegasnya. Pendapatnya itu disemangati pula oleh saran Ir Ciputra yang meminta kepada Presiden agar kita mengusahakan pendidikan kewiraswastaan kepada anak didik. Tentu tidak gampang menciptakan kaum wiraswastawan atau pebisnis dari masyarakat yang mayoritasnya dahulu berawal dari petani, priyayi atau santri. Ibaratnya, tidak gampang mengubah ayam menjadi bebek air, atau sebaliknya. Salah satu pelajaran penting psikologi sosial adalah bahwa bukan hanya sikap yang memengaruhi perilaku, melainkan perilaku pun bisa memengaruhi sikap. Banyak contoh yang membenarkan tesis ini, seperti heboh KPK-Polri sekarang. Perilaku kita kemudian memengaruhi sikap moral kita--kita biasa mencari alasan untuk membenarkan apa yang telah kita lakukan. Rasanya, modal sosial pun perlu menjalani reformasi.

Reformasi yang tidak kenal henti
Budaya yang diturunkan nenek-moyang kita bukan budaya modern. Untuk membangun masyarakat modern, dibutuhkan transformasi sikap dan perilaku dan reformasi modal sosial sebagai sarana mencapai kemajuan dan tujuan pembangunan. Untuk sampai di sana, kita dituntut berani meninggalkan perasaan dan cara-cara berpikir yang selama ratusan tahun kita kukuhi, apakah sebagai petani, priyayi, santri atau lainnya. Sebagian prinsip dan nilai-nilai mungkin bahkan terpaksa kita lepas karena sudah kedaluwarsa untuk menghadapi kehidupan masa kini. Misalnya kebiasaan buruk menuruti kemauan atasan, sekalipun dirasakan tidak benar, harus kita tinggalkan. Namun, sikap membantah atau menolak dianggap melanggar sifat ketimuran.

Tidak pelak ada syak wasangka terhadap modernisasi yang pada awalnya datang bersama kolonisasi kemudian dilanjutkan dengan datangnya kemajuan ilmu dan teknologi dari Barat. Kita hidup dalam situasi peradaban seperti itu. Sesuai dengan adatnya, peradaban ini tidak henti-hentinya mengalami reformasi, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Ini tuntutan modernisasi yang mau tidak mau terpaksa kita terima. Misalnya, siapa mengira Facebook bisa menggerakkan people's power?

Apa atau siapa yang terutama kita andalkan akan memotori reformasi? Tentunya pendidikan. Lebih khusus lagi: pendidikan tinggi. Sistem pendidikan tinggi di mana pun tidak lepas dari masyarakat yang melembagakannya. Di sinilah letak pentingnya peran modal sosial sebab sukses tidaknya program pembangunan atau modernisasi suatu negara sangat bergantung pada hasil pendidikan tingginya. Pendidikan tinggi adalah instrumen institusional untuk modernisasi politik, ekonomi, kemasyarakatan maupun kebudayaan. Tesis ini dapat kita terima bila kita simak jalannya modernisasi di berbagai negara di dunia.

Bagaimana perguruan-perguruan tinggi kita? Apakah sanggup menghasilkan lulusan yang jumlah maupun mutunya memadai untuk memenuhi kebutuhan di segenap bidang? Negeri kita termasuk salah satu negara berkembang yang memproduksi tamatan universitas secara massal. Sistem pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan secara massal tidak mungkin mampu membekali lulusannya dengan pendidikan yang memadai untuk kebutuhan. Belum tentu semua lulusan (lebih dari 5 juta) diperlukan pasar tenaga kerja. Apalagi jalur pendidikan di perguruan tinggi tidak ditentukan kebutuhan pasar. Para mahasiswa tidak bisa dipaksa memasuki jurusan yang bukan pilihannya karena hal itu bertentangan dengan asas demokrasi. Alasan lain yang menyebabkan lemahnya posisi tamatan perguruan tinggi: jumlah pendidik bermutu tidak mungkin mencukupi, begitu pula sarananya.

Kendala lain yang menghambat peran perguruan tinggi sebagai forum untuk pengembangan tenaga-tenaga pemikir yang diperlukan adalah kondisi ekonomi maupun politik yang tidak mendorong moral para siswa untuk motivasi profesional, termasuk menjadi entrepreneur. Sekadar untuk bahan perbandingan dan bahan renungan, sekitar dua dasawarsa yang lalu, mahasiswa Asia yang belajar di Amerika jumlahnya melebihi seluruh mahasiswa asing yang belajar di sana. Dari sekitar 370 ribu mahasiswa asing di AS pada waktu itu, lebih daripada separuhnya datang dari Asia. Dari 10 negara yang paling banyak mengirim mahasiswanya ke sana, RRC, mengirim 29.000 disusul Jepang, India, Korea Selatan (masing-masing mengirim lebih dari 20 ribu) lalu Malaysia melebihi 16 ribu. Hong Kong lebih dari 10 ribu. Indonesia yang mengirim jumlah terkecil, 9.000, hanya sekitar separuh jumlah Malaysia yang waktu itu penduduknya hanya sepersepuluh penduduk Indonesia. Perhatikan bagaimana perkembangan negara-negara itu sekarang, setelah satu generasi berlalu.

Pendidikan moral
Dalam pidato seminggu lalu itu, Presiden Yudhoyono juga menyinggung masalah korupsi. Dari sana dapat dibaca betapa pentingnya pendidikan moral. Kehebohan yang sedang terjadi sekarang menunjukkan betapa buruknya dekadensi moral kita, khususnya di sebagian kalangan penegak hukum, sebagai akibat perilaku sebagian kalangan bisnis. Maka kalau kita bercita-cita mencetak sebanyak mungkin pebisnis, hal-hal demikian juga harus menjadi perhatian dan diwaspadai.

Francis Fukuyama, sarjana sosial senior, dalam karyanya, Trust (1995), antara lain berpendapat bahwa manusia tidak selalu memanfaatkan kesempatan sebesar-besarnya untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya mereka melalukan kegiatan ekonomi dengan banyak nilai-nilai moral yang terdapat dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Di Jepang, ini terjadi ketika samurai atau kelas prajurit melepas status sosial mereka untuk terjun ke bidang bisnis. Mereka menjalankan bisnis dengan tetap mempertahankan hampir seluruh spirit etika bushido. Proses itu terjadi juga di hampir semua masyarakat industri yang menggunakan kesempatan menjadi entrepreneur untuk menyalurkan energi orang-orang yang ambisius yang di masa lalu mungkin hanya akan mendapat pengakuan jika mereka memulai perang atau membangkitkan revolusi.

Jika mengamati perkembangan akhir-akhir ini, kita harus bangga bahwa modal sosial kita cukup ampuh untuk menjaga gerakan moral dan demokrasi di negeri ini. Maraknya demonstrasi dan ramainya media di seluruh negeri mengomentari kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang berkaitan dengan KPK-Polri adalah pertanda bahwa demokrasi berjalan sesuai dengan harapan. Demokrasi mengawasi dan menjaga gerakan moral kita. Tidak kalah penting adalah peran media. Melvin I Urofsky, profesor sejarah dan kebijakan publik yang telah menulis puluhan buku, antara lain co-author A March of Liberty (2001), menyatakan bahwa pers adalah pengganti warga, melaporkan kembali melalui media cetak dan penyiaran apa yang sudah ditemukannya sehingga masyarakat bisa bertindak berdasarkan pengetahuan itu. Dalam demokrasi, rakyat bergantung pada pers untuk memberantas korupsi, untuk memaparkan kesalahan penerapan hukum atau ketidakefisienan serta ketidakefektivan kerja sebuah lembaga pemerintah. Tidak ada negara yang bisa bebas tanpa adanya pers bebas, dan satu pertanda kediktatoran adalah pembungkaman media.


Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 6 November 2009