05 November 2009

» Home » Okezone » Presiden, Bertindaklah!

Presiden, Bertindaklah!

Kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif yang disusul dengan kemenangan SBY dalam pilpres yang lalu menumbuhkan harapan akan semakin seriusnya upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Betapa tidak, dalam kampanye Partai Demokrat dan kampanye pasangan SBY-Boediono, semangat pemberantasan korupsi menjadi tawaran utama. Bahkan "keberhasilan" pemberantasan korupsi diklaim sebagai keberhasilan SBY. Iklan klaim tersebut dimuat dan ditayangkan dalam iklan surat kabar dan televisi serta memunculkan simbol/logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang oleh publik dianggap sebagai institusi ikon pemberantasan korupsi.
Masyarakat memang sudah sangat geram dengan praktik korupsi yang menggerogoti anggaran negara, menurunkan efisiensi dan daya saing, yang bermuara pada lambatnya kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sadar, korupsi berkaitan erat dengan keterpurukan negeri ini, menggerus sumber daya alam, melestarikan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan dalam masyarakat. Praktik korupsi berdampak negatif pada ekonomi makro maupun mikro sebagai akibat relokasi anggaran yang seharusnya untuk kebutuhan publik mengalir ke segelintir individu yang memegang jabatan publik.

Tidak bisa dinafikan, sampai saat ini, jika dilihat dari indeks good governance dari penelitian Kaufman, Kraay, & Masturuzzi (2007), indeks pengendalian korupsi saat ini masih lebih buruk dibandingkan pada masa sebelum Reformasi (1996). Oleh karena itu, wajar kalau kemenangan Partai Demokrat dan SBY yang banyak mengusung tema perlawanan pada korupsi memberikan secercah harapan untuk memberantas itu semua. Muncul asa kebijakan dan gerakan yang lebih masif dan terstruktur untuk memberantas korupsi yang masih menggurita dalam beragam bentuknya di Tanah Air. Sayangnya harapan itu kembali kuncup.

Menjelang dan hari-hari awal pemerintahan SBY periode kedua sebagai presiden, banyak hal yang membuat publik skeptis terhadap pemberantasan korupsi. Kriminalisasi terhadap dua petinggi KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, memberikan gambaran buram bagi pemberantasan korupsi tersebut. Situasi justru memberi angin bahwa corruptors fight back. Apakah benih yang mulai tumbuh terkait dengan pemberantasan korupsi ini akan terus berkembang atau justru set back seperti masa lalu?

Tidak Akan Berhenti

Ada rasionalisasi yang mendukung skeptisisme publik ini. Sejak awal tuduhan yang diberikan kepada Bibit dan Chandra sangat kabur, tidak jelas. Tuduhan polisi berubah-ubah dari waktu ke waktu yang seolah mengarahkan pada target untuk mengkriminalkan dua pimpinan KPK tersebut.

Langkah-langkah yang diambil menyiratkan aksi yang intimidatif, menekan, bahkan represif untuk membuat orang takut menyibak kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara. Bahkan, ketua sementara KPK Tumpak H Panggabean mengakui "penahanan Bibit dan Chandra memengaruhi kinerja staf KPK". Tindakan Polri yang demikian bisa melahirkan semacam teror bagi siapa pun yang berani menyibak perkara korupsi yang melibatkan petinggi negeri ini.

Namun, dengan tingkat kecerdasan sebagian masyarakat yang semakin tinggi dan keterbukaan yang sempat terbangun beberapa tahun terakhir ini, tindak represif demikian tidak akan berhasil membungkam suara kritis masyarakat yang peduli. Bahkan, sebaliknya, itu bisa kontraproduktif yang akan menurunkan kewibawaan pemerintah serta berisiko bagi stabilitas pemerintahan itu sendiri. Tekanan-tekanan yang diberikan justru membuat gerakan-gerakan yang sudah ada di masyarakat dan para aktivis antikorupsi semakin bersatu dan militan.

Pengalaman empirik menunjukkan tindakan represif selalu berujung pada kehancuran dan selalu melahirkan kerugian bagi suatu bangsa. Fakta sekarang memperlihatkan bagaimana gerakan tanpa komando bermunculan melawan tindakan represif penahanan Bibit dan Chandra. Para agamawan, guru bangsa, perguruan tinggi, sampai Facebookers menyampaikan keprihatinan atas upaya mengkriminalkan pimpinan nonaktif KPK tersebut. Semua berjalan alami tanpa ada yang menggerakkan.

Hanya saja yang memprihatinkan, para wakil rakyat di DPR maupun tokoh partai politik masih segelintir yang bersuara dalam kasus tersebut. Ini membuktikan kebenaran kekhawatiran sebelumnya bahwa koalisi dalam pilpres dan legislatif telah menurunkan daya kritis partai dan Dewan.Koalisi "tambun" yang sudah terjadi dalam pilpres dan pembentukan kabinet ternyata memandulkan suara wakil rakyat tersebut, yang seakan mengebiri salah satu fungsi representasi Dewan untuk menyuarakan nurani rakyat.

Perhatian yang Serius

Jika kita cermati, kinerja KPK masih jauh dari harapan. Keberadaan KPK pun masih baru. Memang pada akhirnya membuat orang berhati-hati, tetapi belum menghentikan praktik korupsinya. Praktik korupsi masih terjadi, tetapi lebih halus dan mengantisipasi agar jangan sampai ketahuan. Masa lalu praktik korupsi dapat dilacak karena dana besar yang ditransfer melalui rekening dan sejenisnya, tetapi sekarang transaksinya "cash and carry" sehingga bukti tertulis bisa dihilangkan.

Terkuaknya beberapa kasus korupsi ke publik yang melibatkan pejabat negara memberi secercah harapan untuk menurunkan praktik kolusi ini. Karenanya, muncul kegeraman masyarakat ketika melihat ada tanda-tanda pelemahan fungsi KPK. Gerakan berbagai elemen masyarakat yang kini muncul perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, khususnya Presiden SBY. Aksi-aksi yang muncul, dari yang sekadar menyuarakan dukungan dan tanda tangan, sampai aksi ke jalan, tidak bisa dianggap sesuatu yang sepele.

Terlebih gerakan ini bukan suatu rekayasa atau didesain oleh kepentingan politik tertentu, yang tecermin pada tidak munculnya suara oposan dari partai politik atas tindakan pemerintah. Gerakan ini berjalan spontan tanpa ada yang menggiring. Misalnya pengumpulan dukungan melalui Facebook yang ternyata dalam hitungan hari dari jari satu lengan saja sudah lebih dari 100.000 pendukung para Facebookers. Dukungan ini diperkirakan akan merengkuh ratusan ribu Facebookersyang ada. Situasi yang demikian tidak bisa diredakan hanya dengan ungkapan normatif dari Presiden SBY. Sikap Presiden yang menyatakan tidak mau mengintervensi bisa disalahartikan membiarkan proses yang dituduhkan masyarakat atas adanya kriminalisasi KPK ini.

Oleh karena itu Presiden perlu segera mengambil langkah konkret terkait kasus ini untuk menunjukkan konsistensinya bahwa pemerintahannya serius dan peduli untuk memberantas korupsi. Presiden diharapkan tidak mengambangkan masalah dan menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum yang sudah dicurigai tidak adil. Terlebih lagi dalam masyarakat sudah muncul anggapan bahwa para koruptor dan yang terkait balik "melawan". Kemunculan Anggodo Widjojo (yang dengan "berani" menuduh nama baiknya dicemarkan) ke Mabes Polri tentu gampang dibaca sebagai indikasi adanya orang kuat di belakangnya.

Dia melaporkan empat pimpinan KPK atas tudingan penyalahgunaan wewenang, pencemaran nama baik, dan fitnah terhadap dirinya. Pelaporan dilakukan menyusul beredarnya rekaman yang diduga berisi upaya rekayasa kasus pimpinan KPK. Ini menggambarkan bahwa ungkapan corruptors fight back bukan suatu isapan jempol. Mengingat isu korupsi menjadi salah satu ikon pemerintahan SBY, langkah yang cepat perlu diambil.

Jika tidak, bisa saja masyarakat menilai bahwa Partai Demokrat dan SBY hanya tebar janji kampanye, yang nyatanya tidak serius bergerak manakala upaya melemahkan lembaga yang giat memberantas korupsi terjadi. Intervensi Presiden diperlukan apabila keanehan demi keanehan bermunculan dalam kasus Bibit dan Chandra alias terus berlarut. Potensi keguncangan dan ketidakstabilan bisa meluas yang mengganggu jalannya pemerintahan dalam masyarakat. Apalagi ini masih hari-hari awal yang menentukan kepemimpinan SBY-Boediono.

Citra awal ini akan sangat memengaruhi langkah ke depan pemerintahan ini, khususnya terkait dalam pemberantasan korupsi. Pandangan seperti ini bukan dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi hukum atas pimpinan KPK. Penegak hukum tidak harus berhenti melakukan upaya mencari kebenaran atas kasus yang dituduhkan. Namun hal itu harus proporsional tanpa prejudice seolah kedua pimpinan nonaktif KPK itu jelas bersalah sehingga dicari pembenarannya.

Sebagai negara hukum, semua orang berposisi sama di mata hukum. Kasus tersebut wajib untuk terus diusut, tetapi tanpa harus menginjak hak tersangka demi untuk menegakkan hukum itu sendiri.(*)

Edy Suandi Hamid
Ketua Forum Rektor Indonesia, Guru Besar FE UII Yogyakarta  
Opini Okezone 2 November 2009