Oleh Prof Dr Tjipta Lesmana MA
(praktisi dan teoriti pers)
Para ilmuwan komunikasi dari dulu sampai sekarang--berbeda pendapat mengenai kekuatan media massa memengaruhi pendapat dan sepak terjang khalayak (audience ). Sebagian mengatakan sesungguhnya media itu sangat powerfull . Media tidak hanya sanggup memengaruhi opini publik, tapi juga tindakan publik. Di kubu lain, pengaruh media dikatakan terbatas, tergantung pada konteks ruang dan waktu, dan di mana media itu bekerja.
Mereka yang menganut paham the media is powerfull , kemudian melahirkan sebuah teori yang bernama 'Agenday Setting Theory'. Menurut teori ini, agenda media dapat mengatur agenda publik, dan agenda publik pada gilirannya dapat mengatur agenda pemerintah. Artinya, masalah apa pun yang diekspose terus-menerus oleh banyak media pada waktu yang sama, dengan cepat dapat memengaruhi topik pembicaraan di masyarakat luas.
Jika media ramai mengekspose kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah, mau tidak mau publik pun akan mengangkat isu ini sebagai bahan diskursus mereka di mana-mana: di kantor, kampus, shopping mall , rumah sakit, stasiun kereta api, dan tempat lainnya.
Bahkan, di warung tegal pun, 'orang-orang kecil' ramai berbicara tentang perseteruan Polri lawan KPK. Tidak sampai di situ saja. 'Teori Agenda Setting' juga mengamanatkan bahwa agenda publik dapat memengaruhi agenda pemerintah. Sebuah kebijakan publik dapat dicabut, atau diubah karena terus digempur oleh media massa yang mendapat dukungan dari masyarakat. Atau pemerintah semula tidak mau mengeluarkan sebuah kebijakan, akhirnya dipaksa mengeluarkan kebijakan sesuai tuntutan publik.
Itulah inti ajaran teori 'Agenda Setting'. Tentu, proses pengaruh ini tidak berlangsung satu arah, melainkan 2 (dua) arah. Publik pun dapat memengaruhi agenda media. Begitu juga pemerintah: lewat kebijakannya, agenda media bisa dipengaruhi. Marilah kita analisis pengaruh media massa dalam kasus 'pertempuran' antara Polri dan KPK.
Saya tidak tahu persis apa sebab 90 persen media berdiri di belakang KPK dalam perseteruannya dengan Polri. Para jenderal di Markas Besar Polri, saya dengar, jengkel dan marah dengan sikap terjang media. Bahkan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat merasa prihatin melihat gejala ini. Dengan cepat PWI bertindak dengan menggelar sebuah diskusi serius, Selasa pekan depan. Temanya: ''Objektivitas dan Independensi media dalam Pemberitaan Cicak versus Buaya''. Sebuah tema yang amat menarik.
Keberpihakan media pada KPK, memang, telah melahirkan pemberitaan di media cetak maupun radio dan televisi yang kadang tidak fair , kurang objektif. Instansi Polri benar-benar 'digebuki'. Susno Duaji sejak awal sudah diadili, padahal Kode Etik Jurnalistik mengamanatkan semua jajaran pers untuk tidak melakukan trial by the press . Sekali lagi, mengapa sepak terjang begitu?
Jawaban atas pertanyaan ini harus dicari dari buku teks jurnalistik lagi. Banyak kampiun pers Amerika mengajarkan bahwa media dalam menghadapi kasus-kasus besar yang sangat erat kaitannya dengan kepentingan publik tidak bisa bersikap netral. Kebenaran dan keadilan haruslah menjadi pedoman berpijak media.
Di mana kebenaran dan keadilan dizalimi, media harus bangkit dan berteriak sekencangnya, kata mereka. Tapi, bukankah kebenaran dan keadilan, kadang kala, bisa direkayasa oleh pihak-pihak tertentu? Tidak! Andai kata opini pimpinan sekian banyak media 'satu', itulah kebenaran! Anda suka atau tidak.
Nah, tampaknya, mayoritas orang media kita percaya bahwa Bibit dan Chandra dizalimi oleh Polri, maka mereka serentak berdiri di belakang kedua pimpinan nonaktif KPK ini. Tentu, opini media tidak dibuat-buat.
Jangan lupa, banyak sekali pimpinan media kita merupakan orang-orang terhormat, pintar, dan punya integritas tinggi. Dengan demikian, Adnan Buyung Nasution keliru ketika ia secara tidak langsung menuding bahwa opini media dalam kasus Bibit dan Chandra mungkin hasil rekayasa sehingga aparat penegak hukum tidak perlu memerhatikannya. Keliru sekali. Saya yakin bahwa sekian banyak media tidak bisa didikte atau dipengaruhi oleh siapa pun untuk keluar dengan pandangan yang homogen.
Opini media yang mengecam sepak terjang Polri, khususnya Kabareskrim Komisaris Jenderal (Pol) Susno Duadji, bertambah keras ketika Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung menelanjangi sepak terjang sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan Agung dalam sidang terbukanya pada Selasa siang. Siapa pun yang mendengarkan rekaman percakapan Anggodo dan Susno, Anggodo dan Aritonga, pasti merasa marah dan geleng-geleng kepala. Betapa gampang di republik ini hukum dipermainkan, perkara dibuat-buat hanya oleh satu dua orang pengusaha yang berkongkalikong dengan petinggi aparat penegak hukum.
Tontonan di Mahkamah Konstitusi, Selasa yang lalu, pasti, membuat media massa semakin yakin akan kebenaran opini mereka. Dengan demikian, semakin 'mantap' pula pengaruh yang dialirkan media kepada masyarakat luas. Perwujduan 'Teori Agenda Setting' dalam kasus Bibit dan Chandra betul-betul sempurna!
Teori ini juga mengajarkan bahwa pemimpin bangsa, petinggi negara, atau siapa pun amat sulit melawan, apalagi menghancurkan opini publik. Itulah sebabnya, dalam buku teks ilmu politik ditulis bahwa opini publik menjadi salah satu pilar penting sistem demokrasi.
Demokrasi akan tercemar, bahkan lumpuh, manakala opini publik tidak mendapat ruang yang bebas. Dan, demokrasi menjadi sebuah kebohongan manakala opini publik adalah opini yang diciptakan secara sengaja oleh penguasa. Kita pernah mengalami era itu, yakni ketika Pak Harto memerintah secara otoriter dan pers dibelenggu secara ketat. Opini media pun seragam. Namun, kita semua sudah menyaksikan betapa keroposnya 'opini publik' hasil rekayasa itu.
Era reformasi adalah era demokrasi, demokrasi benaran, dalam arti kedaulatan benar-benar ada di tangan rakyat, dan pers sebagai saluran rakyat diberikan kebebasan optimal. Dalam kondisi demikian, segala upaya merekayasa opini publik pasti akan gugur. Orang-orang media sekalipun tidak bisa merekayasanya untuk waktu yang lama. Dalam sistem demokrasi kebenaran, media tidak boleh terkooptasi oleh siapa pun, termasuk pemilik modal.
Memang campur tangan pemilik dalam bidang redaksi kerap sulit dielakkan, sebab mereka pun mempunyai kepentingan sendiri yang tidak jarang bertabrakan dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang baik. Tapi, wartawan sejati tidak sudi untuk terus-menerus berkerja di bawah tekanan pemilik modal.
Dalam kasus Bibit-Chandra, saya melihat satu fenomena unik, yaitu sikap sejumlah media yang sebenarnya 'dekat' dengan penguasa, ternyata, ikut-ikutan menggebuki institusi Polri dan mendukung penuh KPK; suatu fenomena yang tampaknya kurang disenangi penguasa.
Namun, itulah realitanya. Mereka pasti menyadari bahwa medianya akan ditinggal oleh publik jika terus membebek pada penguasa.Dengan demikian, keperkasaan media massa dalam memengaruhi publik, sekaligus mendukung KPK, bertambah gagah. Publik pun amat dipengaruhi opini dan sepak terjangnya oleh arahan pemberitaan media massa.
Opini Republika 5 November 2009