05 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Siapa Salah Dihukum

Siapa Salah Dihukum

Drama perseteruan antara cicak versus buaya yang membasahi bumi Indonesia selama ini, berakhir sementara. Cicak (KPK) menag dalam melawan buaya (Polri).

Kedua pimpinan nonaktif KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah akhirnya dilekuarkan dari tahanan setelah bukti-bukti dalam rekaman transkrip rekaman itu diputar di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (3/11) kemarin. Siang itu pun sekaligus menjadi pucaknya perseteruan antara KPK dan Polri.

Masyarakat bersuka ria menyambut kebebasan Bibit-Chandra dari reserse kriminal mabes Polri. Keluar dari badan reserse kriminal mabes polri tersebut, Chandra dan Bibit pun tersenyum seketika melihat masyarakat pendukungnya yang begitu antusias untuk membela KPK.

KPK yang selama ini dipandang masyarakat sebagai pendekar pembasmi koruptor, memang sudah sepantasnya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Karena tanpa KPK, korupsi kemungkinan terus terjadi dan mustahil para koruptor akan mudah tertangkap.  

Lama sudah drama ini membanjiri khalayak publik. Drama ini juga menimbulkan berbagai konflik internal dalam pemerintahan. Mulai dari tidak fokusnya pemerintah memperhatikan kondisi perpolitikan hingga kehawatiran atas menurunnya stabilitas ekonomi akibat kisruh KPK VS Polri tersebut. Menelisik lebih jauh transkrip rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi dan beberapa Stasiun Televisi kemarin, tampak jelas bahwa ada rekayasa dibalik konflik Internal tersebut.  Dalam transkripnya, rekayasa tersebut diciptakan oleh Anggodo untuk kepentingan kelompok maupun individu dan untuk melemahkan KPK.

Pada mulanya memang tidak lepas dari Polri yang begitu antusias untuk menangkap kedua pimpinan KPK tersebut. Polri juga mempunyai banyak dalih sebagai bukti bahwa kedua pimpinan nonaktif KPK terbukti menjadi tersangka yang telah menyalahgunakan wewenang dengan terbitnya surat pencegahan (larangan ke luar negeri) untuk Anggoro Widjojo serta Djoko S Tjandra dan diduga menerima uang dari PT Masaro Radicom sebanyak Rp 5,15 miliar. Sejalan dengan hal itu, masih ada banyak gugatan untuk menunjukkan apakah kedua pimpinan KPK tersebut benar-benar bersalah ataukah hanya sekadar rekayasa.

Wacana penangkapan kedua Pimpinan KPK tersebut kemudian menjadi semakin panas ketika pimpinan KPK mengelak atas dalih dari polri. Namun pengelakan itu ternyata tidak membuat Bibit-Chandra terbebas dari polri, tetapi justru malah dicekal dan ditahan meskipun belum ada bukti yang kuat.

Fakta ini kian menggugah masyarakat untuk memberikan opini publik terkait dengan rekayasa Bibit-Chandra. Dari situ juga bermunculan tokoh-tokoh sekaliber Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) sebagai mantan Presiden RI berani menjaminkan dirinya untuk menyatakan bahwa kedua pimpinan KPK tersebut tidak bersalah. Ditambah lagi dengan Adnan Buyung Nasution, advokasi terhadap Bibit-Chandra yang juga menjaminkan dirinya  untuk membenarkan KPK.

Dan itu terbukti setelah Mahkamah konstitusi (MK) memutar transkrip rekaman pada Selasa kemarin. Polri kemudian tercengang ketika mendengar rekaman tersebut. Sebagai penegak Hukum, mereka justru telah melakukan kesalahan. Ini sekaligus sebagai cermin minimnya penegakan hukum di Indonesia. Polisi malah hanyut dalam rekayasa yang diciptakan Anggodo. Bisa dikatakan polisi keblinger dengan berbagai rayuan yang ada untuk menangkap kedua pimpinan KPK tersebut.

Sudah Selesai

Selesai sudah drama yang disutradarai oleh Anggodo selama ini. Masyarakat boleh unjuk gigi atas kemenangan KPK tersebut karena sudah semestinya. Kuasa Hukum Bibit dan Chandra, Bambang Widjojanto, tidak segan-segan untuk mengatakan bahwa wajah penegakan hukum Indonesia tercoreng dengan diperdengarkannya rekaman percakapan Anggodo. Rekaman ini juga menunjukkan kuatnya mafia penegakan hukum sehingga bisa mengatur jalannya proses hukum.

Dalam rekaman itu terlihat ada rekayasa sistematis dari kasus penyidikan hingga penahanan. Tidak hanya itu, rekayasa itu juga ditujukan untuk melemahkan KPK. Namun kita juga patut memuji orang seperti Anggodo yang mampu mempengaruhi proses penyidikan hingga penahanan terhadap kedua pimpinan KPK. Selain Anggodo, ada banyak nama lain yang juga terlibat dalam rekayasa terhadap KPK tersebut.

Sejumlah nama pejabat hukum di mabes Polri dan Kejagung yang disebut-sebut dalam rekaman menunjukkan keterlibatan masing-masing dalam kasus ini. Nama-nama itu adalah dari kejaksaan yang banyak disebut adalah mantan Jaksa Agung Muda, Intelijen Wisnu Subroto, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga yang  kala itu menjabat  sebagai Jaksa Angung Muda Pidana Umum, dan Jaksa Irwan Nasution. Namun kerap kali yang berhubungan langsung dengan Anggodo adalah Wisnu.

Rekayasa

Sementara nama-nama dari pihak kepolisian yang disebut-sebut adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jendral Susno Duadji dan sejumlah nama penyidik, yaitu Benny, Parman, Gupu, dan Dikdik. Semua orang yang masuk dalam rekaman tersebut, patut kita acungi jempol atas rekayasa yang sedemikian apiknya itu. Mereka juga patut mendapatkan pengargaan yang sama seperti Bibit-Chandra yang mendekam dalam reserse kriminal Mabes Polri.

Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan yang terbaik untuk keberlanjutan KPK. Sebelum rekaman diperdengarkan, Ketua MK Mahfud MD mengemukakan dasar-dasar hukum MK untuk pemutaran rekaman pembicaraan untuk umum. Dan ini sekaligus merupakan sejarah baru untuk MK selama ini. MK mengacu pada ketentuan Pasal 17 UU kekuasaan kehakiman dan Pasal 40 UU Mahkamah Konstitusi terkait sifat sidang pengadilan yang terbuka. Walhasil selama 4,5 jam, rekaman itu bisa diperdengarkan oleh masyarakat secara umum.

Mengingat ini adalah masalah hukum, meskipun pimpinan KPK sudah keluar, tetapi ada yang ganjil dalam hukum jika pelaku rekayasa tersebut tidak mendapatkan hukuman. Ini adalah masalah nama baik dan lembaga Negara yang menegakkan keadilan dan tidak sepantasnya mendapatkan perlakukan seperti itu.  Kita hidup dalam negara hukum; siapa yang salah harus mendapatkan vonis. Publik menganggap, Anggodo adalah sutradara di balik rekayasa ini. (80)

—Nur Kholis Anwar, pengamat  sosial-politik, tinggal di  Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 6 November 2009