SKANDAL 'cicak' melawan 'buaya' sedang memasuki babak baru. Titik paling jelas penanda perubahan itu: penahanan dua orang Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah pertengahan minggu lalu. Begitu penahanan dilakukan, masyarakat memperlihatkan 'kemarahan' yang, bisa jadi, tidak diperhitungkan secara akurat oleh kepolisian. Bahkan, pernyataan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana akan mempertanggungjawabkan penahanan itu di muka Tuhan sama sekali tidak mampu menghambat dan menghentikan gerak laju perlawanan masyarakat.
Ketika kemarahan masyarakat bergerak menuju titik kulminasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil sejumlah tokoh di Wisma Negara (1/11). Sebagaimana dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, pertemuan dimaksudkan untuk melakukan tukar pikiran guna mencari solusi agar persoalan Bibit dan Chandra tidak (berkembang) menjadi persoalan sosial dan politik. Buah dari pertemuan tersebut, Presiden Yudhoyono membentuk tim pencari fakta (TPF).
Pertanyaan mendasar yang cukup menarik dikemukakan: mengapa langkah Presiden Yudhoyono tersebut tidak mampu mencegah kemarahan masyarakat? Mungkinkah skandal 'buaya' melawan 'cicak' ini berkembang menjadi bola liar yang pada ujungnya potensial menyulitkan posisi Presiden Yudhoyono terutama kemungkinan berkembang ke arah proses impeachment (pemakzulan)?
Matinya logika hukum
Penahanan Chandra dan Bibit (29/10) benar-benar mematikan logika hukum. Dengan sikap yang amat kooperatif, sebetulnya tidak ada alasan yang memungkinkan kepolisian menahan mereka. Apalagi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, sebagai tersangka, Bibit dan Chandra tidak mungkin melarikan diri; merusak atau menghilangkan barang bukti; atau mengulangi tindak pidana. Dengan kondisi itu, syarat subjektif yang memberi peluang bagi polisi untuk melakukan penahanan pasti tidak terpenuhi.
Namun, logika itu tidak menjadi logika polisi. Hanya dalam hitungan beberapa waktu saja pascaputusan Mahkamah Konstitusi, Mabes Polri menahan Chandra dan Bibit. Pilihan untuk menahan itu membuktikan, atas nama hukum polisi bertindak terlalu jauh. Penahanan itu menjelaskan, kekuasaan penegakan hukum yang tidak dibarengi kapasitas intelektual memadai aparatnya, maka atas nama hukum, kekuasaan cenderung disalahgunakan (Eddy OS Hiariej, 2009). Kejadian itu membenarkan pandangan Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly.
Logika hukum semakin mati ketika polisi mengatakan bahwa penahanan itu dilakukan karena Chandra dan Bibit membangun opini publik yang menyulitkan polisi. Pertanyaannya, dari mana polisi mendapatkan 'pengetahuan tambahan' bahwa terbangunnya opini publik bisa dijadikan alasan untuk menahan seseorang? Pertanyaan tersebut pantas dikemukakan karena Chandra dan Bibit tidak membangun opini seperti yang dimaksudkan polisi. Yang terjadi, opini yang berkembang di masyarakat tidak mungkin akan bergerak secepat yang ada saat ini jika proses hukum atas Chandra dan Bibit berjalan dengan benar.
Penahanan Chandra dan Bibit tidak hanya menjungkirbalikkan logika hukum, tetapi juga akal sehat. Apalagi sejak semua masyarakat melihat rekayasa sistematis kepolisian terhadap kasus yang menimpa Bibit dan Chandra. Secara telanjang, rekayasa itu dapat dilihat dan diamati dari tuduhan yang berubah-ubah (tidak konsisten). Hal demikian memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa ada sesuatu yang mahadahsyat di dalam selubung pertarungan antara 'buaya' dan 'cicak'.
Tim pemulung fakta?
Pertemuan di Wisma Negara memang menghasilkan sejumlah rekomendasi, yaitu: (1) Kepala Polri agar melaksanakan gelar perkara kasus Bibit dan Chandra yang diikuti ahli independen dan tokoh masyarakat, (2) pembentukan tim pencari fakta untuk melihat bukti-bukti dan pasal-pasal yang menjerat Bibit dan Chandra, (3) proses hukum bagi yang terlibat kasus Bibit dan Chandra. Satu dari tiga rekomendasi itu telah ditindaklanjuti, yaitu dengan membentuk tim pencari fakta yang akan bekerja dalam waktu dua minggu ke depan.
Berdasarkan keterangan Ketua TPF Adnan Buyung Nasution, tugas utama tim akan memverifikasi semua fakta hukum yang terjadi mulai dari awal kasus hingga penahanan Bibit-Chandra yang menuai kontroversi luas di masyarakat. Sayang, pembentukan TPF tidak begitu saja menimbulkan keyakinan di masyarakat. Bahkan, melihat perkembangan dalam dua hari terakhir, dukungan masyarakat terhadap Chandra-Bibit dan sekaligus dukungan atas KPK justru semakin meluas. Hal itu dapat dilihat dari dukungan melalui jejaring sosial Facebook, kampus, dan dukungan dari sejumlah daerah di Indonesia.
Bahkan, belum lagi bekerja, muncul sejumlah gugatan terhadap TPF yang bermuara pada keraguan atas independensi lembaga ini. Salah satu bagian yang digugat terkait dengan sejumlah anggota TPF yang dikenal dekat dengan Presiden Yudhoyono. Misalnya, menurut Editorial Media Indonesia (3/11), di antara yang dikenal dekat dengan Yudhoyono adalah Amir Syamsuddin (pengurus Partai Demokrat) dan Denny Indrayana (staf khusus presiden bidang hukum). Kritik atas kedekatan tokoh itu juga dikemukakan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar (Detik.com, 3/11).
Sebagai sebuah lembaga yang menyandang predikat independen, kritik yang berasal dari sejumlah kalangan harus dijadikan catatan khusus. Bagaimanapun, dukungan menjadi makin sulit diraih jika masyarakat tidak percaya sepenuhnya dengan independensi TPF. Apalagi, sejumlah pengalaman menunjukkan pembentukan TPF lebih sering digunakan untuk sebagai cara lain untuk menunda penyelesaian masalah. Selama ini, banyak temuan bernas TPF berlalu seperti angin karena tidak pernah ditindaklanjuti.
Merujuk pengalaman itu, banyak kalangan khawatir, TPF kasus Bibit-Chandra akan berubah menjadi 'tim pemulung fakta' bukan tim pencari fakta. Yang pasti, sulit bagi kita berharap TPF berkembang menjadi 'tim pengungkap fakta'. Dengan demikian, ibarat seorang pemulung, hasil pencarian di lapangan hanya disalurkan ke pengumpul. Lalu, proses berikutnya sangat tergantung pada pengumpul. Logika pemulung itulah yang sesungguhnya terjadi di ujung proses beberapa TPF yang pernah ada.
Gerbang pemakzulan
Banyak kalangan percaya, skandal 'buaya' melawan 'cicak' bukan merupakan kasus yang berdiri sendiri. Bahkan, skandal ini punya spektrum yang pasti lebih luas jika dibandingkan dengan pengungkapan kasus-kasus korupsi yang pernah ada. Oleh karena itu, TPF harus mampu membongkar semua fakta yang bermuara pada kriminalisasi Bibit dan Chandra. Tidak hanya itu, tapi TPF harus mampu membongkar keterkaitan kriminalisasi dua orang wakil ketua KPK ini dengan skandal Bank Century.
Dalam hal ini, jika logika pemulung terjadi juga pada TPF Chandra-Bibit, perlawanan masyarakat pasti sulit dibendung. Bagaimanapun, ujung perlawanan masyarakat potensial mengancam posisi Presiden Yudhoyono. Apalagi, dari rekaman pembicaraan pihak-pihak yang terkait dengan skandal Bibit-Chandra, di dalamnya disebut-sebut RI-1. Sekiranya TPF gagal mengungkap secara tuntas, skandal Chandra-Bibit potensi pemakzulan sulit dicegah.
Secara konstitusional, sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan Presiden, Pasal 7A UUD 1945 memungkinkan adanya pemakzulan. Gerbang menuju pemakzulan bisa dimulai dan amat mungkin terjadi dengan memberi tafsir terbuka (longgar) klausul Pasal 7A UUD 1945. Tafsir demikian akan semakin mendapat tempat seiring dengan meluasnya kemarahan masyarakat. Jika itu terjadi, dukungan politik yang dimiliki di DPR tidak akan memberikan bantuan banyak bagi Presiden Yudhoyono.
Dalam situasi seperti sekarang ini, gerbang menuju pemakzulan hanya mungkin bisa ditutup dengan menyelesaikan secara tuntas skandal yang menimpa Chandra-Bibit. Jalan ke arah itu sudah dimulai dari Gedung Mahkamah Konstitusi. Kini, semuanya terpulang kepada TPF. Yang pasti, saat ini semua pihak sedang menunggu terungkapnya misteri di sekitar dan di balik pertarungan 'cicak' vs 'buaya'.
Oleh Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Opini Media Indonesia 04 November 2009