05 November 2009

» Home » Suara Merdeka » People Power setelah Pengabaian KPK

People Power setelah Pengabaian KPK

”BILA dukungan terhadap KPK diabaikan, (ini akan) berpotensi menjadi people power.” Berita itu bersumber dari empat okoh bersih dan netral yang dipanggil oleh Presiden SBY terkait dengan kian memanas polemik antara KPK di satu sisi berhadapan dengan Polri dan Kejaksaan Agung di sisi lain.

Dr Anies Rasyid Baswedan, Prof Komarudin Hidayat, Prof Hikmahanto Juwana, dan Teten Masduki dipanggil SBY, kemudian mereka berempat memberikan tiga pointer solusi yang sebaiknya dilakukan untuk mengantisipasi polemik pemberantasan korupsi.

Korupsi di Indonesia sudah menggurita dan akut, dan menjadi pangkal persoalan terpuruknya bangsa Indonesia. Pada jabatan periode pertama, Presiden SBY begitu gigih berkampanye dan dilanjutkan agenda terencana untuk memberantas korupsi. Kejaksaan dan Polri diragukan komitmennya dalam memberantas korupsi, kemudian dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai mitra (rival?) kerja Kejaksaan dan Polri.

Akan tetapi ketika agenda korupsi sudah berjalan dan telah menelikung para koruptor serta menyelamatkan banyak uang negara, ternyata di awal jabatan periode ke-2 ini presiden diasumsikan mengendor dalam memberantas korupsi. Titik nadir dari episode menurunnya aksi pemberantasan korupsi adalah penahanan dua pimpinan KPK nonaktif oleh Polri. Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah sangat kontroversial dan menuai banyak tentangan dan kecaman.

Mantan presiden, mantan ketua MPR, pemimpin ormas keagamaan, anggota DPR, hakim, NGO, akademisi dan masyarakat luas berbondong-bondong mendukung KPK. Di dunia maya pada jejaring facebook beredar gerakan 1.000.000 dukungan untuk Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah dan direspons positif oleh para facebooker.

Ratusan ribu dukungan facebooker segera membanjir dalam waktu singkat. Fenomena dukungan luas dari kaum elite, kelas menengah, dan lapisan tak terdeteksi itu yang dikhawatirkan bisa memicu ada people power. Oleh empat tokoh tadi Presiden SBY diingatkan untuk tidak menutup mata dan telinga terhadap benih-benih people power tadi.

Gerakan Massa

People power atau sering juga disebut gerakan massa (mass movement) mulai populer sejak Corry Aquino memimpin massa untuk menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos di Philipina. Marcos berhasil digulingkan. Di Indonesia pada 1998 people power atau gerakan massa mewujudkan reformasi yang dimotori mahasiswa dengan dukungan masyarakat luas berhasil menumbangkan Presiden Soeharto.

Sebagai presiden, pada awal masa jabatan keduanya SBY telah diguncang oleh gempa bumi di Sumatera Barat, dan ternyata gempa politik bisa saja menggoyang jika tidak segera diantisipasi secara arif. Gempa politik itu adalah people power atau gerakan massa.

Terdapat sesuatu yang penting di sini di mana ”people power” atau ”gerakan” memiliki ciri-ciri yaitu; ”proses perubahan, gerak dari suatu kondisi kepada kondisi yang lain, memiliki tujuan atau cita-cita, dan dilakukan oleh sejumlah massa”. Karena dilakukan oleh sejumlah massa maka kemudian istilah itu lebih mengena maknanya dengan istilah ”gerakan massa”. 

Jadi gerakan massa adalah suatu proses perubahan yang bergerak dari suatu kondisi kepada kondisi yang lain, dari sistem lama kepada sistem baru yang lebih baik, yang dilandasi oleh adanya tujuan atau cita-cita dan dilakukan oleh sejumlah massa. Adapun gerakan individu hampir mirip maknanya dengan gerakan massa, hanya saja pelakunya pada level seorang individu, bukan pada sejumlah massa.

Rakyat Indonesia kini sangat rindu dengan kondisi negara Indonesia tanpa korupsi. Rakyat sudah muak dengan polah koruptor yang menggerogoti uang negara, rakyat merindukan kesejahteraan. Rakyat ingin adanya perubahan yang nyata yaitu pemberantasan korupsi secara komprehensif. Aparat pemberantas korupsi juga jangan menjadi koruptor. Inilah cita-cita yang bisa menjadi ”driving force” bagi people power.

Gerakan massa sebagai sebuah proses menuju perubahan, dalam dataran teknis memiliki 4 aspek, yaitu; 1) tahap membangun kesadaran para anggota, 2) tahap merumuskan tujuan berikut visi dan misi gerakan, 3) tahap membangun solidaritas anggota, dan 4) tahap mobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi dan mengekspresikan tujuan.

Membangun Kesadaran

Fenomena masyarakat yang terjadi di Indonesia saat ini adalah tahap membangun kesadaran bersama bahwa gerakan pemberantasan korupsi sebagai starting point kebangkitan bangsa Indonesia dari keterpurukan, telah dihalang-halangi. Bahwa kebenaran dan keadilan telah ditindas.

Kesadaran ini terus diulang-ulang lewat media massa maupun lewat jejaring internet.
Selain itu ternyata tahap membangun solidaritas anggota juga telah berjalan lewat media jejaring facebook dan telepon seluler. Setiap saat  solidaritas dibangun dengan saling mengukan dan dukungan lewat dunia maya juga makin meluas.

Peran dunia maya tidak bisa dianggap remeh dalam komunikasi gerakan massa terutama dalam tahap mobilisasi massa. Presiden Filipina Erick Estrada jatuh juga karena besarnya massa yang berhasil dimobilisasi dengan internet dan telepon seluler.

Hari Senin 2 November 2009 mobilisasi massa lewat internet agar memakai baju serbahitam dan gerakan sejenis sebagai bentuk dukungan pada KPK juga telah muncul di Indonesia. Indonesia berkabung karena gerakan pemberantasan korupsi telah ditelikung.

Pada masa bergulir gerakan reformasi 1998, isu turunkan Soeharto adalah titik temu antara pemahaman makna reformasi oleh masyarakat luas dengan pemahaman makna reformasi oleh mahasiswa sebagai motor gerakan massa mewujudkan reformasi. Setelah Soeharto turun, maka masing-masing elemen gerakan memiliki agenda reformasi sendiri-sendiri.

Soeharto menjadi musuh bersama yang bisa mempersatukan berbagai elemen gerakan massa dan masyarakat untuk melawan Soeharto. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Hoffer (1993) bahwa untuk membangkitkan persatuan gerakan massa maka harus ada ”setan besar” sebagai musuh bersama. Dalam hal ini Soeharto dijadikan sebagai musuh bersama oleh gerakan massa.

Tahun 2009 ini sebelum people power bergulir maka jangan sampai Presiden SBY menjadi bemper dan menjadi musuh bersama gerakan massa. Karena jika itu terjadi maka akan mengulang sejarah yang telah terjadi pada Presiden Soeharto.

Apalagi jika semua elemen gerakan mahasiswa sudah satu kata dan mulai turun ke jalan, suasananya pasti tambah kacau. Masih ada waktu untuk menghindari munculnya ”people power”, yaitu dengan pikiran yang arif dan bijaksana di dalam membaca fenomena. (35)

—Nugroho Trisnu Brata MHum, pengajar Antropologi di Universitas Negeri Semarang & kandidat doktor Antropologi UGM
Opini Suara Merdeka 4 November 2009