FLU burung kini bukan lagi momok yang mengancam ternak berkaki dua. Virus H1N1 penyebab penyakit yang mematikan ayam dan burung, bahkan bisa menular ke manusia, itu sudah pergi.
Namun ancaman lain justru mengadang para peternak ayam, terutama petelur, yaitu perang antarprodusen antarprovinsi guna memperebutkan pasar.
Bagi para peternak ayam petelur di Jateng, lebih khusus lagi di Kabupaten Kendal, ancaman itu tak kalah mematikan. Karena bisa berimbas PHK (pemutusan hubungan kerja) terhadap para pekerja, dan mengurangi percepatan perputaran roda ekonomi.
Persoalan yang terjadi di lapangan pada bulan-bulan menjelang akhir tahun ini, harga telur ayam seperti mengalami terjun bebas. Harga sekarang ini pada kisaran Rp 8.800 per kilogram dari semula Rp 11.600 per kilogram (harga puncak).
Harga tertinggi itu biasanya dinikmati produsen menjelang Lebaran, saat kebutuhan akan telur meningkat secara signifikan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan menu khas sambal goreng yang sudah mentradisi.
Padahal, harga ideal —artinya peternak tidak merugi namun sebaliknya tidak untung berlebihan— adalah di kisaran Rp 9.750 per kilogram. Artinya, pada posisi harga Rp 8.800 itu peternak harus nombok Rp 950 per kilogram.
Di sisi lain harga pakan relatif stabil, namun ada kecenderungan naik. Harga pakan memang berfluktuasi mengikuti naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Pasalnya, konsentrat sebagai komponen pakan ayam masih merupakan barang impor.
Sebaliknya jagung, komponen pakan lainnya, justru kini diekspor ke Amerika untuk bahan biodiesel. Hanya dedak (kulit padi) yang masih diharapkan bisa dibeli dengan harga murah, namun jika terus ditekan juga akan berdampak pada petani.
Pajak penghasilan yang kini dikenakan terhadap para peternak menjadi beban lain yang memberatkan. Sebab jika peternak tak membayar pajak saat usaha tersebut menghasilkan, apa kata dunia? Tapi bagaimana jika usaha tersebut sedang terancam seperti sekarang ini, apa kata petugas pajak?
Over Produksi Penyebab itu semua tak lain karena terjadinya overproduksi di sentra-sentra penghasil telur. Pasca-flu burung pada bulan-bulan terakhir menjelang pergantian tahun ini, ternak ayam memang berkembang pesat bahkan booming.
Blitar (Jatim) kini memiliki populasi ayam petelur sampai 25 juta ekor. Jumlah tersebut terbesar se-Indonesia untuk ukuran kabupaten/kota.
Tak mengherankan, karena di daerah tersebut peternakan ayam petelur menjadi usaha rumahan. Hampir tiap rumah tangga memiliki usaha tersebut dalam skala kecil, belum lagi yang diusahakan dalam skala besar oleh investor.
Bandingkan dengan Kabupaten Kendal yang hanya memiliki populasi ayam petelur 1.942.700 ekor (2008) dan naik menjadi 2.300.000 ekor pada 2009. Kota Semarang (Gunungpati) memiliki populasi sedikit di bawah itu. Adapun jumlah produksi telur Kendal mencapai 17.277.983 kilogram.
Populasi ayam pedaging lebih banyak lagi, yaitu 5.232.300 ekor. Di tingkat Jateng angka tersebut berada pada peringkat kedua. Ini menempatkan Kabupaten Kendal sebagai produsen telur ayam ras dan ayam pedaging terbesar di provinsi ini.
Peningkatan populasi ayam petelur pasca-flu burung konon juga terjadi di luar Jawa.
Di Sumatera merupakan salah satu yang berkembang. Jika pada waktu-waktu lalu luar Jawa dipasok telur dari Jawa, kini tidak lagi, atau setidak-tidaknya pasokan berkurang jauh.
Yang menjadi persoalan, produksi telur yang berlebih di Blitar kini menyerbu Jawa Tengah termasuk Kendal tentu. Padahal selama ini produk para peternak asal salah satu kabupaten di Jatim itu sudah memiliki pasar tetap yaitu Jakarta.
Namun belakangan pasar ibu kota tak lagi jadi milik mereka. Konon karena Jakarta kini diserbu telur ayam asal Medan. Ke mana mereka “membuang” produk yang berlebih itu, kalau tidak ke Jateng sebagai pasar terdekat setelah Jakarta ?
Dalam situasi seperti itu tentu saja hukum ekonomi bicara. Jika barang melimpah di pasaran, pastilah harga turun. Memang konsumen diuntungkan, tetapi sebaliknya produsen menjerit kesakitan.
Kenyataan ini mestinya menjadi kajian pemerintah kabupaten/ kota maupun provinsi, melalui dinas teknis yang membidangi masalah tersebut. Usaha peternakan ayam pedaging/petelur dalam skala besar banyak didominasi warga etnik tertentu.
Mereka biasanya enggan atau tak berani menyampaikan persoalan yang dialami secara terbuka, karena adanya hambatan psikologis. Mungkin pula kaitannya dengan masalah pajak.
Oleh karena itu diharapkan dinas teknis bersikap proaktif membantu mencari solusi atas permasalahan tersebut. Pasalnya, ini benar-benar menyangkut hajat hidup orang banyak.
Di Kabupaten Kendal saja, dengan sentra produksi di daerah atas (Kecamatan Sukorejo, Plantungan, dan Limbangan) ada sekitar 1.500 tenaga kerja yang terancam PHK jika usaha peternakan tempat mereka mengais rezeki sampai bangkrut.
Memproteksi produk Kendal/ Jateng dengan menyetop telur asal Blitar agar tak masuk, barangkali tak akan mendatangkan simpati di era seperti sekarang ini. Dan harus diakui pula, mekanisme pasar tentunya tidak mudah dikontrol oleh pemerintah.
Namun solusi lain tetap perlu dipikirkan. Misalnya apakah mungkin menyubsidi harga vaksin, atau memberi kredit lunak untuk pembelian pakan. Ini dikarenakan sebagian besar usaha ayam petelur justru peternak kecil.
Jika itu bisa diberikan, setidaknya akan mengurangi tekanan akibat penurunan harga. Mari kita selamatkan produk unggulan ini. (80)
– Mastur Syukur, peternak ayam tinggal di Sukorejo dan mantan anggota DPRD.
Wacana Suara Merdeka 6 November 2009