”PERANG” antara Polri dan KPK yang dimulai Juni lalu telah memasuki babak menentukan (turning point). Babak baru yang menegangkan ini ditandai oleh beberapa fitur. Pertama, penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan KPK nonaktif yang sejak 15 September ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. Kedua, peredaran kopi transkrip rekaman percakapan antara Anggodo —adik Anggoro— dan sejumlah petinggi misterius instansi penegak hukum. Masyarakat luas kini dapat membaca dan mendengar rekaman tersebut dengan leluasa. Ketiga, penyeretan nama Presiden Yudhoyono dalam transkrip tadi. Mau tidak mau, citra Istana ikut tercemar. Paling tidak dugaan ada grand design di balik perang antara Polri dan KPK dengan tujuan untuk ”menggorok leher” KPK, lebih dipercaya oleh publik. Maka, presiden pun melakukan klarifikasi. Namun, klarifikasi itu amat jelek dan mengecewakan pencari keadilan.
Keempat, tergalangnya solidaritas elemen masyarakat berspektrum luas —termasuk mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, kalangan akademisi, petinggi NU, Muhammadiyah dan Dewan Pertimbangan Presiden— untuk mendukung Bibit dan Chandra. Gerakan solidaritas telah memperparah perpecahan dan pertempuran antara Polri dan KPK.
Pada hari-hari mendatang, tiada seorang pun dapat meramalkan apa yang akan terjadi jika perpecahan antara dua kubu itu terus melebar dan presiden hanya duduk menjadi penonton di ”sisi ring”.
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Polri versus KPK? Apa penyebab pokoknya? Dan apa yang dipertaruhkan? Kalau direnungkan secara jernih–sejernih–jernihnya— semua itu berawal dari ulah seorang pengusaha bernama Anggoro Widjaja. Ia terjerat perkara korupsi dalam kasus pengadaan alat sistem komunikasi terpadu di Departemen Kehutanan. Perusahaan miliknya memenangi tender pengadaan barang bernilai puluhan miliar. Itulah asal-muasalnya!
Bukan rahasia lagi, instansi pemerintah kita —hampir semua, korup. Korupsi terutama merajalela di bagian pembeliaan atau pengadaan barang. Praktik penggelembungan harga sudah menjadi lazim. Namun, dalam era pemerintahan SBY, praktik itu tidak bisa ditolerisasi. Ini karena keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Praktik korupsi di hampir semua instansi pemerintah — pusat maupun daerah, juga di DPR/DPRD, Bank Indonesia dan lain-lain, satu per satu dibongkar KPK. Dan para pelaku diseret ke pengadilan serta dijatuhi hukuman penjara setimpal.
Tapi, pengusaha di Indonesia selalu berkelit. Ibarat belut, mereka lihai sekali bermanuver untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Caranya? Apa lagi kalau bukan dengan menyuap pejabat instansi penegak hukum terkait. Itulah yang dilakukan oleh Anggoro Widjaja, orang yang awalnya pasti tidak menyadari kalau perilakunya telah membuahkan situasi kenegaraan begitu kacau, beringas, ruwet, dan serius!
Bertekuk Lutut Karena kelihaian Anggoro, Ketua KPK Antasari (kala itu) bisa bertekuk-lutut, terbang ke Singapura menemuinya. Antasari mengaku, ia bertemu Anggoro dalam rangka tugas mencari informasi dalam kasus korupsi pengadaan alat sistem komunikasi di Departemen Kehutanan. Padahal, ia tahu kalau tindakannya melanggar hukum. Karena kelihaian Anggoro pula, seorang Kepala Badan Reserse KrIminal (Bareskrim) berbintang tiga, Susno Duadji, menyempatkan diri untuk terbang ke Singapura, khusus untuk menemui sang buron. Untuk apa? Ya, dalam rangka tugas, kata Susno. Tapi, penjelasan ini tidak masuk akal. Kenapa penguasa No 3 Markas Besar Polri sampai perlu langsung menyidik Anggoro? Mestinya, penyidik berpangkat Komisaris atau Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) sudah cukup untuk mengorek mulut Anggoro.
Benarkah Anggoro menyuap petinggi Polri dan pimpinan KPK? Itulah pertanyaan krusial yang kemudian melahirkan pertempuran sengit antara Polri dan KPK. Pertempuran ini pecah karena punya latar belakang yang mendukung pula, yaitu ketidaksenangan Polri terhadap KPK! Diam-diam pimpinan Polri pasti mangkel sebab sejumlah petinggi mereka telah diseret ke meja hijau dan dijebloskan dalam penjara. Sikap pimpinan Kejaksaan terhadap KPK sana saja. KPK di bawah kepemimpinan Antasari berhasil mengobrak-abrik borok kejaksaan, terutama dalam skandal Arthalita alias Ayin yang sungguh membawa aib bagi Kejaksaan Agung. Dan para petinggi kejaksan sejak itu, rupanya, terus berikhtiar untuk ”menggorok” KPK. Antasari dicap pengkhianat, seorang jaksa yang lupa akan kulitnya.
Tapi, apakah KPK terdiri atas malaikat-malaikat yang tidak ada cacat-cela?
Kasus yang menimpa Antasari dengan pembunuhan Nasruddin seperti blessing in disguise bagi Polri dan Kejaksaan. ”Kedok” KPK sedikit banyak terungkap dari kasus ini; bahwa yang namanya Antasari boleh jadi juga ”makan suap” dengan cara pilah-pilah kasus yang masuk ke KPK. Kalau Antasari ”main”, bagaimana dengan pimpinan KPK yang lain? Itulah awal kecurigaan petinggi Polri dan Kejaksaan terhadap pimpinan KPK. Kecurigaan ini menguat menjadi motivasi keras —sekaligus kebencian barangkali— untuk membongkar, apalagi semenjak telepon genggam Susno Duadji disadap oleh orang-orang KPK.
Tambah Rumit Entah kebetulan atau karena sakit hati, Antasari kemudian ”menyanyi” ketika diperiksa oleh penyidik Polri. Antasarilah yang pertama kali mengatakan ada pimpinan KPK lain yang juga menerima suap dari Anggoro Widjaja...
Namun, Polri tidak sanggup mendapatkan bukti kuat tentang suap yang diterima Bibit dan Chandra. Masalah menjadi tambah rumit sebab Ary Muladi, salah satu saksi kunci, kemudian mencabut pernyataannya di BAP bahwa ia menyerahkan uang kepada kedua pimpinan KPK. Misteri lain yang menyelubungi kasus Anggoro adalah manusia bernama Yulianto.
Orang ini, sebelumnya, tidak pernah disebut-sebut. Baru belakangan Ary mengaku ia tidak pernah mempunyai akses langsung ke Anggoro, tapi melalui Yulianto. Siapa Yulianto? Hingga hari ini tidak diketahui batang hidungnya... Jangan-jangan Yulianto hanya fiktif yang diciptakan semata-mata untuk menambah sulit alat bukti!
Sikap curiga terhadap Polri lahir sebab tuduhan Polri terhadap Bibit dan Chandra berubah-ubah: mulai dari penyadapan yang melanggar hukum, penyalahgunaan wewenang, suap, sampai terakhir, pemerasan. Yang mengenaskan lagi, tuduhan pemerasan, menurut pimpinan Polri, karena ”pesanan” dari penuntut umum, kejaksaan. Jadi, penyidik Polri percaya begitu saja pada bisikan penuntut umum dari kejaksaan?! Karena dasar hukum dari pengenaan status tersangka bagi Bibit dan Anggoro tidak jelas, timbul perlawanan terhadap Polri, sekaligus simpati dan dukungan pada kedua mantan pimpinan KPK. Yang lebih memprihatinkan lagi, salah satu alasan utama kenapa Bibit dan Chandra ditahan ialah karena mereka sering mengadakan jumpa pers untuk meracuni opini publik...!
Anggoro! Anggoro! Andai saja ia hari ini mau tampil ke permukaan dan bicara sejujurnya dan secara ksatria sesuai ajaran agama yang dihayati, semua keruwetan dan ingar-bingar panas yang ikut membuat Presiden RI galau tidak akan pernah terjadi. Dalam melakukan lakon (menyuap pimpinan KPK?), Anggoro menyuruh adiknya, Anggodo. Maka, Anggoro sejauh ini tidak diketahui di mana keberadaannya. Anggodo sudah menampakkan dirinya di Mabes Polri. Namun, publik sudah tidak percaya lagi pada setiap keterangan Anggodo.
Polri berhasil diadu KPK, KPK begitu ”benci” pada Polri, dan Kejaksaan begitu jengkel dengan KPK, sesungguhnya, semua ini bersumber dari ulah seorang manusia bernama Anggoro. Kenapa Anggoro tidak berani mengakui perbuatannya? Katakan yang benar, benar; dan yang tidak benar, tidak benar, ucap Jenderal M Jusuf (almarhum) ketika menjabat Menteri Pertahanan/Panglima Angkatan Bersenjata.
Sayang, di negeri tercinta ini, komoditas yang bernama kebenaran sudah habis digadai. Susah sekali kita menemukan pejabat negara betul-betul bericara dengan sejujur-jujurnya... Menyedihkan sekali. Maka, semua masalah menjadi ruwet, karena ada dusta di antara kita!! (35)
—Prof Dr Tjipta Lesmana MA, mantan anggota Komisi Konstitusi dan asisten Ombudsman Nasional
Opini Suara Merdeka 3 November 2009