05 November 2009

» Home » Okezone » Ihwal Independensi TPF KPK-Polri

Ihwal Independensi TPF KPK-Polri

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya merespons dinamika dan protes masyarakat terkait kasus yang menimpa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dengan membentuk tim independen.

Seperti diketahui, tim ini diketuai oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution dan wakil ketua mantan anggota Komnas HAM Irjen (Purn) Koesparmono Irsan, sekretaris tim Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, dan beranggotakan lima orang. Dalam keterangannya, ketua tim Adnan Buyung Nasution mengungkapkan bahwa tim akan memverifikasi semua fakta hukum yang terjadi mulai dari awal kasus hingga penahanan Bibit-Chandra.
Tim diberi kebebasan dan independensi untuk mencari fakta dan klarifikasi. Untuk itu, kata Buyung, tim akan memeriksa semua dokumen pemeriksaan Bibit-Chandra baik yang ada di kepolisian maupun Kejaksaan Agung, termasuk rekaman percakapan yang dimiliki KPK.

Soal Independensi

Pembentukan tim pencari fakta (TPF) ini harus dipahami sebagai hasil dari tekanan publik. Namun, independensi tim tetap harus dikritisi. Anggota tim, sebagaimana diketahui, dikendalikan oleh orang-orang dalam lingkaran SBY, bahkan orang dekat SBY.

Karena itu, wajar jika banyak kalangan tetap meragukan independensi tim ini. Sebagaimana latar belakang pembentukannya, TPF merupakan jawaban atas kekecewaan publik kepada aparat penegak hukum yang bukan hanya gagal menjalankan tugas dan fungsinya menangani perkara-perkara yang menjadi latar belakang kekisruhan KPK-Polri, tetapi juga "main serang" dan saling menjatuhkan. Karena itu, TPF tidak boleh gagal dan memupuk kekecewaan publik. Ujian pertama terhadap independensi TPF adalah mendesakkan penangguhan penahanan kedua pimpinan KPK sebelum mereka bekerja.

Tanpa desakan dan upaya penangguhan penahanan, secara implisit TPF berarti turut menyetujui langkah Polri melakukan penahanan. Jika TPF dibentuk berangkat dari asumsi dan fakta bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, titik pijak kerja mereka harus jelas dan tegas. Kejelasan dan ketegasan itu ditunjukkan dengan mengembalikan dua pimpinan KPK keluar dari jeruji tahanan terlebih dahulu. Pembentukan TPF bukanlah kepanjangan tangan kekuasaan yang bertugas mencuci piring dan memoles citra penguasa yang sebelumnya telah melakukan pembajakan independensi KPK dengan mengeluarkan Perppu Plt KPK.

Demikian juga TPF dimaksudkan bukan semata-mata untuk "mendamaikan" dua institusi negara, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka memastikan penegakan hukum. Dengan dibentuknya TPF tidak berarti Presiden SBY melepas tanggung jawab begitu saja. Presiden harus mengambil langkah-langkah signifikan dalam mereformasi institusi kepolisian dan kejaksaan, termasuk kemungkinan mengganti dua pemimpin institusi penegak hukum ini.

Mandat TPF

Hingga saat ini, belum jelas apa mandat TPF kasus KPK-Polri kecuali mengumpulkan dan mengklarifikasi dokumen-dokumen yang terkait dengan penahanan Bibit-Chandra. Tanpa mandat yang jelas dan dengan bekal independensi yang minimum, dikhawatirkan TPF hanya akan menjadi peredam gejolak protes masyarakat. Dalam pandangan penulis, tugas tim setidaknya meliputi, pertama, melakukan pengumpulan faktafakta dan penyelidikan terhadap perkara-perkara yang menjadi latar belakang kisruh KPK-Polri.

Kedua, melakukan pengkajian terhadap langkah-langkah hukum yang dilakukan Polri dan menyusun rekomendasi penanganan lanjutan. Ketiga, menyusun rekomendasi untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Polri, Kejaksaan Agung, dan pihak-pihak lain dalam kasus-kasus yang diseterukan. Tim juga harus dibekali beberapa kewenangan. Pertama, mengakses seluruh dokumen yang berhubungan dengan tugasnya di semua institusi. Kedua, melakukan pemanggilan, pemeriksaan setiap orang yang dianggap relevan dengan tugas tim. Ketiga, kewenangan penyelidikan.

Selain soal tugas dan kewenangan, tim juga berkewajiban melaporkan tugasnya kepada Presiden dan publik. Dengan tugas dan kewenangan sebagaimana dipaparkan, TPF tidak hanya berhenti bekerja sampai pada titik di mana kisruh KPK-Polri ini selesai. Lebih dari itu, mereka harus mampu mengantarkan orang-orang yang terlibat dalam skandal politik kriminalisasi KPK ini untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum. Pembelajaran dari tim-tim ad hoc yang dibentuk Presiden, umumnya tim-tim itu hanya mampu menghasilkan rekomendasi yang kemudian menjadi arsip kepresidenan dan memori publik.

Kalaupun tim berhasil menyusun rekomendasi brilian, tindak lanjut dari temuan tim juga akan mendapati ganjalan pada proses penyidikan dan penuntutan sehingga gagal melimpahkan kebenaran dan keadilan tentang sebuah kasus. Kinerja TPF Munir, misalnya, dengan kewenangan yang minimum telah mampu menghasilkan rekomendasi konstruktif yang mampu membuka tabir misteri pembunuhan Munir hingga dugaan aktor intelektualnya. Namun, aparat penyidik dan jaksa penuntut umum gagal mentransformasikan temuan-temuan tim menjadi dokumen hukum pro justisia akibat berbagi soal.

Dalam kasus Munir, harus diakui kinerja aparat penegak hukum yang bertugas menindaklanjuti temuan-temuan TPF tidak sepenuhnya berhasil meski telah berupaya keras. Capaian proses hukum atas pembunuhan Munir, meski belum memuaskan dan memberikan keadilan paripurna, justru sebagian besar disebabkan desakan publik dan pengawalan saksama oleh elemen-elemen masyarakat sipil atas kasus ini. Pembelajaran yang demikian harus dijadikan contoh oleh TPF kasus KPK-Polri, khususnya dalam hal bagaimana memastikan rekomendasi-rekomendasi tim dapat diakses oleh publik dan mampu membangun barisan baru pengawal tindak lanjut rekomendasi tim kelak.

Keberpihakan tim pada kebenaran dan kesungguhannya memastikan rekomendasi itu dijalankan adalah bukti independensi TPF kasus KPK-Polri. Di atas segalanya, komitmen Presiden adalah kunci utama.(*)

Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta 
Opini Okezone 4 November 2009