18 November 2009

» Home » Seputar Indonesia » TAJUK, Vox Populi,Vox Dei

TAJUK, Vox Populi,Vox Dei

SETIAP pemimpin memiliki gaya kepemimpinan berbeda-beda. Kita ingat gaya memimpin yang ditunjukkan Presiden Venezuela Hugo Chavez atau Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad.

Keduanya mewakili pemimpin dunia yang lantang,berani,dan tanpa basa-basi.Karena itu,keduanya dijuluki sebagai ikon perlawanan kekuatan Barat dalam berbagai isu internasional strategis. Kemudian kita juga paham betul bagaimana gaya mantan Presiden George W Bush memimpin Amerika Serikat. Bush terlalu percaya diri karena merasa menjadi pemimpin negeri adidaya dan senang mendikte dan turut campur urusan negara lain sesuai kemauannya. Gaya Bush bertolak belakang dengan penggantinya,Presiden Barack Obama yang menerima kecaman sana-sini karena dianggap terlalu santun sebagai pemimpin negara adidaya.


Kaum konservatif mengecam habis-habisan Obama hanya gara-gara dia bersalaman dengan Kaisar Jepang sambil menundukkan badan. Ada juga pemimpin yang begitu sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan sehingga terkesan lamban dan kurang responsif. Namun, biasanya keputusannya lebih tepat dan terukur jika dibanding dengan model kepemimpinan ala Hugo Chavez, George W Bush, atau Ahmadinejad. Ini berarti setiap gaya memimpin memiliki konsekuensi logis. Itulah risiko yang harus ditanggung oleh seorang pemimpin.

Setiap keputusan yang diambil sudah pasti mengandung risiko dan tidak bisa memuaskan semua pihak.Kontroversi adalah konsekuensi logis dari keputusan yang diambil seorang pemimpin. Dalam konteks polemik perseteruan KPK dengan Polri atau lebih sering disebut cicak melawan buaya, tak bisa lepas dari penggambaran di atas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara diberi wewenang penuh oleh undang-undang untuk mengambil keputusan cepat agar polemik ini tidak berkepanjangan.

Semakin lama persoalan ini diendapkan, polemiknya akan semakin membesar dan berubah menjadi bola liar yang tidak terkontrol. Di saatsaat krusial inilah biasanya berbagai kepentingan akan masuk mengaburkan substansi masalah demi keuntungan pribadi atau kelompok.Cara-cara “mengail ikan di air keruh”menjadi sangat efektif. Isu KPK vs Polri sudah menghiasi ruang publik sejak satu bulan belakangan.Awalnya adalah pemutaran rekaman penyadapan telepon sejumlah orang yang diduga melakukan rekayasa untuk mengkriminalkan dua pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Persoalan terus melebar dari ranah hukum hingga menembus wilayah sosial politik dan kekuasaan. Sebagai pemimpin, mendiamkan masalah besar seperti ini tentu bukan tindakan bijaksana. Publik atau masyarakat yang dipimpin yang setiap hari disuguhi drama pro-kontra cicak lawan buaya membutuhkan klarifikasi dari pemimpin mereka.Apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang menjadi biang persoalan, keputusan apa yang dilakukan agar problematika ini tidak terulang lagi di masa depan, apakah sanksi bagi mereka yang terbukti bersalah?

Semua harus dijawab dan diputuskan dengan jelas dan cepat. Jangan biarkan ruang-ruang kosong di tengah polemik itu diisi oleh spekulan-spekulan yang ingin mengambil manfaat di tengah konflik. Rasa ingin tahu masyarakat yang begitu besar terhadap kasus ini harus dijawab dengan tindakan hukum dan politik yang cemerlang sehingga energi besar yang sudah tercurah dari setiap elemen bangsa untuk menyelesaikan kasus ini tidak terbuang sia-sia. Perumpamaan “suara rakyat adalah suara Tuhan”(vox populi vox dei) dalam kasus ini tidak boleh dikesampingkan.

Kita ketuk hati para pemimpin itu bahwa mereka tidak akan berarti apa-apa kalau rakyat tidak lagi memberi mandat dan kepercayaan. Kita ingatkan pula bahwa para penegak hukum agar jangan sekali-kali menggunakan kelemahan hukum untuk melakukan korupsi dan penyelewengan. Bagi para pelanggar hukum yang belum tersentuh hukum,jangan buruburu bersenang-senang. Meski tidak masuk penjara, rakyat telah menghukum mereka dengan hukuman paling berat yakni ketidakpercayaan. Vox populi,vox dei.(*

Opini Seputar Indonesia 19 November 2009