Selasa pagi 20 Oktober lalu, presiden dan wakil presiden terpilih mengucapkan sumpah di MPR disaksikan seluruh anggota MPR,kepala negara/ utusan negara sahabat, dan rakyat Indonesia melalui media televisi.
Sumpah itu berbunyi: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai presiden dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh UUD, dan menjalankan UU dan peraturan lainnya dengan selurusnya, serta berbakti kepada negara dan bangsa.” Substansi sumpah itu menggetarkan, sebab sumpah itu diawali dengan ungkapan “Demi Allah”. Presiden bersumpah dengan disaksikan Allah bahwa dia akan menjalankan tugasnya sebagai presiden dengan sebaik-baiknya. Ada makna duniawi dan religius di dalamnya.
Bagi seorang muslim, sumpah demikian menimbulkan kewajiban untuk memenuhinya di dunia dan mempertanggungjawabkannya di akhirat nanti. Saya tentu berharap sumpah yang sarat makna itu akan memberi energi besar kepada Presiden dalam melaksanakan tugasnya yang mahaberat: membangun kesejahteraan rakyat Indonesia. Lebih separuh dari 220 juta rakyat Indonesia (lebih kurang 110 juta) setelah 65 tahun merdeka menantikan tibanya masa untuk dapat hidup sejahtera. Hidup sejahtera bukanlah berarti mencapai kecukupan ekonomi saja.Akan tetapi dapat mencapai hakikat tertinggi sebagai manusia.
Dalam hal ini kecukupan ekonomi harus disertai penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.Tanpanya, kecukupan ekonomi itu akan menimbulkan penindasan kemanusiaan dalam bentuknya yang lain. Apa sebenarnya tugas seorang presiden? Jelas disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan Indonesia salah satunya bermuara pada terbentuknya pemerintahan negara Indonesia yang tujuannya adalah untuk, pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.Kedua, untuk memajukan kesejahteraan umum.Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Prosperity, Democracy, and Justice
Substansi sumpah yang berbunyi “memenuhi kewajiban sebagai presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya serta berbakti kepada negara dan bangsa” mengandung makna Presiden dengan semua kemampuan dan resourcesyang dimilikinya semisal kekuasaan, otoritas, kepemimpinan, intelektualitas, integritas, sensitivitas, dan empati akan mendayagunakannya untuk setinggi-tinggi kemakmuran dan kebahagiaan rakyat. Posisi presiden adalah posisi langka.
Hanya satu orang dari 220 juta rakyat Indonesia yang dapat mencapai posisi puncak itu.Posisi ini pun hanya mungkin diraih apabila rakyat menghendaki dengan cara memilihnya dalam pemilihan umum. Dengan mengantongi 60,80% suara, berarti sekitar 70 juta rakyat Indonesia menghendaki SBY sebagai presiden. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban Presiden membalasnya dengan cara melayani rakyat.Plato pun ribuan tahun lalu sudah mengatakan, kekuasaan hanya bermakna apabila diisi dengan kebajikan dan pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang melaksanakan kebajikan.
Oleh karena itu, saya mempunyai semacam harapan ketika menyimak pidato pelantikan Presiden yang menurut saya sarat dengan semangat untuk memenuhi amanah Pembukaan UUD 1945. Presiden menyampaikan visi tentang bagaimana membangun Indonesia lima tahun ke depan dengan mengangkat tema besar “prosperity, democracy, and justice” yang artinya adalah peningkatan kesejahteraan, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan.
Sesuatu yang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah dilaksanakan. Kemampuan Presiden menjabarkannya dalam bentuk prioritas program yang terukur pencapaiannya, kualitas dan kapabilitas kabinet, leadership dan management pemerintahan sudah tentu menjadi faktor penting yang akan memengaruhi keberhasilan pemerintah mendatang. Di samping itu,peran DPR yang kritis dan masyarakat sipil yang berdaya dapat memaksa pemerintah memprioritaskan program yang prorakyat.
Para menteri kabinet yang memimpin departemen pemerintahan harus mampu menjabarkan visi tersebut ke dalam program riil yang terukur pencapaiannya setiap tahun. Presiden tak akan mampu bekerja sendirian merealisasikan visi besar itu. Walaupun dikatakannya siap mengarungi ombak samudra yang luas, pastilah dia akan tergulung oleh ombak itu apabila tidak dibantu oleh orang-orang yang mengerti dan memahami cara mengatasi ombak besar itu.
Saat ini ada tiga persoalan besar bangsa,yaitu masalah pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan HDI (human development index) yang rendah (peringkat Indonesia turun pada tahun 2009 dari peringkat ke-109 menjadi 111). Kesemuanya memerlukan terobosan kebijakan sehingga dapat mendorong terciptanya democracy,prosperity, and justiceitu. Di sinilah pentingnya merekrut orang yang tepat pada posisi yang tepat. Masyarakat mempertanyakan mengapa Presiden terlalu mengakomodasi partai? Mengapa Presiden melakukan politik balas jasa?
Tidak salah memang, sebab adalah hak prerogatif Presiden memilih siapa pembantunya. Namun,praktik sistem presidensial berbagai negara memperlihatkan kabinet selalu diisi oleh kalangan profesional.Atau, kalaupun orang partai, adalah yang profesional. Latar belakang pendidikan, pengalaman,wawasan kebangsaan, dan kepedulian pastilah akan memengaruhi kualitas menteri.
Kedudukan Presiden Sangat Kuat
Presiden tidak perlu terlampau khawatir terhadap permainan politik partai-partai.Dengan perolehan kursi Partai Demokrat yang jauh lebih kecil pada Pemilu 2004 saja, sebenarnya pemerintahan SBY berjalan efektif. Apalagi dengan jumlah kursi mayoritas di DPR sekarang ini (hasil Pemilu 2009).
Kritisisme DPR seperti penggunaan hak interpelasi ataupun hak angket DPR periode 2004–2009 tidaklah sampai menyebabkan stagnasi kebijakan.Tidaklah tepat apabila dikatakan tidak dikenal oposisi dalam sistem presidensial. Oposisi hanyalah istilah. Sistem presidensial dengan parlemen yang mandul justru akan melemahkan fokus kebijakan pemerintah, sebab tidak ada checks and balances di sana. Di samping itu,UUD 1945 hasil perubahan didesain untuk memperkuat sistem presidensial.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan popular vote sehingga kedudukan presiden sangat kuat. DPR tidak bisa lagi menjatuhkan presiden oleh karena alasan yang bersifat politis seperti yang pernah terjadi pada kasus Presiden Gus Dur. Mekanisme impeachment presiden juga dibuat sedemikian sulitnya sehingga sebagaimana halnya di Amerika Serikat memberhentikan presiden dengan cara impeachmentsulit terjadi.Bahkan Presiden Nixon yang terlibat skandal Watergate pada akhirnya berhenti bukan melalui impeachment.
Demikian pula Presiden Clinton tidak berhasil dijatuhkan melalui impeachment karena skandal asmaranya dengan Monica Lewinsky. Memang Indonesia menghadapi komplikasi dalam pilihan mengenai sistem pemerintahan presidensial,sebab realitas politiknya adalah sistem multipartai. Namun menurut saya bukanlah menjadi hambatan apabila kondisi politik yang demikian diimbangi oleh terbangunnya kultur politik baru. Dalam hal ini leadership Presiden yang kuat,relasi dan komunikasi politik yang efektif antara eksekutif-legislatif,dan kedewasaan para elite/aktor politik baik itu di eksekutif maupun legislatif untuk meletakkan kepentingan yang lebih besar (bangsa) di atas kepentingan yang sempit (kelompok/ partai).
Oleh karena itu, saya setuju mengenai pengaturan kembali masalah rangkap jabatan.Seorang ketua umum partai atau mereka yang menduduki posisi kepemimpinan partai harus melepas jabatannya ketika diangkat sebagai menteri. Menteri haruslah fokus sebagai pembantu presiden dan melaksanakan kebijakan.
Sementara elite partai yang kebetulan duduk di DPR mengawasi secara ketat setiap kebijakan dari pemerintah, termasuk ketika akan menyusun anggaran pembangunan (APBN). Dengan cara demikian kita dapat membangun optimisme bahwa Presiden dibantu jajaran kabinetnya akan dapat merealisasikan visi besarnya mengenai prosperity, democracy, and justice itu.(*)
Valina Singka Subekti
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
Opini Seputari Indonesia 24 Oktober 2009