“Akan diapakan rekomendasi Tim Delapan,kini bergantung pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).”Demikian headline Seputar Indonesia,Rabu, 18 November,menyikapi disampaikannya rekomendasi Tim Delapan kepada Presiden SBY.
Sangat tepat apa yang ditulis Seputar Indonesia tersebut mengingat kini bola memang berada di tangan Presiden. SBY-lah yang akan menentukan hitam-putih, bulat-lonjongnya tindak lanjut dari rekomendasi tersebut. Publik kini menanti apakah rekomendasi akan menjadi barang berarti,ataukah hanya akan menjadi tumpukan kertas yang hanya akan tersimpan di laci, seperti nasib temuan-temuan tim-tim independen terdahulu.
Dalam rekomendasi yang disampaikan pada Selasa lalu itu,Tim Delapan tidak hanya menyentuh soal penyelesaian dugaan kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah,tapi juga upaya untuk perbaikan menyeluruh dunia hukum dan penegakan hukum, terutama institusi yang langsung berada di bawah kontrol Presiden yaitu kejaksaan dan kepolisian.Tim Delapan juga menyarankan pembentukan komisi negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan yang jelas untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum.
Pilihan Kebijakan
Menilik rekomendasi yang diberikan, ada yang langsung dapat dilakukan Presiden misalnya penghentian terhadap proses hukum Bibit-Chandra.
Untuk itu,Tim Delapan bahkan telah memberikan petunjuk dengan mengeluarkan tiga skenario yaitu SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) bila kasus masih berada di kepolisian, SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) bila kasus sudah dilimpahkan ke kejaksaan, atau bila kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum perkara perlu dihentikan, berdasarkan asas oportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponir perkara ini.
Mana dari tiga pilihan ini yang akan dilakukan Presiden? Tentu saja Presiden tidak bisa secara publik menyatakan memilih salah satu dari tiga skenario yang ditawarkan karena hal tersebut domain langsung kepolisian dan kejaksaan. Presiden bisa dianggap melakukan intervensi oleh pihak-pihak yang sejak semula kontra dengan Tim Delapan, termasuk dengan rekomendasi- rekomendasi yang dihasilkannya. Namun, sebagai atasan langsung Kapolri dan Jaksa Agung, Presiden dapat memberikan semacam “green light” agar dua pejabat tersebut mengambil langkah-langkah yang direkomendasikan Tim Delapan.
Kapolri dan Jaksa Agung, saya kira cukup cerdas untuk memahami bahasa tubuh (gesture) Presiden dalam soal ini. Kecuali Presiden sendiri yang tampak raguragu dalam mengambil langkah. Kemungkinan Presiden ragu tersebut bisa jadi didorong oleh dua faktor. Pertama, Jaksa Agung dan Kapolri, termasuk kejaksaan dan kepolisian,adalah dua institusi yang jelas-jelas berada di bawah institusi kepresidenan. Presiden adalah orang yang dapat menentukan lanjut atau tidaknya jabatan seorang Jaksa Agung dan Kapolri. Ketika terjadi pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II), Kapolri dan Jaksa Agung adalah pejabat yang tetap dipertahankan.
Artinya, Presiden memberikan pesan kepada publik bahwa dia masih membutuhkan dua pejabat tersebut. Secara psikologis,Presiden tentu akan merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan dua bawahannya tersebut ketimbang dengan Tim Delapan yang lebih independen dari jangkauan Presiden, kendati dalam Tim Delapan ada sosoksosok yang berada di sekeliling Istana seperti Ketua Tim Delapan Adnan Buyung Nasution yang menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Denny Indrayana yang adalah staf khusus Presiden untuk bidang hukum.
Inilah yang bisa menjelaskan mengapa Presiden merasa perlu menerima dan meminta masukan dulu dari Jaksa Agung dan Kapolri setelah pulang dari lawatan ke luar negeri sebelum “berhadapan” dengan Tim Delapan.
Formalisme Hukum
Kedua, jebakan formalisme hukum. Formalisme hukum menyata- kan bahwa Presiden tidak boleh melakukan intervensi terhadap proses hukum yang sedang berjalan, baik yang ditangani kepolisian maupun kejaksaan. Sikap tersebut sangat baik dan memang harus menjadi sikap seorang Presiden,dengan catatan dua institusi di bawah Presiden tersebut menjalankan kekuasaannya dengan benar sesuai peraturan yang ada.
Namun, jika dua institusi tersebut tidak menjalankan kekuasaan dengan benar, sebagaimana ter-lihat dari kesimpulan Tim Delapan terhadap kasus Bibit- Chandra, intervensi tidak haram bahkan menjadi wajib hukumnya. Kalau tidak Presiden, siapa lagi yang bisa mengintervensi kejaksaan dan kepolisian bila kedua institusi ini mela-kukan penyimpangan. Pada titik ini tentu kita membutuhkan Presiden yang berwatak baik (benevolent). Di masa lalu intervensi terhadap dunia hukum dilakukan untuk kepentingan perkoncoan dan orang-orang dalam lingkar Istana sehingga mereka menjadi orang-orang yang tak tersentuh (untouchable).
Akhirnya, sikap tindak Presiden terhadap penyelesaian kasus Bibit-Chandra akan menjadi test case bagi soal yang lebih besar: reformasi hukum dan dunia penegakan hukum. Bila Presiden gagal memberikan oase bagi penyelesaian kasus Bibit-Chandra,tidak akan ada harapan bagi perbaikan yang lebih struktural dan substantif.Momen yang sudah sangat berharga hari ini akan hilang begitu saja. Harapan rakyat yang membuncah akan perbaikan hukum akan sirna. Untuk menutup tulisan ini,saya ingin mengimbau kepada Presiden untuk tidak terjebak pada formalisme hukum yang berlebihan.
Sudah sejak lama dunia hukum Indonesia menjadi sarana bagi transaksi pasar gelap.Keadilan diperdagangkan dan menjadi barang komoditas di institusi-institusi hukum yang Anda pimpin. Sebagai pemimpin, Presiden tidak boleh berdiam diri menyaksikan ini. Inilah yang membedakan pemimpin dengan pejabat. Pemimpin adalah orang yang mau mengambil risiko terpahit sekalipun demi menciptakan kebaikan bagi publik yang dipimpinnya.Pejabat, sebaliknya, hanyalah orang yang mau bersenang-senang dengan memanfaatkan fasilitas yang disediakan dari uang publik.
Kita tentu paham, sebagai Presiden yang terpilih secara langsung untuk kedua kalinya, SBY adalah pemimpin, bukan pejabat. Karena itu, tunjukkanlah kepemimpinan tersebut dengan melakukan langkah tegas dan berani untuk memberi cahaya pada dunia hukum yang sudah lama gelap gulita dari keadilan. Kami, rakyat Indonesia, menunggu Anda,Pak Presiden.(*)
Refly Harun Pengamat dan Praktisi Hukum Tata Negara
Opini Seputar Indonesia 19 November 2009
18 November 2009
» Home »
Seputar Indonesia » Menanti Langkah Tegas Presiden
Menanti Langkah Tegas Presiden
Thank You!