22 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Logika Pemilihan Gubernur

Logika Pemilihan Gubernur

Salah satu isu kontroversial yang menonjol pada tahun 2010 adalah isu mengenai pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah.
Hal yang merisaukan sekaligus menjadi sumber polemik antara peme­rintah dengan berbagai pihak adalah rancangan aturan yang akan mengembalikan pemilih­an gubernur ke DPRD. Tawaran ini memiliki banyak kerancuan logika, sekaligus berpotensi memutar bandul perjalanan demokrasi ke era ketertutupan seperti lazimnya pada masa Orde Baru.

Kerancuan Logika
Ada dua argumentasi utama yang kerap disodorkan oleh para pendukung pemilih­an gubernur oleh DPRD. Pertama, gubernur itu merangkap dua jabatan sekaligus, yakni kepala daerah dan juga wakil pemerintah pusat di daerah. Lantas, muncul simplikasi bahwa peran gubernur itu sangat terbatas, sementara risiko politik yang harus ditanggung dalam kontestasi jauh lebih besar dan lebih rawan dibanding dengan pemilihan bupati atau wali kota. Untuk membuat masuk akal argumentasi ini, biasanya mereka merujuk pada proses implementasi otonomi daerah yang basis utamanya di tingkat kabupaten dan kota.
Argumen bahwa peran gubernur itu terbatas dalam konteks otonomi daerah tentu sangat rancu. Hal itu hanya mencoba menyederhanakan otonomi hanya dalam perspektif administrasi pemerintahan semata. Padahal, jika kita kembali ke titik awal semangat reformasi yang menjadi landasan awal otonomi daerah, tentu kita akan menemukan substansi desentralisasi kekuasaan dalam konteks otonomi.
Konsep desentralisasi itu sendiri merujuk pada dua aspek, yakni administrasi dan politik. Perspektif desentralisasi adminitrasi memungkinkan transfer tanggung jawab administratif dari pemerintah­an pusat ke pemerintahan lokal. Sementara itu, dalam perspektif politik, desentra­lisasi dipahami sebagai transfer kekuasaan dari tingkat atas ke tingkat yang lebih rendah dalam hierarki teritorial.
Pemerintahan Orde Baru yang terpusat, telah direformasi dan memunculkan semangat demokratisasi. Tak adil rasanya jika demokratisasi itu hanya berlangsung di pusat. Salah satu di antara penandanya adalah pemilihan paket presiden dan wapres secara langsung. Tentu, di daerah pun demokratisasi harus dijalankan melalui pemilihan kepala dae­rah yang dikehendaki rakyat. Hal ini akan memberi peluang partisipasi politik rakyat hingga ke akar rumput. Dalam konteks inilah, pilkada harus dipahami sebagai alat pembe­rian legitimasi rakyat terhadap pemimpin daerah. Bukan sebaliknya, pilkada dikerdilkan sebagai mekanisme politik yang berisiko dan tak berimbang dengan posisi gubernur yang hanya dianggap sebatas wakil pemerintahan pusat di daerah.
Kedua, pilkada dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya dalam biaya finansial, tetapi juga dalam biaya sosial. Setiap kontestasi pilkada berlangsung, gelontoran dana  nyaris tak terhindarkan. Atmosfer pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai salah satu penyebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung tak sehat. Selain itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan masalah-masalah sosial seperti tawuran, demonstrasi, dan kekerasan. Apakah benar, mengembalikan pilkada gubernur ke DPRD akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat dan penyelenggara? Bisa jadi mekanisme pemilihan oleh DPRD justru akan kembali memapankan tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol. Upeti yang menjadi akses pencalonan diri kandidat oleh partai-partai yang berkuasa di DPRD, bisa jadi sama atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung seperti sekarang.
Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari sekadar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada adalah koreksi terhadap demokrasi tidak langsung (perwakilan) yang lazimnya dipraktikkan di era Orde Baru.
Dalam demokrasi perwakil­an, kepala daerah dan wakilnya memang dipilih oleh DPRD. Sementara itu, saat ini, demokrasi bersumber langsung pada pilihan rakyat. Untuk menekan biaya finansial bisa saja dibuat pengetatan aturan dalam proses pilkada, baik bagi penyelenggara pemilu maupun para kandidat. Sementara untuk mengurangi biaya sosialnya, pilkada harus diselenggarakan oleh orang-orang yang kredibel, independen, memiliki aturan jelas dan transparan, serta dapat menyediakan saluran penyelesaian konflik.

Domain Pemilu
Satu hal penting yang harus kita ingat, bahwa sejak lahirnya UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah merevisi ketentuan penyelenggara pemilu yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No 32 Tahun 2002 menempatkan pilkada dalam domain peme­rintahan daerah. Sementara itu, UU No 22 Tahun 2007 menempatkan pilkada dalam domain pemilu.
Konsekuensinya, KPU de­ngan berbagai tugas dan kewajibannya memiliki independensi menyelenggarakan pilkada. Jika pemilihan dikembalikan ke DPRD tentu akan menjadi blunder karena menempatkan pemilihan kepala daerah dalam domain politik legislator. Hal ini menambah keruwet­an karena harus ada penyelarasan dengan pembahasan revisi UU No 22 Tahun 2007 yang saat ini juga sedang berlangsung di DPR.
Pemilihan gubernur oleh DPRD juga mengancam kebe­radaan calon-calon independen. UU No 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua dari UU No 32 Tahun 2004 memberikan revisi substansial terhadap proses pilkada de­ngan mengakomodasi calon independen. Meski di banyak daerah calon independen kalah, tetapi mekanisme ini memberi ruang ekspresi demokrasi bagi masyarakat. Hal ini menjadi sangat sulit dilakukan saat pemilihan dikembalikan ke DPRD, yang notabene adalah representasi partai-partai politik.
Pemilihan gubernur oleh DPRD bisa menyuburkan kembali kartelisasi Politik. Alokasi kekuasaan dilakukan segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda mereka. Menurut Dan Slater dalam tulisannya, Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004), menyatakan bahwa Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan kolusi demokrasi (collusive democracy). Pemilihan oleh DPRD juga bisa memupuk feodalisasi politik akibat tak terhindarinya restu para pemilik otoritas yang berada di puncak hierarki kekuasaan parpol.

Opii Sinar Harapan 23 Desember 2010