HASIL survei Political and Economic Risk  Consultancy (PERC) dari tahun 1995 sampai era reformasi, selalu  menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling korup di Asia. Hasil  survei itu tidak mengejutkan sebab memang dirasakan sebagian masyarakat,  terutama ketika berurusan dengan aparatur pemerintah. Begitu  mengguritanya korupsi di Indonesia sehingga dikategorikan sebagai  kejahatan luar biasa dan kejahatan kemanusiaan. Jika kemudian pemerintah  menyatakan perang terhadap korupsi maka selayaknya masyarakat menyambut  baik ajakan tersebut.     
Kita setuju memerangi korupsi tapi caranya jangan sampai   menjungkirbalikkan tatanan dan asas-asas negara hukum. Penyelesaiannya  harus tetap menghormati asas praduga tidak bersalah dan asas perlakuan  yang sama di depan hukum. Yang terpenting tetap mengedepankan kebebasan  hakim karena hal itu perintah konstitusi dan UU Nomor 48 Tahun 2009  mengenai Kekuasaan Kehakiman. 
Saat ini ada sinyalemen yang terbaca dari fenomena penanganan kasus  korupsi bahwa hakim diberi target dalam memutus perkara korupsi. Fakta  juga membuktikan bahwa hakim yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi  harus siap disidang oleh dewan kehormatan hakim, Komisi Yudisial, ketua  PN dan PT, bahkan oleh Mahkamah Agung. Hakim tersebut akan dimutasikan  (istilahnya dipromosingkirkan) ke PN dan PT di daerah terpencil. 
Membebani target pada hakim untuk ”harus” menghukum terdakwa korupsi  jelas mereduksi kebebasan hakim yang berarti bertentangan dengan tatanan  dan asas negara hukum. Hal itu diperparah ketika di kejaksaan pun  diterapkan pola 531 dalam penanganan kasus korupsi, yaitu kejaksaan  tinggi dalam satu tahun ditarget harus mampu menangani 5 perkara,  kejaksaan negeri 3, dan kacabjari 1 perkara korupsi. 
Penerapan pola ini dikhawatirkan dilanggarnya tatanan dan asas-asas negara hukum oleh aparat kejaksaan. 
Bahkan bisa mempengaruhi kinerja hakim yang seyogianya patuh dan taat  terhadap asas kebebasan hakim. Ekses yang mungkin terjadi adalah ketika  hakim menyidangkan terdakwa kasus korupsi, pola pikirnya sudah terbentuk  bahwa terdakwa yang duduk di depannya sudah pasti seorang koruptor dan  harus divonis seberat-beratnya. Ekses lebih jauh lagi adalah bisa saja  orang yang sebenarnya tidak bersalah justru malah dihukum. Jika hal ini  terjadi, sebenarnya hakimlah yang melakukan tindakan main hakim sendiri.
Intervensi Kebablasan Sejatinya berbicara tentang keadilan ada dua kemungkinan untuk  mendapatkannya. Pertama; dengan dihukumnya (hukuman penjara) seseorang  bisa jadi terpenuhilah keadilan sebagaimana dimaksudkan undang-undang.  Kedua; dengan dibebaskannya seseorang dari dakwaan hukum bisa juga  berarti telah terpenuhi rasa keadilan. Yang terpenting adalah proses  beracara, tatanan, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan dan  kebebasan hakim telah dipatuhi. 
Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa keputusan hakim harus bisa  dipertanggungjawabkan dari aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan  kerakyatan, terutama keadilan yang disebutnya pengadilan Pancasila.  Jangan sampai terjadi dalam memutus suatu perkara hakim merasa takut  akan ekses dari putusannya itu. Jika putusan (vonis) itu atas dasar  kebebasan hakim, tentu ia tidak perlu merasa takut dan bersalah. 
Fenomena intervensi kebablasan juga menimpa advokat, terkait dengan  tudingan bahwa mereka yang membela terdakwa kasus korupsi disebut  advokat hitam. Padahal dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,  tidak ada satu pasal pun yang mengategorikan advokat hitam, advokat  putih dan sebagainya. Hanya ada satu istilah dalam UU itu, dalam Pasal 1  Butir 1 yang menyebut advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa  hukum, baik di dalam maupun luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan  berdasarkan ketentuan undang-undang. 
Apapun jenis perkara yang ditanganinya, statusnya tetap sama yaitu  advokat meskipun dia sedang menangani perkara korupsi. Jika dibandingkan  dengan profesi hakim, jaksa, polisi, dan notaris; profesi advokat lebih  mulia dan terhormat (officium nobile). Jadi, kurang etis kalau ada yang  menyebut advokat hitam terhadap mereka yang sedang menangani perkara  korupsi, apalagi bila dikatakan oleh sesama penegak hukum. (10) 
— Agus Nurudin, advokat, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Opini Suara Merdeka 23 Desember 2010