Kritik terhadap praktik demokrasi di Indonesia terus berlangsung. Di  antara kritik itu adalah biaya demokrasi kita dianggap terlalu mahal.  Padahal, produk dari demokrasi itu tidak terlalu kelihatan. Dengan kata  lain, demokrasi kita mengalami defisit alias tidak efisien.
Uniknya,  yang mengkritik tidak lagi sebatas para pelaku ekonomi yang memang  lebih menyukai penggunaan ”analisis untung rugi” dalam menilai sesuatu.  Kritik juga datang dari akademisi yang sebelumnya ikut mendorong proses  demokratisasi.
Adanya kritik semacam itu bukanlah sesuatu yang  baru. Sebagaimana dikatakan oleh Larry Diamond (1990), demokrasi memang  mengandung paradoks-paradoks. Di antara paradoks dalam demokrasi adalah  adanya kebutuhan untuk lebih mengutamakan kepentingan banyak orang di  satu sisi dan kepentingan efisiensi di sisi yang lain.
Di dalam  demokrasi yang baik, proses pembuatan berbagai keputusan sedapat mungkin  melibatkan banyak orang. Semakin banyak berkonsultasi dengan konstituen  sebelum membuat kebijakan, semakin bagus praktik demokrasi yang  dijalankan oleh para pembuat kebijakan.
Akan tetapi, demokrasi  juga membutuhkan efisiensi. Ketika banyak rancangan keputusan harus  terlebih dahulu dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan dari  konstituen, proses pembuatan keputusan akan berlangsung lebih lama,  berbelit-belit, serta membutuhkan energi dan biaya mahal.
Untuk  itu, kerangka demokrasi yang baik adalah kerangka yang memungkinkan  terjembataninya dilema semacam itu. Hal ini terjadi, antara lain, kalau  para pembuat keputusan memiliki informasi dan data yang cukup mengenai  berbagai keinginan dan kebutuhan warga (preferensi).
Dengan  demikian, rancangan keputusan atau kebijakan yang dibuat akan cepat  memperoleh persetujuan, baik dari wakil rakyat maupun konstituen  sendiri, karena didasarkan pada preferensi warga.
Biaya pemilihan
Meski  demikian, praktik demokrasi yang dikritik bukan sekadar lamanya proses  pembuatan keputusan akibat terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan  politik. Yang sering dijadikan rujukan bahwa Indonesia saat ini sedang  mengalami defisit demokrasi adalah mahalnya biaya seleksi para pejabat  publik melalui pemilu, baik pemilu legislatif, pilpres, maupun pilkada.
Kritik  bahwa biaya pemilu di Indonesia ini cukup mahal memang benar adanya.  Para kontestan, baik partai maupun calon, harus mengeluarkan modal cukup  besar untuk membiayai persaingan dalam memperebutkan jabatan-jabatan  publik.
Tidak sedikit calon anggota DPRD harus mengeluarkan modal  puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sementara itu, banyak calon anggota  DPR harus mengeluarkan modal lebih dari satu miliar rupiah. Modal lebih  besar dikeluarkan oleh capres dan calon kepala daerah.
Paling  tidak ada dua faktor penting yang membuat para calon pejabat publik itu  harus mengeluarkan modal besar. Pertama, desain pemilihan  pejabat-pejabat publik saat ini memang dibuat seperti pasar. Persaingan  dibuat sangat terbuka. Konsekuensinya, para calon pejabat publik harus  mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mendongkrak perolehan  suaranya.
Argumentasi itu setidaknya berbanding lurus dengan biaya  iklan yang dikeluarkan oleh partai-partai politik dengan perolehan  kursi di DPR/DPRD. Partai-partai yang memperoleh kursi lebih banyak  adalah partai-partai yang cenderung mengeluarkan biaya iklan lebih  banyak pula.
Kedua, berkaitan dengan perilaku memilih. Dalam lima  tahun terakhir, perilaku memilih kita cenderung rasional. Kecenderungan  demikian merupakan kabar menggembirakan karena perilaku semacam itulah  yang seharusnya dimiliki oleh anggota masyarakat yang memilih jalur  demokrasi.
Sayangnya kelompok pemilih rasional itu harus dibagi ke  dalam dua kelompok lagi, yaitu pemilih yang rasional-program dan  pemilih yang rasional-material. Pemilih rasional-program adalah pemilih  yang menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kebijakan  yang ditawarkan oleh para calon. Sementara pemilih rasional-material  adalah pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan  pertimbangan-pertimbangan jangka pendek, seperti karena uang atau  bentuk-bentuk pertukaran materi lainnya.
Besarnya biaya pemilihan  akan lebih banyak lagi kalau dikaitkan dengan biaya yang harus  dikeluarkan oleh negara atau daerah. Dalam menyelenggarakan pilkada,  suatu daerah harus mengeluarkan biaya miliaran rupiah. Bahkan, untuk  provinsi besar bisa ratusan miliar. Biaya tentu akan lebih banyak lagi  kalau ada pilkada ulang.
Masalah desain?
Mengingat  fakta semacam itu, muncul usulan untuk mendesain ulang mekanisme  pemilihan. Pilkada langsung, misalnya, tidak perlu dilakukan. Kepala  daerah cukup dipilih DPRD sebagaimana sebelumnya. Argumentasinya, di  samping pilkada langsung dianggap tidak efisien, tidak ada perintah  konstitusi yang mengharuskan pilkada langsung sebagaimana pemilihan  presiden.
Pilpres yang secara konstitusional harus dilakukan  secara langsung pun dapat ditinjau ulang. Caranya, perlu ada amandemen  kembali terhadap UUD 1945. Presiden cukup dipilih MPR. Untuk itu, perlu  penghidupan kembali sosok MPR sebagaimana sebelumnya.
Sistem  pemilihan anggota DPR/DPRD juga bisa diusulkan untuk ditinjau ulang.  Yang mengemuka adalah usulan tentang pembatasan peserta pemilu. Kalau  dalam tiga kali pemilu terakhir ini rata-rata diikuti oleh lebih dari 30  partai, ada usulan agar peserta pemilu maksimal 10 partai saja.
Usulan  semacam itu memang sah-sah saja dan sangat masuk akal kalau semata-mata  didasarkan pada pertimbangan efisiensi. Akan tetapi, sejak awal,  demokrasi itu membutuhkan biaya dan tidak efisien. Kalau memang mau  efisien betul, pilihannya tentu saja bukan demokrasi, melainkan otoriter  atau totaliter.
Untuk itu, tantangan dari Indonesia adalah adanya  formula yang memungkinkan praktik demokrasi tetap berlangsung secara  baik, tetapi tidak begitu saja meninggalkan prinsip efisiensi dalam  prosesnya.
Saya optimistis bangsa Indonesia yang biasa menggunakan  pola pikir ”jalan tengah” akan menemukan formula itu. Dengan demikian,  kita tidak terjebak pada desain dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem  lainnya.
Kacung Marijan Guru Besar dan Pengamat Sosial Politik
Opini Kompas 23 Desember 2010 
22 Desember 2010
Demokrasi Vs Efisiensi
Thank You!