Aroma tak sedap kembali berembus dari Senayan. Ada dugaan bahwa dalam pembahasan sejumlah RUU, terjadi transaksi jual beli pasal.
Aroma tak sedap itu sampai ke publik lantaran beberapa anggota berseteru, saling curiga, dan saling tuduh. Tentu gejala jual beli pasal dalam proses pembuatan UU bukan berita baru. DPR periode sebelumnya pernah terkait skandal serupa dan telah makan korban yang tak sedikit.Jika dugaan itu betul, berarti DPR sekarang jauh lebih berani dari yang sebelumnya: melakukan transaksi berisiko tinggi dan memalukan pada tahun pertama di tengah sorotan keras karena citra dan kinerjanya yang demikian terpuruk. Tiga RUU yang diduga kuat berlumur transaksi adalah RUU Akuntan Publik, RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan RUU Pencucian Uang. Meski sumbernya belum terlacak, aroma tidak sedap itu terasa kian menyengat.
Yang paling disoroti adalah RUU OJK. Dapat dimengerti sebab RUU itu sarat pertarungan kepentingan. Setidaknya ada empat pihak yang berkepentingan: Bank Indonesia, pemerintah, lembaga perbankan, dan lembaga keuangan lain.
Perang kepentingan
Karena pihak-pihak yang berkepentingan langsung adalah kekuatan raksasa, RUU OJK menjadi ajang pertarungan kepentingan tingkat tinggi. Memenangi pertarungan sangat perlu, paling tidak kompromi. Maka, semua kekuatan dikerahkan dan segala strategi diterapkan.
Tiga strategi kerap digunakan dalam pertarungan semacam ini. Pertama, strategi mengulur-ulur waktu. Strategi ini diterapkan agar pembahasan sebuah RUU yang dinilai mengganggu kepentingan sampai pada batas waktu yang tidak ditentukan. Pembahasan RUU OJK telah muncul sepuluh tahun silam dan entah kapan disahkan menjadi UU. Ada juga sejumlah RUU yang tak kunjung dibahas DPR walau setiap tahun selalu ditetapkan sebagai prioritas untuk dibahas.
Kedua, strategi bumi hangus. Terhadap RUU yang membahayakan kepentingan pihak tertentu, berbagai upaya dilakukan agar tak dibahas dan perlahan dihilangkan dari daftar program legislasi nasional.
Strategi ketiga: menitip atau menghilangkan pasal maupun ayat dari RUU, kalau perlu dari UU yang telah disahkan. Kasus hilangnya ayat tembakau dalam UU Kesehatan bukan sekadar persoalan teknis administratif belaka. Perlu diketahui bahwa proses sinkronisasi dan penyelarasan sebuah RUU telah melalui mekanisme yang demikian ketat dan melibatkan para ahli. Agar sebuah UU diteken oleh presiden, diperlukan proses panjang dan melibatkan beberapa institusi. Jadi, mustahil apabila hilangnya pasal atau ayat dalam suatu undang-undang hanya persoalan teknis administratif. Ada kekuatan besar yang merasa terganggu bahkan terancam apabila pasal atau ayat tersebut dipertahankan.
Bagi pihak yang ingin kepentingannya dilindungi, proses pembuatan UU merupakan medan pertempuran yang harus direbut atau dipertahankan habis-habisan. Bila perlu, hingga tetesan darah penghabisan. Konteks pertempuran kepentingan ini sangat dipahami DPR yang berkuasa besar dan mutlak menentukan nasib sebuah UU.
Besarnya kuasa DPR dalam membuat undang-undang menempatkan lembaga itu pada posisi tawar yang demikian tinggi. Godaan melakukan transaksi sangatlah besar. Bergantung pada setiap pribadi anggota. Jika kontrol partai politik lemah terhadap anggotanya, godaan melakukan transaksi semakin besar.
RUU OJK sarat kepentingan. Banyak pihak yang diuntungkan, banyak pula yang terancam. Mereka yang bertarung adalah kekuatan raksasa yang sudah kita kenal. Sulit rasanya bagi salah satu pihak mengalah, apalagi menyerah begitu saja, karena ini menyangkut kekuasaan dan uang yang sangat besar nilainya.
Satu dekade
Mungkin itu sebabnya proses pembahasan RUU OJK selalu tarik ulur, bahkan sejak satu dekade yang lalu. Demikian juga dalam prosesnya sekarang, berbagai alasan dikemukakan DPR untuk menunda atau melanjutkan pembahasan. Tarik ulur proses pembahasan tersebut semakin menguatkan kecurigaan mengenai dugaan terjadinya transaksi kepentingan antara DPR dan pihak yang berkepentingan langsung dengan RUU.
Ada tiga posisi strategis yang dapat dimainkan DPR terkait OJK ini. Pertama, DPR dapat mendorong para pemangku kepentingan berkompromi hingga semua pihak tak merasa menang atau kalah. Kedua, DPR juga bisa memenangkan pihak tertentu dan mengalahkan pihak lain. Kedua pilihan ini tentu punya konsekuensi dan juga harga tertentu. Ketiga, tidak membela kepentingan mana pun, membuat UU yang obyektif dan menyelesaikan persoalan, bukan membuat persoalan baru. Artinya, menolak semua transaksi dalam bentuk apa.
Namun, kabar tak sedap itu telah beredar. Benar tidaknya hanya DPR yang tahu. Citra dan integritas DPR sebagai lembaga terhormat sedang dipertaruhkan. Karena itu, cara yang cukup efektif membuktikan sebaliknya adalah membuka seluruh proses pembahasan RUU—termasuk RUU OJK—secara transparan dan publik dilibatkan dalam berbagai tahap proses pembahasannya. Jika DPR menutup prosesnya dan partisipasi publik dibatasi, DPR layaklah dicurigai mengenai transaksi itu.
Sebastian Salang Koordinator FORMAPPI
Opini Kompas 23 Desember 2010