Pembocoran sejumlah besar dokumen rahasia diplomasi Amerika Serikat oleh situs WikiLeaks bukan hanya menciptakan kekacauan pada politik internal berbagai negara, melainkan juga membawa dampak global yang memberi bukti pada dunia bagaimana planet yang hanya merupakan molekul mini di tengah semesta ini memang hanyalah ruang kecil yang tak lagi menawarkan keleluasaan dan kebebasan—sebagaimana diidealisasi—oleh sebagian besar penghuninya.
WikiLeaks dan Julian Assange mungkin hanyalah satu variabel saja dalam perikehidupan posmodern yang mengusik kewaspadaan kita, betapa hidup manusia tidak lebih panjang dari tali ariarinya. Teknologi yang manusia ciptakan sendiri menyadarkan kita bahwa ruang waktu yang dulu memisahkan kini seperti gugur dalam pengertiannya sebagai jarak. Manusia dan bumi hanyalah kesatuan kecil yang berada dalam nasib sama: memperjuangkan keberadaan dan keberlangsungan spesies atau dirinya.
Menyelamatkan dirinya dari siklus dengan kekuatan tak terpemanai dari semesta, dan yang lebih pahit: dari kedegilan adab manusia itu sendiri. Dalam pengertian ini, sesungguhnya manusia harus mempertanyakan kembali kebudayaan dan peradaban yang telah dibentuknya bersama bila ia hanya untuk memelihara atau memperjuangkan kepentingan sektarian, national interest, atau kebutuhan komunalnya belaka.
Kita harus mempertanyakan kembali tata aturan di segala dimensi yang kita ciptakan bila itu hanya memberi peluang bagi kekerasan, perebutan dominasi, atau sekadar arogansi kelas, yang akhirnya hanya berfungsi mendestruksi kehidupan yang sempit dan sebentar itu. WikiLeaks dan Julian Assange sebenarnya juga menyadarkan kita, dalam adab virtual-informatif ini bentuk-bentuk kekuasaan atau dominasi tradisional dapat dengan mudah lumer oleh kekuatan baru yang soft sifatnya: diseminasi informasi secara virtual.
Sesungguhnya kenyataan itu sudah terbukti jauh hari sebelum Assange meluncurkan situs penuh heboh itu. Terjadinya perubahan-perubahan besar dari tingkat politik, ekonomi, hingga sosial-kultural di wilayah Balkan hingga pecahnya Uni Soviet sudah ditengarai oleh banyak kalangan sebagai efek dari berlangsungnya adab baru dunia itu. Begitupun dalam level tertentu, perubahan sangat signifikan dari China menjadi kekuatan alternatif dunia di luar AS dan Rusia, juga karena tak terelakkannya pengaruh dari komunikasi dan informasi virtual pada cara mereka hidup, berpolitik, atau berekonomi dari negeri itu.
Negara-negara yang tidak, lamban, atau gagal memahami level keadaban ini akan terjebak dalam keterpaksaan-keterpaksaan multidimensional yang tercipta sebagai akibat rekayasa teknologi virtual ini. Data adalah kekuasaan. Siapa yang menggenggamnya, dan menguasai perangkat keras serta lunak untuk diseminasinya, adalah dia yang lebih menentukan ke mana hidup (diri dan pihak lain) harus dilangsungkan.
Adalah sebuah kecelakaan adab (civilization fallacy) yang berulang jika kekuatan atau kekuasaan data itu dikangkangi oleh satu pihak tertentu. Karena itu, demokratisasi informasi harus menjadi norma global supaya tatanan hidup baru bisa dirumuskan secara sinergis oleh semua pihak di dunia, tidak lagi menggunakan skema dominan-subordinat yang secara tradisional mendekam dalam pikiran kita.
Skenario Tersembunyi
Mungkin sebuah kebetulan, bisa jadi tidak, bila “korban” utama dari distribusi data ala WikiLeaks ini adalah kekuatan paling super di bumi, Amerika Serikat. Dengan begitu, pukulan hook yang keras itu bisa menjadi killing punch bagi negeri yang dianggap sisa dunia memiliki arogansi bahwa “akulah pengurus dunia dan dunia harus berurusan denganku”. Pukulan itu jika tidak ke bawah dagu, ia meninju ulu hati kebijakan intelijen dan luar negeri AS yang selalu memiliki premis subjektif bahwa ia harus dan mampu mengurus kepentingan dan persoalan apa pun bangsa-bangsa di bumi ini.
Tapi, fakta yang dibuka WikiLeaks membuktikan, bukan saja AS tidak mampu mengurus semua persoalan, melainkan ia malah mengeruhkan persoalan atau bahkan menciptakan persoalan baru. Tidak mengherankan bila reaksi yang muncul hampir umumnya menentang, menolak, diam seribu bahasa, atau bahkan menuding pejabat-pejabat AS melakukan fitnah, campur tangan, berkhianat, dan sebagainya.
Spekulasi, seperti biasanya muncul dalam kehebohan macam ini, beredar tentang apa tujuan, siapa sasaran, atau pihak mana saja yang bermain dalam pembocoran rahasia diplomatik yang cukup gigantik ukurannya ini. Sejak dunia intelijen modern tumbuh dan kekuatan informasi terbukti, berbagai pihak dunia tidak lagi dapat bersikap pasif dan naif dalam menyikapi semua gejala yang mengglobal sifatnya. Bahwa data yang tercuat selalu menyimpan layar demi layar data lain di baliknya.
Bila seorang komentator politik ternama AS, Glenn Beck, dengan tegas menyampaikan teori konspirasi antara Assange dan George Soros, tidak terhindar bila berbagai pihak lainnya juga memiliki spekulasi skenarionya sendiri-sendiri. Ada sementara pihak yang berpendapat, konspirasi dua tokoh itu mungkin terlalu kecil, tapi tujuan yang digambarkannya justru lebih mungkin.
Dunia dibuat menjadi kacau sehingga setiap pihak/ bangsa bukan lagi ragu pada kebijakan atau diplomasi pihak lain, baik lawan maupun kawan, tapi juga rancu pada kebijakan dan diplomasinya sendiri. Kerancuan dan kekacauan seperti ini tentu saja akan menimbulkan syak wasangka dan hubungan yang dibalut penuh kecurigaan. Kewaspadaan meninggi sehingga tensi pun meningkat dan potensi konflik atau kekerasan menjadi laten serta sangat mudah diinsinuansi.
Situasi seperti ini dapat dibayangkan akan menciptakan keuntungan yang luar biasa,justru pada “korban” utama dari WikiLeaks ini: AS. Secara politis setidaknya, negara-negara di dunia akan lebih bergantung pada AS karena akses, kepemilikan, dan kemampuan teknologisnya pada data tak tersaingi.
Begitu pun jaringan diplomasi serta intelijennya. Secara ekonomis, kekacauan ini bisa menjadi stimulus terciptanya ketegangan regional bahkan internasional, yang dapat menjadi momen bagi AS untuk menciptakan guncangan ekonomi, setidaknya sama parahnya dengan kondisi dalam negerinya.
Dalam bagian lain bisa memberikan profit, psikologis maupun material, bagi AS, setidaknya dalam perang kurs yang menghebat belakangan ini, terutama kepada China. Permainan ini, semoga tak benar, sungguh penuh risiko, karena manusia –sekali lagi—bertindak untuk menzalimi dan membahayakan planet kecil tempatnya ia hidup ini.
Data Mental
Pada akhirnya, apa pun skenario tersembunyi di balik heboh WikiLeaks, kita kembali pada kesadaran bahwa akhirnya ia akan tersingkap. Inilah pelajaran penting juga untuk Indonesia. Banyak sekali kesalahpahaman, benturan, hingga kekerasan karena sebagian dari kita beranggapan pentingnya sebuah informasi –yang menyangkut publik— disembunyikan atau dibiarkan misterius.
Dalam kehidupan politik dan bisnis terutama, informasi disimpan untuk dijadikan arsenal untuk menjatuhkan lawan atau pesaing. Munculnya polemik soal pilkada, sengketa hukum para petinggi, atau masalah keistimewaan Yogyakarta, misalnya, juga ditandai oleh minimnya informasi yang dipertukarkan secara jujur, terbuka, dan egaliter. Kita tak bisa lagi menyerahkan diri pada waktu atau sejarah untuk menentukan hingga kapan informasi itu dapat disimpan.
Waktu dan ruang dalam hal ini sudah ditundukkan oleh virtualitas komunikasi kita. Semua pihak harus jujur atau ia akan terluka karena pembocoran yang dilakukan “WikiLeaks” lainnya. Dan satu hal penting dalam kasus khas di negeri ini: walau informasi virtual itu sifatnya lunak (soft), data yang diangkutnya bersifat keras (hard). Karena ia konkret dan terukur, dalam arti lain termaterialisasi.
Sementara negeri ini, di tingkat internal manusianya, memiliki data yang juga bersifat lunak, yakni data mental atau batin.Data yang tentu saja tidak diperhitungkan oleh rasio dan tak dapat dimediasi oleh media-media virtual. Namun dalam kenyataannya, data dalam bentuk dan sifat inilah yang sebenarnya menjadi faktor kunci dari keberhasilan sebuah komunikasi, bahkan sebuah keputusan atau kebijakan.
Akan menjadi kegagalan bahkan kesalahan yang disayangkan bila usaha elit atau penguasa memahami manusia atau masyarakat Indonesia hanya dengan menggunakan data statistikal atau digital. Karena masih umum di masyarakat Indonesia, menggunakan retorika logis atau semantik,hanya untuk menutupi realitas (data) mentalnya. Itulah alasan, mengapa sebaiknya, sebagai contoh, Sultan HB X dan Presiden SBY harus bertemu dan bicara, hati ke hati.(*)
Opini Okezone 23 Desember 2010
22 Desember 2010
Di Balik Rahasia WikiLeaks
Thank You!