22 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Perempuan Berdaya Memberdayakan

Perempuan Berdaya Memberdayakan

Menteri Perindustrian mengatakan, kalau saja industri kita maju tak perlu lagi ada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Seperti mengikuti pendapat Lorimer (1963) maupun Karl Marx, kemakmuran suatu negara akan terbangun, bila negara mampu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Tenaga kerja produktif menurut faham Marxis, akan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduk. Penderitaan manusia bukan terjadi karena ledakan jumlah penduduk, melainkan karena distribusi pendapatan yang tidak merata ditambah berbagai kepincangan yang terjadi di sana sini dalam tatanan pemerintahan negara.
Lalu, mengapa lebih dari lima juta perempuan Indonesia terbang ribuan kilometer melintasi lautan dan benua, hanya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan yang sangat berisiko serta tanpa memiliki aturan yang jelas akan hak-hak hukumnya? Ribuan orang yang gajinya tak dibayar, ratusan orang meninggal atau cacat, setelah mengalami penyiksaan dan demikian banyak kabar duka lara tentang mereka. Duka para perempuan yang demi keluarganya, berani menempuh risiko seberat apa pun tanpa gentar dan tanpa ragu.
Kita mungkin baru sadar akan keberadaan mereka, kaum perempuan yang demi masa depan keluarganya, rela menempuh segala risiko, meskipun orang memberinya cap sinis sebagai pahlawan devisa. Gelar yang sama kepada guru yang sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Barulah kita terhenyak ketika mendengar Sumiati, perempuan asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang disiksa sampai mengalami cacat permanen, atau ketika media massa mengabarkan kematian Kikim Komalasari dari Cianjur. Sepertinya berita terakhir ini menyentak dan menjadi erupsi kegelisahan yang meledak-ledak di tengah kaldera persoalan bangsa yang tengah dilanda kemiskinan. Kita berharap permasalahan ini ditangani secara serius terutama oleh pemerintah agar jatuhnya korban bisa diminimalisasi.
Baiklah, sementara ini pemerintah sedang berjuang keras menyelesaikan ragam kasus TKI ini sampai tuntas, termasuk membuat produk undang-undang yang bisa lebih melindungi mereka baik di luar maupun di dalam negeri. Namun, marilah kita ulangi pendapat bijak tadi bahwa tak perlu ada TKI kalau industri kita maju, karena kemakmuran suatu negara akan terbangun bila negara mampu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia.
Konsumerisme
Mungkin saja dengan bekerja ke Timur Tengah atau ke negeri tetangga, kehidupan bisa sedikit berubah. Namun, itu sifatnya sementara. Uang hasil kerja mereka kalau tidak bisa dikelola dengan kemampuan daya yang ada pada setiap individu dalam keluarga, justru akan melahirkan sifat-sifat konsumerisme akibat cita-cita masa lalu yang terpendam. Para TKI ini biasanya terlebih dulu membelanjakan uang gajinya selama dua tahun untuk membangun rumah, membeli perabotan rumah, atau sepeda motor. Baru sebulan mereka kembali dari luar negeri, mereka sudah kehabisan bekal dan kembali miskin. Artinya, menggalakkan mereka untuk bekerja di luar negeri, bukanlah solusi yang baik bagi masa depannya.
Persoalannya bukanlah kemiskinan. Sebab, kemiskinan itu alami. Pasangan dari kaya itu ya miskin. Selalu ada orang kaya dan orang miskin. Di negara maju sehebat Amerika Serikat atau Inggris pun masih ada gelandangan atau tunawisma. Sesungguhnya, benang merah persoalan bangsa ini adalah bagaimana agar anak bangsa ini memiliki kualitas keberdayaan.
Jadi, hal yang paling mendasar adalah kalau investasi industri kita belum maju, yang harus kita lakukan adalah agar sumber daya manusia di negeri ini mampu menciptakan lapangan industri yang bisa menampung keberdayaan sebagai sumber kemajuan bangsa. Tanpa harus berpikir pendidikan, keterampilan atau permodalan yang kadang-kadang menjadi pertanyaan tanpa jawaban. Pendidikan formal saja sampai saat ini belum mampu menciptakan tenaga terampil, yang bisa diterima dengan mudah oleh pasar kerja. Mereka hanya dididik untuk menerima ijazah dan tentu bisa bersaing di pasar kerja.
Sementara itu, pemerintah dengan program-program pengentasan kemiskinannya belum bisa secara optimal menciptakan industri yang berdampak bpada penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja. Sesungguhnya kita harus mencari energi alternatif bagaimana agar perempuan Indonesia yang minus pendidikan dan ketrampilan bisa diberdayakan sebagai pencipta industri serta pencipta lapangan kerja di lingkungan mereka.
Memberdayakan
Berdaya memberdayakan adalah upaya menjadikan kaum perempuan meninggalkan ketergantungan dirinya pada kaum pria. Dalam lingkungan keluarga, dia bahkan bisa balik memimpin suami dan anggota keluarga lainnya. Dan ini bukan tak mungkin. Terlalu banyak contoh yang bisa disajikan.
Sebut saja Tuminah, warga RT 015 RW 02 Kampung Rawa Palangan, Kelurahan Telaga Murni, Cikarang Barat, Bekasi. Dia hanyalah mantan buruh pabrik di salah satu pabrik boneka di kawasan Bekasi Barat. Tujuh tahun Tuminah bekerja di pabrik tersebut. Setahun sebelum krisis ekonomi melanda, Tuminah keluar. Dia membuat sendiri boneka dan menjualnya ke pasar tradisional. Awalnya, dia hanya menjual ke pasar lokal di Cibitung dengan produk hanya satu sampai dua kodian. Namun, karena boneka itu dibuat dengan bahan baku dan pola pembuatan yang sama dengan pabrik asalnya, boneka itu tampak bagus dan berkualitas sehingga laris manis di pasaran. Akhirnya, Tuminah pun mampu mengembangkan usahanya. Setelah 10 tahun berjalan, ia bisa mengirim bonekanya ke Jakarta, Solo, Bandung, Surabaya, bahkan sampai ke Lombok dan Kalimantan. Kini, di rumah produksinya ada 50 perempuan tetangganya yang ikut bekerja.
Contoh lainnya, Euis dari Conggeang Kulon, Sumedang. Euis mulai merintis usaha penjualan opak dengan modal dua liter beras ketan dan mencoba titip konsinyasi opak di beberapa rumah makan di Conggeang. Selain ke rumah makan besar di kota Sumedang, ia juga mencoba ke sentra penjual oleh-oleh khas daerah. Usaha itu menampakkan hasil yang bagus. Ketika kemudian ditawarkan juga ke supermarket di Bogor, Subang, dan Garut, pesanan ternyata lumayan banyak. Satu supermarket rata-rata memesan sampai 1.000 bungkus per minggunya.
Untuk mengolah satu kwintal beras ketan per hari dibutuhkan 20 sampai 25 pekerja. Dua di antaranya pria untuk tugas menumbuk ketan sampai lembut. Dalam seminggu diperlukan minimal empat kwintal beras ketan berkualitas. Kerja keras Euis terwujud. Ia membuka ruang usaha yang cukup luas. Usaha yang kecil ini ternyata bisa menjadi besar kalau ada kemauan. Melalui eksportir di Bandung, opak buatan Bu Euis ini bahkan bisa diekspor mencapai negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Dua contoh kecil yang kami kutip dari buku "Perempuan Inspiratif Jawa Barat" ini mungkin bisa menginspirasi kita semua, terutama kaum perempuan bahwa untuk menjadi besar bekalnya adalah tekad yang kuat, kemauan, dan kemampuan, serta selalu dimulai dari yang kecil-kecil dulu.
Rasanya kita tak perlu menunggu industri besar maju dulu untuk mencegah eksodus tenaga kerja kita ke luar negeri, tetapi yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita mengawal kaum perempuan untuk berdaya memberdayakan dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Dengan bimbingan, toh mereka bisa maju dan berkembang menciptakan industri sekaligus menciptakan lapangan kerja secara mandiri.***
Penulis, praktisi pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana tinggal di Bandung.

Opini Pikiran Rakyat 23 Desember 2010