Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani sejagat merayakan Natal, kelahiran Yesus Kristus, yang menjadi pusat hidup umat Kristiani.
Apa yang masih bisa direnungkan dari peristiwa ini dalam konteks kehidupan sosial-politik zaman ini?
Empati Natal! Dua kata itu yang saat ini memiliki signifikansi dan relevansi untuk diwujudkan dalam konteks kehidupan bersama. Kata empati, dalam bahasa Inggris empathy, menurut The Oxford English Dictionary merupakan kemampuan untuk mengindentifikasi diri secara mental dengan seseorang dan mengetahui perasaan-perasaannya.
Adalah Jeremy Rifkin, pendiri dan presiden The Foundation on Economic Trends dalam bukunya The Emphatic Civilization: The Race to Global Consciousness in a World in Crisis (Tarcher/Penguin: Januari 2010) menegaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah manusia empatik, homo emphaticus! Dalam masyarakat yang majemuk dan hidup dalam pluralitas, tak ada jalan lain untuk menghayati kebersamaan yang lebih baik kecuali dengan mewujudkan empati dalam kehidupan bersama.
Solidaritas
Empati tak sekadar belas kasih. Lebih dari itu, empati adalah solidaritas dengan sesama dan semesta. Solidaritas tak sekadar menyentuh kehidupan manusia, tetapi juga alam semesta. Solidaritas tak hanya bersifat sosial, melainkan juga ekologis!
Demikian pun dengan empati. Menarik yang direfleksikan oleh Albert Nolan dalam bukunya yang berjudul Jesus Today, A Spirituality of Radical Freedom (2009: 242) tentang empati. Menurutnya, empati lebih luas dari belas kasih. Kita digerakkan belas kasih bagi mereka yang menderita. Namun sesungguhnya, empati juga kita arahkan kepada mereka yang tidak sedang menderita!
Singkatnya, kita menderita bersama mereka yang menderita. Kita juga bergembira dengan mereka yang bergembira. Dalam empati, kita mengasihi bersama mereka yang mengasihi, juga menangis bersama mereka yang menangis. Dalam empati, kita berjuang bersama mereka yang berjuang!
Kunci dari empati adalah hati dan perasaan. Kita merasakan perasaan mereka karena mereka adalah pribadi-pribadi yang berperasaan seperti kita juga. Kita prihatin (hati yang perih, merasakan kepedihan) bersama mereka yang sedang tertimpa penderitaan.
Terdorong oleh empati, kita merasakan penderitaan mereka yang lapar, yang tidak mempunyai tempat tinggal, yang menganggur, para korban pelecehan dan eksploitasi, yang sakit dan sekarat, mereka yang kesepian dan para tawanan. Empati menggerakkan kita untuk berbelarasa dengan mereka yang terpinggirkan, tertindas dan terabaikan!
Berbagi
Empati mendorong kita untuk bukan hanya terlibat dalam sentimentalisme dan romantisme melankolik bagi mereka yang menderita, melainkan melangkah maju dalam praksis berbagi! Seiring dengan kesadaran bahwa solidaritas antarumat manusia perlu dirajut dari hari ke hari, juga dengan mereka yang berbeda dari kita, kita diajak untuk mengarahkan semua yang kita lakukan dan kita katakan demi terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune).
Paradigma dan semangat berbagi secara verbal terungkap dalam pernyataan: yang terbaik bagi setiap orang adalah yang terbaik pula bagiku dan dalam hidupku. Justru karena itulah, tak ada pilihan kecuali melakukan yang terbaik untuk kepentingan dan kebaikan bersama dalam kehidupan sehari-hari.
Semangat berbagi tak hanya dalam hal-hal yang bersifat material dan ekonomis, tetapi juga dalam hal mewujudkan yang baik, menjaga keutuhan semesta, memelihara kerukunan, persatuan dan hidup yang harmonis di tengah keberagaman. Semangat berbagi tertuju kepada yang di luar diri kita, demi kebaikan bersama.
Persis itulah pokok penting dari Natal perdana! Kelahiran Yesus Kristus di tengah dunia adalah untuk mewujudkan empat dalam solidaritas dan semangat berbagi. Itulah sebabnya dalam karya dan pelayanan publik-Nya nanti, setelah Ia menjadi dewasa, cita-cita yang hendak diwujudkan-Nya adalah mendorong semangat berbagi.
Bahwa Ia berkenan dilahirkan di tempat yang tidak mewah, bahkan cenderung kesrakat dalam kemiskinan adalah wujud awal penghayatan empati, solidaritas dan semangat berbagi yang di kemudian hari menjadi salah satu ciri karya pelayanan-Nya. Ia merasakan penderitaan mereka yang telantar, terabaikan dan tertindas.
Tentu saja semangat berbagi tak sekadar sikap dermawan, melalui derma dan sedekah! Semangat berbagi bukan hanya kerelaan memberikan kepada kaum papa miskin dari kelimpahan kita sendiri, melainkan juga kerelaan memberikan bahkan dari kekurangan dan keterbatasan kita.
Semoga perayaan Natal di Tanah Air yang sedang tertimpa banyak bencana, banjir di Wasior, gempa dan tsunami di Mentawai, letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, DIY, Kabupaten Boyolali dan Magelang, Jawa Tengah; juga berbagai bencana sosial-politik di negeri ini dalam upaya mewujudkan kerukunan, keadilan dan kesejahteraan; semakin sejati dalam empati Natal perdana! Dengan demikian empati Natal pun diwujudkan sebagai upaya semakin menjadi berkat bagi sesama dan semesta!
Kita memang harus banyak belajar dari para relawan dan dermawan, yang dengan tulus ikhlas, spontan, tanpa rekayasa dan tanpa pretensi pencitraan diri, telah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan perhatian untuk berempati dengan para korban bencana. Mereka telah merepresentasikan dan mewujudkan identitas mereka sebagai masyarakat warga yang berempati, solider dan berbagi dengan yang menderita. Selamat Natal 2010! - Oleh : Aloys Budi Purnomo Pr Budayawan Interreligius Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Keperca&
Opini Solo Pos 23 Desember 2010
22 Desember 2010
Mewujudkan empati Natal
Thank You!