30 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Lapangan Kebenaran Agama

Lapangan Kebenaran Agama

Ketika agama dikaitkan dengan kebenaran, biasanya orang akan mengatakan agamanyalah yang paling benar. Lalu ketika agama dikaitkan dengan Tuhan, orang juga akan mengatakan bahwa Tuhannyalah yang paling benar. Sekalipun agama atau Tuhan memiliki dan menganjurkan pesan perdamaian, apresiasi kata kebenaran (the truth/al-haq) seolah-olah telah menyimpang dari pesan tersebut.
Mungkin banyak peperangan yang terjadi di muka bumi ini karena klaim kebenaran yang dilakukan manusia. Pertentangan Islam dan Kristen sepanjang sejarah manusia, juga terjadi akibat klaim kebenaran. Sekalipun ada, eksistensi kebenaran itu sendiri lebih terlihat abstrak, yang karena itu melahirkan tekstualisasi kebenaran. Namun, ketika tekstualisasi tersebut terlihat berbeda maka makna yang dikandung dalam kata kebenaran itu menjadi tidak ada alias nihil.
Memaknai kebenaran dalam lapangan agama, mengharuskan kita memaknai "makna" kebenaran itu sendiri. Dalam hal ini, sudut-sudut bahasa yang mewakili kebenaran perlu dikaji—misalnya—secara semantik. Mengacu teori referensial, jelas tidak akan didapatkan apa makna kebenaran. Tetapi pada teori behavioral, makna kebenaran bisa terlihat dalam realitas sosial.
Pada teori pertama, makna kebenaran bersifat semu. Alasannya, karena teori ini mensyaratkan "benda" yang diacu dari kata kebenaran. Sedangkan pada teori kedua, makna kebenaran juga bersifat ambigu. Alasannya juga karena behavioral berhubungan dengan konsep kebenaran dalam kondisi dan situasi. Satu sisi teori referensial menghubungkan kebenaran dengan bukti-bukti empirik, sementara sisi behavioral menghubungkan kebenaran dengan bukti-bukti sosiologis.
Pada teori pertama, sudut kebenaran suatu kata harus berhubungan dengan segi tiga makna; ada benda, ada kata dan ada makna. Sementara pada kata “kebenaran”, ia sama sekali kosong dari "bendanya". Namun, pada teori kedua, sudut kebenaran suatu kata, sangat berhubungan dengan kondisi sosial. Pada teori ini, makna kata “kebenaran” akan menjadi berbeda dengan unsur-unsur pelaku, waktu dan peristiwanya.
Untuk memahaminya, kita perlu contoh riil penggunaan konsep kebenaran suatu kata dalam dua teori ini. Mengacu pada teori pertama, makna semu kebenaran yang ada, dapat menjadi hilang jika acuan yang dipakainya ada dan terbukti secara nyata. Kata-kata seperti keadilan, keindahan dan kezaliman, adalah semu dalam teori ini. Bahwa menurut saya indah, menurut orang lain mungkin tidak. Bahwa menurut orang adil, mungkin menurut saya tidak.
Teori seperti ini di kemudian waktu melahirkan proses sinonim dan antonim suatu kata. Proses ini pada galibnya hanyalah "legitimasi" suatu kata terhadap kata lain. Kalau "indah" tidak dapat dipakai pada suatu lukisan, mungkin “baik” sudah dianggap cukup. Sementara “adil” diterima, maka ia akan dilawankan dengan "zalim". "Legitimasi" seperti inilah yang membingungkan kita ketika memaknai kebenaran.
Dalam bidang agama, "legitimasi" kerap digunakan untuk menyokong konsep-konsep kebenaran dan pembenaran suatu kata. Istilah halal, misalnya, dilegitimasi melalui antonim haram. Sementara istilah amal saleh, dilegitimasi dengan sinonim perbuatan baik. Dapat ditebak, apa yang terjadi ketika istilah halal pada Ajinomoto diantonimkan dengan istilah haram. Lalu pada perbuatan baik Amerika Serikat disinonimkan dengan amal saleh.
Dalam lapangan sosial, "legitimasi" juga dipakai dalam kosakata kehidupan masyarakat. Istilah KKN yang disinonimkan dengan kata membantu, akan sama pengaruhnya pada istilah turun yang kemudian diantonimkan dengan naik pada kasus listrik, air, telepon, dan sembako. Legitimasi bahasa—jika istilah ini diterima—adalah pembenaran konsep-konsep pengetahuan dan keyakinan manusia. Dus, legitimasi bahasa adalah "rekayasa" manusia.
Ketika rekayasa itu dilakukan, tujuan yang tampak adalah usaha pembenaran. Sayangnya, unsur yang sangat berperan dalam usaha ini adalah emosi, bukan rasio. Emosilah yang mendorong manusia melakukan pembenaran dalam bahasanya. Jika emosi sudah mengemuka, peranan rasio dipastikan menjadi hilang. Karena itu pula, keberpihakan terhadap mana yang benar dan mana yang salah, mendominasi keberurutan antara apa yang benar dan apa yang salah.
Lingkup mana yang benar dan mana yang salah—yang mungkin paling rentan—terjadi dalam lapangan agama. Intensitas pemaknaan istilah-istilah agama, lebih mendorong munculnya kelompok dan gerakan keagamaan yang berat sebelah; menerima kebenaran kelompoknya dan menolak kebenaran (biasanya dianggap kesalahan) di luar kelompoknya. Pada kondisi ini, pemaknaan kaum keagamaan lebih cenderung bersifat emosional, bukan rasional.
Kecenderungan seperti ini tidak jauh beda dari frame pemikiran yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Dominasi emosi, dipastikan akan membuat gerakan (bukan sekadar pemikiran) yang ekstraaktif. Secara negatif, kita boleh mengistilahkannya dengan difensif atau anarkis. Hanya saja, bila gerakan keagamaan sudah dikerangkai sisi negatif seperti ini, dipastikan “rekayasa” bahasa di dalamnya akan terjadi berulang, bergenerasi.
Akan tumbuh generasi mendatang yang cenderung kepada "legitimasi" bahasa untuk mendukung kebenarannya. Seperti juga akan datang masyarakat yang terbiasa melegitimasi perilakunya dengan rekayasa bahasa. Bahwa saat ini pembohongan bahasa sudah menjadi pemandangan umum dalam catur politik, logika pembangunan bahkan statistik ekonomi. Sedih kalau kondisi itu sudah mewabahi negeri ini.
Sebab itulah, memaknai kebenaran perlu dilakukan dalam dua cara; pertama, dilakukan dalam norma praktis dan aksiologis agama atau ilmu. Cara ini diyakini akan menuntun manusia kepada signifikansi bahasa agama dan ilmu. Kedua, dilakukan dalam relativitas ukuran dan jenis. Cara ini dapat membawa pada sikap objektif sesuai dengan lapangan yang dipakai dalam bahasa.
Memaknai kebenaran dengan demikian tidak membuat orang mengatakan keburukan. Bahwa ada orang lain yang bisa benar dan salah, pada akhirnya membuat pemaknaan bahasa menjadi tidak memihak dan berat sebelah. Seperti Albert Einstein, ia mengakui bahwa 99% gagasan dan kesimpulannya adalah salah.

Opini Lampung Pos 31 Desember 2010