30 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Menggali Etika Bertahun Baru

Menggali Etika Bertahun Baru

DALAM wawancara di sebuah infotainmen seorang artis mengungkapkan rencananya bertahun baru. Dia bilang, ”Aku ingin bersenang-senang di atas yacht untuk menyambut tahun 2011.’’ Artis lain menyatakan,’’Ah, saya lewatkan secara sederhana saja. Paling pilih hotel di Jakarta, cukup beli tiket lima juta rupiah sudah bisa menikmati pergantian tahun dengan gembira.’’

Apa yang bisa dipetik dari kalimat-kalimat para artis itu? Setidaknya mereka ingin menunjukkan kepada publik bahwa orang selevel mereka layak untuk bertahun baru dengan acara mewah. Bersenang-senang di atas yacht atau beli tiket Rp 5 juta merupakan hal biasa mengingat penghasilan mereka memang besar. Tetapi, bagi kebanyakan orang, apalagi kian banyak yang dililit kesulitan hidup, hal itu merupakan kemewahan.

Dilihat dari sudut etika, apakah bermewah-mewahan saat banyak orang terkena musibah merupakan kepantasan? Di sini berfungsi sebagai alat pengukur adalah etika kepantasan. Rasanya hura-hura di tengah bangsa yang tertimpa berbagai malapetaka merupakan sesuatu yang tak pantas. Ini yang patut diingat, selama 2010 bangsa ini terus ditimpa bencana, mulai banjir bandang Wasior, erupsi Merapi, gempa Mentawai, erupsi Bromo, banjir di beberapa daerah, longsor, bencana Petarukan,  dan ragam bencana lain. Layakkah berhura-hura untuk menutup tahun bencana?

Persoalannya, bagaimana bisa tahu sesuatu hal itu pantas atau tidak? Untuk itu seseorang layak membangun imajinasi sosiologis. Istilah imajinasi sosiologis dikenalkan oleh C Wright Mills (ketika menulis The Sociological Imagination). Sebenarnya istilah ini lebih ditujukan kepada ilmuwan sosial yang ‘’diwajibkan’’ membangun suatu imajinasi sosiologis supaya dapat melihat segala sesuatu secara baru. Namun begitu, masyarakat pun selayaknya membangun imajinasi sosiologis itu demi mengasah kepekaan lingkungan.

Dalam konteks bertahun baru, imajinasi sosiologis itu bisa digunakan. Misalnya, ketika meniup terompet tahun baru, seseorang teringat kepada pembuat terompet itu. Betapa keras kehidupan seorang penjual terompet demi keuntungan yang sesungguhnya tidaklah besar. Penjual itu musti meninggalkan kampung halaman, kemudian menggelandang dari satu emper toko ke emper lainnya.  Maka, saat bergembira meniup terompet tahun baru, saat itu jadi teringat bahwa ada orang yang lebih susah. Dari sini muncul tindakan untuk menahan diri. Boleh bergembira tetapi tak bisa berlebihan, karena tak pantas di hadapan orang-orang yang sedang susah.

Nilai Simbolik

Pendeknya, ketika bermaksud bersenang-senang untuk mengekspresikan kegembiraan menyambut tahun baru, imajinasinya berkeliaran kepada orang-orang kecil yang notabene kebanyakan dalam kondisi susah. Sampailah dia menemukan sebagian masyarakat yang sedang berduka akibat bencana, seketika pula dia mengambil keputusan untuk membatalkan ekspresi kegembiraannya lalu memilih berdiam diri sembari berdoa.

Imajinasi sosiologis akan meyakinkan seseorang bahwa merayakan pergantian tahun secara mewah bukan lagi gaya hidup. Kata David Chaney (1996), gaya hidup itu merupakan ciri sebuah dunia modern. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan tindakan antara seseorang dan orang lain. Gaya hidup menyingkirkan nilai fungsional, tetapi lebih mengedepankan nilai simbolik. Orang bergaya hidup tinggi, lebih mementingkan nilai simbolik ketimbang fungsional.

Untuk sebuah alat transportasi misalnya, jika memperhatikan nilai fungsional maka cukuplah mobil seadanya. Tetapi demi simbol, dipilihlah mobil mewah termahal. Begitupun dalam merayakan pergantian tahun, sebenarnya bermakna introspeksi, tetapi yang terjadi justru mengumbar simbol.  Imajinasi sosiologis mengingatkan seseorang bahwa perayaan pergantian tahun  bukan demi simbol.

Karena itulah, sekali lagi, kalau banyak orang memiliki imajinasi sosiologis maka pergantian tahun lebih diprioritaskan untuk kontemplasi, mengukur yang lalu dan merancang ke depan. Optimisme dibangun dengan doa. kalaupun ”terpaksa”, mereka yang ingin merayakan pergantian tahun, lebih memilih sembunyi-sembunyi ketimbang lantang memberi kabar jauh sebelumnya. Alasannya sederhana  karena harus menjaga perasaan orang-orang yang tengah prihatin. (10)

— Toto Suparto, pengkaji etika di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Yogyakarta


Wacana Suara Merdeka 31 Desember 2010