“HIDUP bergerak ke depan, namun ia hanya bisa dipahami saat Anda melihatnya dari belakang.” Itulah pepatah lama yang mungkin pernah Anda dengar. Dan seperti yang saya lakukan setiap tahun, banyak pembaca yang memilih berefleksi pada dua-tiga hari ini, penutup sekaligus pembuka tahun.
Tahun-tahun yang penuh kesibukan dengan perubahan yang begitu cepat sekaligus kompetisi yang dinamis telah membuat banyak kesibukan. Orang-orang Barat selalu menyatakan, “Time is money,” “Milikilah ambisi,” dan “Berfokuslah.” Dengan demikian, Anda bisa meraih masa depan. Tetapi di Timur, kita selalu diajarkan pentingnya hidup harmoni, selaras, dan seimbang. Silaturahmi, respek pada leluhur, orang-orang tua atau yang dituakan. Saya pikir hanya gabungan dari keduanyalah yang akan menghasilkan daya kekuatan.
Untuk itulah, refleksi akhir tahun menjadi penting. Saya memilih berefleksi di Republik Arab Suriah. Setelah menempuh perjalanan darat dua jam dari Beirut, tinggal di kota tertua dunia, Damaskus. Inilah negeri yang dulu diceritakan di kitab suci sebagai tanah yang subur, hijau, penuh keindahan, dan tempat di mana nabi-nabi besar dan orang-orang suci singgah.
Ayub, Yahya (Yohanes Pembabtis), Isa (Yesus Kristus), Muhammad, Santo Paulus, dan Saladin. Di samping para khalifah dan para orang suci yang namanya banyak dicatat dalam sejarah. Inilah negeri, di mana suara azan bersaut-sautan dari sejumlah masjid, dalam irama harmoni, yang sesekali diselingi dentang lonceng gereja dari beberapa sudut jalan.
Pintu Gunung Karang
Setiap jengkal tanah Suriah meninggalkan jejak sejarah. Pertempuran, perlindungan, hingga pengalaman spiritual. Setiap perilaku para pemimpin masa lalu selalu tercatat dan menjadi pembelajaran bagi generasi sekarang. Nama-nama para pemimpin, yang memimpin baik maupun buruk, selalu disebut setiap kali kunjungan diadakan. Realita dan legenda menyatu, menjadi warisan peradaban manusia.
Di Ma’alula, saya bertemu komunitas Arab yang masih fasih berbahasa Aramaik, yaitu bahasa kuno yang dulu dipakai Yesus Kristus. Bahasa itu masih dipakai oleh sekitar 3.000 penduduk Aramaik yang diajarkan secara lisan turun-temurun dan di rumah-rumah ibadah sebagai bahasa doa. Ma’alula berarti “pintu masuk.” Melewati mata air kecil yang mengalir jernih, menembus sebuah bukit karang besar, saya menemukan sebuah jalan berbatu yang dialiri air dari mata air tersebut.
Berjalan menembus gua-gua batu akan mengantar kita pada Biara St Takla yang didirikan di atas bukit batu dan digunakan oleh umat dari berbagai agama untuk berdoa. St Takla adalah termasuk orang suci generasi pertama yang diakui gereja. Suara orang berdoa, mirip suara azan sayup-sayup terdengar dari sembilan gereja di beberapa sudut bukit. Diiringi dentang bel gereja dan sesekali suara azan dari salah satu masjid berkubah hijau di Ma’alula. Muslim dan Kristen-Katolik sama-sama datang untuk berdoa dalam hening.
Semua orang datang mencari kedamaian. Kaum Kristiani Suriah yang jumlahnya hanya sekira 15 persen dari penduduk yang mayoritas Muslim dapat mendapatkan kebebasan beragama tanpa masalah.Tak ada gereja digusur, apalagi dibakar. “Itu benih keributan dan perang saudara,” ujar Jamal yang berayah Indonesia dan beribu dari Mesir dan sejak kecil dibesarkan di Suriah. “Kalau itu terjadi, negara pasti segera bertindak. Kita semua hidup biasa berdampingan.”
Di pintu masuk kota lama Damaskus saya menemukan salah satu cerita lain yang tak kalah penting. Di Masjid Ummajah ada makam yang konon berisi kepala St Yohanes Pemandi yang dalam agama Islam dikenal dengan nama Yahya. Anda mungkin bertanya, mengapa makam Kepala St Yohanes Pemandi ada di dalam bangunan masjid? Alkisah, dulu bangunan ini adalah gereja.
Ketika Islam masuk, Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang menjadi penguasa di Damaskus berniat membangun sebuah masjid besar. Alih-alih membangun masjid baru, dia malah membangun empat gereja tak jauh dari gereja besar yang ada makam St Yohanes Pemandi itu. Dia lalu mengajukan tawaran kepada kaum Kristiani di Damaskus untuk menukar satu gereja besar itu dengan empat gereja baru dan menjadikan gereja lama sebagai Masjid. Kaum Kristiani pun menerimanya.
Tak ada kekerasan, penggusuran sia-sia, apalagi ancam mengancam. Semua dilakukan dengan penuh kedamaian dan sukarela. Prinsip saling menghormati dijunjung tinggi. Mungkin karena itu pulalah, perayaan-perayaan upacara keagamaan di masyarakat Suriah dewasa ini berjalan penuh kedamaian. Apa yang ingin saya ceritakan tak lain adalah pesan dari para pemimpin yang namanya tetap abadi hingga sekarang.
Memimpin adalah memberikan teladan, menggerakkan dengan contoh. Bukan dengan retorika. Dan apa yang dilakukan sekarang, baik ataupun buruk, menjadi cerita abadi di masa depan. Itulah refleksi yang perlu direnungi, apa pun peran sosial yang disandang setiap manusia. Selamat menyambut Tahun Baru 2011.
Opini Okezone 31 Desember 2010