Tahun baru 2011 akan segera tiba. Biasanya, banyak hal yang kan diramalkan dan diinginkan, begitu juga dengan keadaan bangsa ini, dari tahun ke tahun diharapkan akan mendapatkan motivasi baru untuk menuntaskan segenap permasalahan bangsa.
Kita bias berpijak dari dunia pendidikan dan karakter siswa. Bagaimana seorang guru secara perlahan bisa membentuk karakter siswanya sehingga kedepannya kita tidak akan meragukan kualitas SDM masyarakat kita.
Plato pernah "mengumbar" pemikirannya tentang Negara cita-cita. Untuk mewujudkan Negara yang harmonis, sejahtera dan berkekuatan. Menurutnya, Negara itu akan sejahtera manakala dipimpin oleh seorang Filosof yang bijaksana. Gambaran filosof dalam hal ini adalah seseorang yang menggunakan logikanya untuk mewujudkan nilai nilai kebenaran dan kebaikan. Sebab menurutnya, hanya orang yang bisa menggunakan dunia fikirannya lah yang bisa memberi keputusan dan kebijakan terhadap kebaikan dan kemajuan negaranya.
Dalam hal ini, paling tidak Plato memberikan penghargaan yang setinggi tingginya terhadap seorang filosof yang ketika pada masa hidupnya seorang filosof menjadi salah satu tempat bertanya masyarakat (guru masyarakat). Selanjutnya seiring perjalanan jarum sejarah berjalan seiring itu pula pergeseran kepentingan berubah, termasuk memberikan penghargaan terhadap jasa jasa seorang guru. Guru adalah sosok teladan. Di Indonesia sudah diterapkan wajib belajar minimal 9 tahun. Ini berarti, guru ditugaskan untuk membina anak didiknya secara langsung minimal selama 9 tahun. Selama 9 tahun pula seorang guru lah yang mempoles, memberi pengertian, pembelajaran, pemaknaan akan nilai hidup, keberhasilan, etika bahkan sampai wilayah wilayah yang kecil dalam proses belajar mengajar. Maka, secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa pendidikan masa depan masyarakat berasal dari sosok guru yang bergaul langsung bertahun tahun di bangku sekolah.
Menarik apa yang dituliskan Parlindungan Marpaung dalam bukunya Fulfilling Life ketika ia menggambarkan nilai dan sikap sebuah keteladanan. Dalam ceritanya, ada seorang ibu merasa bingung karena gigi anaknya mulai banyak yang berlubang karena begitu doyan makan permen, lalu si ibu mendatangi seorang sufi yang disegani banyak orang. Harapannya ketika nanti si anak dinasehati sang sufi ia akan berhenti makan permen. Sufi pun bertanya, apa yang bisa saya Bantu bu.., begini, sahut ibu tadi. Anak saya suka makan permen, akibatnya, gigi anak saya sudah mulai banyak yang berlobang. Tolong nasihati anak saya, karena sufi orang yang disegani.
Sang sufi tidak melakukan apa apa, justru ia menyuruh pulang si ibu dan anaknya, dan kembali lagi setelah dua minggu. Setelah dua minggu berlalu si ibu dan anaknya kembali lagi, sufi bertanya, bagaimana buk.. sudah ada perkembangan, belum pak, malahan makan permennya semakin banyak. Lalu sufi memanggil si anak tersebut dan menasehatinya. Singkatnya, setelah dua bulan berlalu semenjak sufi menasehati anak tadi, mereka pun bertemu kembali. Lalu sufi kembali bertanya tentang perkembangan si anak. Lalu si ibu dengan perasaan gembira mengatakan kalau anaknya tidak pernah makan permen lagi.
Pertanyaannya, kenapa sang sufi tidak langsung menasehati si anak ketika pertama bertemu. Ternyata sang sufi ketika pertama kali bertemu dengan si ibu dan anaknya tersebut masih suka dan sering makan permen. Sang sufi merasa tidak baik jika ia melarang sesuatu hal tapi ia masih mengerjakannya.
Begitulah pentingnya nilai sebuah keteladanan yang harus dimiliki setiap guru. Dan keteladanan tersebut harusnya dihargai tidak hanya dengan sebuah penghargaan " setengah hati ". Guru salah satu sosok teladan bagi murid-muridnya. Tidak sedikit murid yang termotivasi dari sikap, kepribadian sang guru hingga akhirnya si murid bisa meraih sukses dalam karirnya. Oleh karenanya, tidak boleh dinafikan nilai keteladanan guru dengan hanya memberi penghargaan kepada mereka sebatas simbolik dan seremonial belaka.
Sudah selayaknya pemerintah memberikan penghargaan konkrit bagi para guru atas jasa jasanya, baik secara moril maupun formil. Hendaknya jangan lagi terdengar ungkapan dan selentingan cerita mengenai guru dengan segala kekurangannya, guru dengan ketidak berdayaannya, dan guru dengan kemiskinannya. Analogi sederhana yang sering diungkapkan manakala setiap kali mengadakan acara seremonial memperingati hari guru adalah " dari mana asalnya bupati, anggota DPR, Menteri bahkan Presiden, jika tidak dari bangku sekolah ". Ungkapan ini tentunya sudah cukup kuat untuk menjadi alasan betapa nilai sebuah penghargaan terhadap guru tidak boleh dipandang sebelah mata saja.
Guru dan Tanggung Jawab Moral
Ketika etika siswa dianggap sudah tidak lagi pada tempatnya, maka yang menjadi tumpuan kesalahan adalah guru, tidak jarang guru diberhentikan karena dianggap tidak mematuhi etika guru dan dianggap tidak memberikan contoh yang baik. Tidak jarang pula dikatakan bahwa pendidikan korupsi, kolusi dan nepotisme berawal dari bangku sekolah. Apakah ini juga bagian dari beban dan tanggung jawab guru yang disandang demi sebuah nilai yang layak terhadap guru.
Peran kedua bagi seorang guru yang juga tak kalah pentingnya adalah mendidik moral siswa agar sebanding ilmu dan etikanya. Etika siswa biasanya terbentuk bukan dari materi ajar yang disampaikan ketika diadakannya proses belajar mengajar, namun etika siswa akan terbentuk seiring perkenalan, kedekatan dan hubungan guru dengan muridnya, kebiasaan mencontoh guru akan menjadi masukan yang maksimal terhadap prilaku siswa. Seorang guru yang suka marah dikelas bisa memberikan bius kepada siswanya diluar kelas. Bisa jadi siswa tersebut juga suka marah.
Oleh karenanya, pendidikan moral bagi siswa juga menjadi tanggung jawab moral bagi guru. Meskipun secara formal tugas guru hanya mengajarkan ilmu yang menjadi konsentrasinya. Pendidikan moral yang diberikan guru akan menjadi solidaritas dan kepedulian moral dari guru terhadap siswanya. Oleh karenanya, peran dan tanggung jawab seorang guru akan menjadi lebih berat dan serius demi masa depan siswa dan anak bangsa yang akan melanjutkan generasi pembangun bangsa kelak. Bagaimana sekiranya guru hanya mementingkan tugas formalnya saja sebagai pengajar tanpa memperdulikan pendidikan moral siswanya. Hal ini juga akan menjadi masalah serius bagi kemajuan bangsa kedepannya.
Menarik apa yang di tuliskan Jarot Wijanarko dalam bukunya Kisah kisah Menciptakan Nilai tentang nilai sebuah guru yang menjadi contoh. Dalam tulisannya, Jarot menceritakan bahwa ada seorang bapak yang memiliki seekor burung Beo, belakangan ia heran sebab burung Beonya sering batuk. Ia cari-cari penyebabnya dan sudah berkali kali diperiksakan ke dokter hewan tidak juga bisa disembuhkan. Lalu si bapak berinisiatif ia berhenti merokok karena ia kuatir asap rokoknya lah yang menyebabkan Beonya batuk. Ternyata ide si bapak ampuh, burung Beo itu tidak lagi batuk.
Namun, Beo itu berhenti batuk bukan karena tidak lagi terkena asap rokok si bapak, melainkan disebabkan si bapak tidak lagi batuk karena telah berhenti merokok, dan burung Beo yang memang selalu meniru apa yang diomongkan tuannya tidak lagi batuk.
Anekdot sederhana tersebut memberikan gambaran tentang peran moral seseorang yang menjadi ikutan, tumpuan dan bahkan guru dari orang lain. Kecenderungan yang sering terjadi, seorang murid sedikit banyaknya akan mengikut apa yang biasa dilakukan gurunya. Jika itu baik, maka dampaknya baik, sebaliknya, jika hal tersebut buruk, maka itulah yang menjadi cikal bakal buruknya moral siswa.
Oleh karenanya, akan menjadi tanggung jawab yang penuh dan serius bagi seorang guru terhadap keberhasilan siswa tidak hanya dari prestasi belajar, namun harus menyentuh pada wilayah moral, kepribadian, etika dan akhlak. Akan menjadi kewajiban seorang guru untuk memberi pendidikan moral bagi siswanya. Sebab, masalah bangsa saat ini tidak lagi pada wilayah kebodohan yang sifatnya prestasi belajar, kepintaran dan wawasan, namun sudah beranjak pada wilayah kekurangan moral dan etika yang baik.
Maka, selayaknyalah penghargaan terhadap guru harus bisa di apresiasi tidak hanya sebatas penghargaan seremonial belaka, tapi penghargaan terhadap kualitas kesejahteraan hidup dan kesejahteraan sosial di tengah-tengah masyarakat. Slogan guru yang sederhana, harus diubah menjadi guru yang bermartabat. Tidak ada lagi guru yang nyambi sambil narik becak, tukang parkir yang semua itu bisa meruntuhkan martabat seorang guru. Padahal, peran besar guru dalam mencerdaskan bangsa sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan mengapa ia perlu disejahterakan.
Kepadamu, guru-guruku, kupersembahkan doa terdalam, semoga ketulusanmu mengajarkanku mulai bisa membaca huruf demi huruf, hingga saat ini aku bisa membaca alam ini, dari mulai kau mengajarkan hitungan angka, hingga aku bisa menghitung keuntungan duniawi ini dan semua hal yang kau ajarkan kepadamu menjadi amal jariyahmu yang bisa mengantarkanmu ke-Syurga Tuhan nantinya. Kepadamu guru-guru-ku, jasa-jasamu sudah kupatri dalam hatiku ini. Kepadamu guru-guruku.***
Penulis adalah Kepala Madrasah Aliyah laboratorium Medan, Dosen IAIN-SU.
Opini Analisa Daily 31 Desember 2010