30 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Nggege Mangsa

Nggege Mangsa

DALAM etika dan filsafat Jawa dikenal ungkapan aja nggege mangsa. Aja berarti jangan, nggege berarti mempercepat atau mendahului, dan mangsa itu waktu. Secara harfiah, ungkapan aja nggege mangsa itu adalah jangan mendahului waktu.

Aja nggege mangsa terkait dengan sikap hidup, jati diri seseorang sebagai individu, dan sebagai makhluk sosial ciptaan Yang Maha Pencipta. Ungkapan itu mengandung nasihat, agar dalam upaya mencapai cita-cita, seseorang harus mampu mengendalikan diri.

Pengendalian diri, dalam etika Jawa diungkapkan dengan peri bahasa aja grusa-grusu, aja kebat kliwat gancang pincang, yang berarti jangan bertindak tergesa-gesa karena tindakan tergesa-gesa hanya menghasilkan sesuatu yang tidak baik.

Ungkapan lain yang mirip dengan aja nggege mangsa adalah aja ndhisiki kersane Sing Gawe Urip. Artinya, jangan mendahului kehendak Yang Maha Pencipta. Hidup itu harus menyelaraskan dengan perjalanan waktu, harus menapaki proses yang memang harus dijalani (management by process), bukan sekadar mencapai tujuan (management by objective).

Dalam kerangka pikir tersebut maka keberhasilan merupakan perjalanan (success is journey), bukan tujuan (success is destination). Maka orang Jawa selalu mengingatkan kita untuk tidak mudah terkejut (aja kagetan), tidak cepat terheran-heran (gumunan), dan tidak mentang-mentang karena sudah mencapai sesuatu tahapan dalam kehidupan (aja dumeh).

Itulah sebabnya, orang Jawa selalu mengingatkan, janganlah kita terlalu mengandalkan otak dalam bertindak, melainkan otak itu harus dipimpin oleh rasa (yang didasarkan pada hati nurani). Pertimbangan rasa tersebut akan mengarahkan kita pada tindakan penuh perhitungan, apakah tindakan kita akan menghasilkan kemaslahatan atau justru kerugian.

Dalam konteks etika Jawa itu, maka euforia (perasaan senang) yang berlebihan harus dihindari. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah mbungahi, dari kata bungah (atau senang). Orang Jawa percaya, bahwa mbungahi adalah tanda-tanda seseorang akan mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan di kemudian hari. Itulah sebabnya, filosofi Jawa mengajarkan, bahwa sesungguhnya bungah susah iku padha wae (senang dan sedih itu sama saja).

***

SEKARANG, marilah kita telaah kegagalan tim nasional (Timnas) sepak bola kita menjuarai ASEAN Football Federation (AFF) dari kacamata etika Jawa tersebut. Pertanyaannya, apakah salah satu penyebab kegagalan itu bukan sikap pemerintah, berbagai pihak, dan masyarakat, yang nggege mangsa? Bukankah sikap itu, disertai euforia berlebihan, yang kita tunjukkan selama ini?

Pada saat Timnas lolos babak kualifikasi, masuk semifinal, dan akhirnya final, pemerintah dan masyarakat sudah merasa bahwa itulah prestasi yang gilang-gemilang, yang seolah-olah otomatis akan membawa Timnas ke puncak juara. Euforia secara berlebihan muncul, bonus kepada para pemain berdatangan, sambutan sangat meriah mereka terima, termasuk harus mengikuti berbagai upacara dan doa di mana-mana. Olahraga kita selalu saja direcoki masalah nonteknis.

Semua itu memang tidak salah, tetapi keliru karena bisa mengakibatkan pemain lelah dan agak abai pada konsentrasi permainan. Itulah sikap nggege mangsa, yang sudah merasa cita-cita tercapai padahal perjalanan masih menuntut perjuangan lebih keras lagi. Nggege mangsa terjadi ketika seseorang merasa sudah mencapai puncak padahal belum, sehingga akan mengalami antiklimaks. Antiklimaks itu terjadi di Stadion Bukit Jalil, 26 Desember dan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 29 Desember 2010.

***

KEGAGALAN Timnas sepakbola kita hanyalah sebagian dari cermin mental nggege mangsa bangsa ini. Masih banyak lagi mental seperti itu yang terjadi di berbagai bidang, bukan hanya olahraga, melainkan juga politik, ekonomi, dan budaya.

Mental itu merupakan potret kelemahan bangsa ini, yang terjebak pada orientasi jangka pendek (alias ingin mendahului waktu, alias nggege mangsa). Mental itu pula yang menyebabkan kita tertinggal dari bangsa-bangsa lain, karena bangsa-bangsa lain itu lebih berorientasi jangka panjang.

China misalnya, sudah mempersiapkan pertumbuhan ekonominya sejak menjalankan ekonomi tertutup puluhan tahun silam dan membelalakkan mata dunia dengan angka pertumbuhan menakjubkan begitu ekonominya terbuka. Malaysia pun sudah merencanakan pembangunan bangsanya sejak lama lewat pembenahan pendidikan di masa pemerintahan Mahathir Mohammad. Begitu pula, bangsa-bangsa lain yang sekarang lebih maju dari kita.
Bangsa Indonesia? Lebih mengutamakan orientasi jangka pendek dan berkutat pada masalah yang tidak urgen, ya seperti faktor-faktor nonteknis yang turut andil dalam kegagalan Timnas sepakbola itu.
Kesimpulannya? Bangsa kita memang belum bermental juara. (10)

— Adi Ekopriyono, Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation

Wacana Suara Merdeka 31 Desember 2010