Bergulirnya era reformasi dan seiring tumbangnya tirani Soeharto telah menggiring negara ini ke dalam euforia kebebasan dalam berbagai bidang.
Salah satu contohnya adalah adanya jaminan kebebasan dalam berserikat dan berkumpul, hak yang nyata-nyata diberangus selama Orde Baru. Implikasinya, bagai jamur di musim hujan, partai politik tumbuh dan berkembang. Tak ayal, tiga kali pelaksanaan pemilu masa reformasi selalu diikuti puluhan partai. Pemilu 1999-48 parpol, 2004-24 parpol dan 2009-44 parpol + 6 partai lokal.
Banyaknya parpol yang ikut pemilu dengan sendirinya berimplikasi terhadap jumlah parpol yang mendapat jatah kursi di parlemen. Seperti saat ini, tercatat ada tujuh fraksi di DPR. Banyaknya fraksi ternyata mengakibatkan lambannya kinerja DPR.
Berbagai pertentangan dan politik kepentingan cenderung mendominasi setiap sidang-sidang DPR. Berdasarkan kenyataan ini, belakangan muncul gagasan untuk menyederhanakan jumlah parpol, baik yang menjadi peserta pemilu maupun parpol yang berhak mendapat kursi di parlemen.
Walau setiap pemilu sudah diusahakan berbagai cara untuk mengurangi parpol memlalui electoral treshold dan parliamentary treshold termasuk dengan mempersulit pendirian parpol, namun kenyataannya jumlah parpol tetap tak bisa dibendung. Bahkan sistem presidensial yang kita anut saat ini pun tersandera dalam bingkai sistem multipartai ‘kebablasan’.Multipartai dan Setgab
Terpilihnya SBY sebagai presiden untuk keduakalinya telah menimbulkan babak baru dalam dunia politik tanah air. Betapa tidak, pasangan SBY-Boediono mendapat legitimasi sangat kuat dengan meraih dukungan 60 persen lebih rakyat Indonesia.
Dukungan di parlemen lebih dahsyat lagi. Tercatat 75,5 persen kursi masuk dalam kelompok koalisi pemerintah yang berasal dari enam partai politik seperti Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan PKB. Sedangkan kelompok oposisi hanya menyisakan PDIP, Hanura dan Gerindra atau hanya sekitar 24,5 persen kursi.
Bukan hanya itu, untuk bisa mengkoordinasikan partai-partai koalisi, pemerintah juga membentuk sekretariat gabungan (setgab) partai koalisi pemerintah. Hal ini dianggap penting sebagai sebuah forum permusyawaratan bagi partai koalisi sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan atau menanggapi isu-isu yang sedang hangat dan menuntut sikap tegas pemerintah.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dukungan besar dalam hitungan matematis, ternyata tidak mampu memuluskan setiap langkah pemerintah. Pembentukan setgab juga belum mampu menjinakkan partai koalisi. Yang terjadi, justru Setgab menjadi sumber baru perpecahan partai koalisi.
Begitu seringnya partai politik yang tergabung dalam setgab berdiri di dua kaki menjadi penyebabnya. Masing-masing partai tetap punya trik dan intrik tersendiri agar tidak terkesan terbelenggu dalam kungkungan setgab. Belum lagi ketika ada kecemburuan dari beberapa partai koalisi yang merasa dinomorduakan dalam setiap pengambilan keputusan di setgab (Media Indonesia, 22/12)Intrik Elit
Tercatat beberapa contoh kasus yang menjadi bukti nyata betapa kehidupan politik di tahun 2010 dipenuhi berbagai intrik. Bukan hanya partai koalisi, namun juga partai oposisi. Beberapa kasus tersebut misalnya, bagaimana manuver-manuver partai koalisi selama pembahasan kasus bailout Bank Century yang akhirnya meloloskan opsi C sebagai pilihan sidang paripurna DPR. Padahal, dalam hitungan matematis, seharusnya partai pemerintah akan sangat mudah memenangkan voting tersebut.
Jika dicermati, membelotnya beberapa partai koalisi seperti Golkar, PKS dan PPP hanyalah sebagai intrik para elit untuk menaikkan posisi tawar mereka di mata SBY. Dan ternyata, walau DPR telah mengamini telah terjadi pelanggaran dalam proses bailout Bank Century, dukungan politik DPR dalam mengawal kasus tersebut di tangan penegak hukum justru melemah.
Diduga, ada barter politik di kalangan elit. Terbukti, kasus Bank Century seakan hilang ditelan bumi setelah Sri Mulyani ‘dilengserkan’ dari kursi Menkeu.
Sebagai serangan balik, politik intrik selanjutnya dimainkan Partai Demokrat terkait dugaan suap dana perjalanan (traveler’s cheque) pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, Miranda Goeltom, yang melibatkan 26 politisi dari dari beberapa partai seperti PDIP, Golkar dan PPP. Kasus ini menjadi aneh karena KPK hanya menjerat tersuap tanpa pernah menyentuh penyuap.
Intrik selanjutnya adalah bagaimana permainan politik yang terjadi dalam hebohnya kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Jika diruntut alur perkaranya, kasus tersebut akan menyeret beberapa elit politik salah satunya adalah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Menurut pengakuan Gayus, mantan pegawai golongan IIIA Depkeu tersebut telah menerima kucuran puluhan miliar dana sebagai balas jasa atas penerbitan SPT palsu tiga perusahaan yang tergabung dalam Bakrie Group yang diduga melakukan pengemplangan pajak. Pendapat lain langsung beredar. Justifikasi atas keterkaitan Aburizal Bakrie dalam kasus mafia pajak dan plesiran Gayus ke Bali hanyalah sebagai usaha untuk menjegal Aburizal dalam pertarungan kursi Presiden 2014 mendatang.
Hal yang sama juga terjadi kepada Sultan Hamengku Buwono X terkait RUU Keistimewaan Yogya. Menurut beberapa pihak, RUU yang terkesan dipaksakan itu hanyalah untuk mengeleminisir fungsi Sultan HB X dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan di DIY. Hal ini pun cenderung dianggap sebagai intrik dari partai tertentu demi menggurangi pamor Sultan dalam pilpres 2014.
Begitulah, satu tahun penuh negara ini disandera berbagai intrik politik demi interest politik masing-masing. Usaha mengawal kasus tertentu bukan murni untuk menuntaskan kasus tersebut. Namun cenderung untuk menjerat lawan politik dan menaikkan posisi tawar partai yang bersangkutan. Itulah politik, penuh intrik. Sebab tanpa intrik, bukanlah politik. Entah sampai kapan.***
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UGM. Anggota forum diskusi Pusat Kajian (PuKAT) Antikorupsi FH UGM
Opini Analisa Daily 31 Desember 2010