Haji Raden Hidayat Suryalaga, di dunia maya populer sebagai Abah Surya adalah guru bagi para pemula yang "mencari" Sunda. Lahir di Ciamis, 16 Januari 1941, ia wafat dipanggil Sang Khaliq pada Sabtu, 25 Desember 2010. Banyak yang kaget dengan kepergiannya yang tiba-tiba itu. Rabu ia menjadi pembicara dalam diskusi di Aula Pikiran Rakyat. Esoknya ia memberikan paparan mengenai Sunda di depan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan. Tak ada yang menduga kalau Abah Surya mengidap gangguan lever yang akut. Ia seperti sakit biasa-biasa saja lazimnya orang tua, batuk. Rupanya ia tak ingin mengecewakan setiap pihak yang mengundangnya.
Bagi nonoman Sunda yang ingin mengenal budayanya, Abah Surya akan menjadi referensi di urutan teratas. Selaku guru, ia menerima setiap murid dengan senyum khasnya dan keramahan yang membuat setiap orang cepat merasa akrab. Rumahnya di Suka Asih Atas membuat para tetamu merasa at home.
Sepanjang percakapan tentang tema yang beragam, hampir tak pernah telontar kata makian atau panyawad kepada seseorang. Sekalipun ada yang mengadukan perilaku seorang tokoh yang kurang berkenan, Abah Surya akan ngalelempeng, melihat si tokoh dari sudut pandang yang lain. Ia tidak ingin mewariskan kebencian kepada siapa pun.
Awal 1996, ketika kuliah di IAIN, saya mendapat rekomendasi untuk sowan kepadanya. Saya ajak Bambang Q. Anees, Ahmad Gibson, dan lain-lain. Saat itu, Abah Surya sudah menyelesaikan tiga belas juz sari tilawah Nurhidayah.
Setiap Rabu malam, kami datang ke Suka Asih sekitar pukul 20.00 WIB. Saya biasanya kebagian tugas membacakan ayat Alquran yang akan dibahas. Seorang kawan membaca terjemahannya. Lalu denting kecapi dan jerit seruling mengiringi tembang saritilawahnya. Kami yang dari IAIN akan diminta menjelaskan kandungan ayat yang merujuk kitab tafsir atau hadis. Abah kemudian memberikan paparan dari referensi kesundaan. Tanya jawab berlangsung hangat diselingi kudapan roti bakar. Biasanya pada pukul 2.00 WIB dini hari kami pamit.
Suatu hari, pada hari ulang tahunnya yang ke-58 yang bertepatan dengan HUT ke-24 Teater Sunda Kiwari, kami diundang ke Rumentang Siang. Ada acara syukuran yang sederhana. Namun, yang selalu saya ingat, malam itu Abah menyebutkan penulisan saritilawah Nur Hidayah sudah berhasil diselesaikannya. Genap untuk tiga puluh juz. Tanpa terasa, kami telah menemaninya untuk menyelesaikan juz saritilawah tersebut. Setelah itu, ia menggarap Nurul Hikmah, bentuk lain dari saritilawah yang disusun dalam bentuk nadoman/pupujian dan banyak mengadopsi bahasa anak-anak Sunda. Pada 2009 juga telah genap tiga puluh juz. Sungguh dua karya yang paripurna.
Nasihat dari Panjalu
Untuk mengenang kepergian Abah Surya, ada satu informasi yang masih tercatat dalam file komputer saya. Ketika itu menjelang reformasi 1998, Abah berbagi tentang nasihat Embah Panjalu yang diduga kuat sebagai Prabu Hariang Kancana. Nasihat itu terasa masih relevan hingga hari ini.
Ia mengingatkan kita yang suka bertele-tele dan berputar-putar berebut wacana tanpa kerja nyata. Lila teuing idek liher, katanya. Perdebatan tentang konsep perjuangan selalu kandas dalam diskusi dan seminar. Padahal, yang diharapkan adalah siapa yang sebenarnya sudah siap, sayaga-tohaga, untuk berjuang itu. Mengapa tak kunjung dimulai juga. Mengapa tetap tak mau panceg, kukuh lahir batin, menanggung semua risiko sebagai konsekuensi perjuangan.
Lalu dia memberikan sinyal bahwa moal lawas aya nu ngagalaksak. Tak lama lagi akan ada pribadi atau kelompok yang hendak melakukan upaya-upaya destruktif, berusaha menghancurkan kembali fondasi bangsa yang dengan susah payah didirikan. Ancaman huru-hara itu bukan untuk dihindari, tetapi harus dihadapi dengan empat kekuatan.
Pertama, gurat lemah, ikatan keluarga atau etnis. Hal itu berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah (otda) yang diharapkan bukan merenggangkan ikatan antaretnis, tetapi justru harus menjadi kekuatan independen yang saling mengisi. Dalam konteks Jawa Barat, pesan gurat lemah diharapkan menjadi spirit integrasi masyarakat Sunda. Otda tidak dijadikan alasan untuk pajauh huma. Namun, menjadi modal dalam berkompetisi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan Sunda melalui potensi masing-masing daerah.
Kedua, gurat cai, kejernihan cendekiawan/intelektual. Tak bisa dimungkiri di era politik sekarang, peran dan posisi kecendekiaan kerap dipergunakan untuk mendukung kepentingan sesaat. Hal itu berkait dengan mental intelektual yang rentan untuk disusupi berbagai interest. Pesan gurat cai menuntut kejernihan dan keikhlasan para cendekiawan dalam memerankan dirinya.
Ketiga, gurat batu, supremasi hukum dan kewibawaan pemerintah/birokrat. Keduanya hanya bisa terwujud jika aparat hukum dan pejabat birokrasi terbebas dari praktik-praktik KKN.
Keempat, gurat langit, kehendak Yang Kuasa. Kita boleh berharap, pemimpin bisa saja berkeinginan, tetapi jika Tuhan berkehendak lain, harapan itu tak akan pernah terwujud. Nasihat terakhir ini menuntun kita agar selalu menyelaraskan harapan dan cita-cita dengan garis Tuhan yang kita imani.
Empat hal itu rupanya menjadi acuan pula bagi Abah Surya dalam karya-karyanya. Tentang gurat cai, ia selalu mewanti-wanti agar para intelektual konsisten berkarya dan tidak menjadi alat kepentingan sesaat. Kepada anaknya, menjelang wafat ia mengingatkan agar selalu istikamah dalam keislaman dan kesundaan. Dalam Sunda yang dibalut Islam itulah Abah Surya ingin dikenang dan ditempatkan.
Wilujeng angkat guru, semoga Allah SWT menerima semua amal kebaikan dan mengampuni segala kesalahan. Amin. ***
Penulis, peminat kajian budaya Sunda, pernah aktif di Komunitas Nurhidayahan.
Opini Pikiran Rakyat 31 Desember 2010