ANAK kecil itu dengan tekun mencermati berita-berita Koran tentang reaksi gegap gempita para ilmuwan mengenai teori evolusi, dan ia lalu membuat catatan-catatan kecil untuk suatu evaluasi. Di waktu senggang anak kecil bernama Eugene Dubois itu, mengkorek-korek tanah di pekarangan rumahnya, dan menelusuri Sungai Maas untuk sekadar mencari tahu sisa-sisa kehidupan yang pernah ada.
Saku bajunya selalu penuh dengan contoh bebatuan, tengkorak kelinci, dan tulang belulang lainnya. Minat bocah Dubois terhadap masa lalu memang sangat mengagumkan.
Setelah usai menamatkan sekolahnya di bidang kedokteran, ia lalu mendaftarkan diri untuk bekerja di Indonesia. Maka, di akhir tahun 1887 dengan kapal The SS Princess Amalia, dia merapat di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang.
Kedatangannya di bumi Sumatera bukan tanpa alasan. Dorongan yang sangat kuat untuk menelusuri jejak missing link yang digemparkan banyak orang dalam kaitannya dengan teori evolusi Darwin, memaksanya pergi ke Indonesia. Karena ia yakin, missing link itu ada di sana.
Obsesinya yang kuat itu makin terlecut setelah ia membaca tulisan Alfred Russel Wallace, seorang biolog asal Inggris di tahun 1869. Makin banyak membaca berbagai buku tentang geologi dan sejarah, makin yakinlah bahwa ia akan menemukan missing link di bumi Indonesia.
Dua tahun lebih ia mengeksplorasi gua-gua di Sumatera Barat, tapi tulang belulang yang ia temukan bukanlah yang diharapkan. Tahun 1889 ia mendengar kabar dari Jawa Timur, tentang penemuan fosil manusia purba berusia 40.000 tahun dari Desa Campur Darat, Tulungagung. Fosil ini kemudian dikenal dengan sebutan manusia Wadjak.
Dubois lalu pindah ke Tulungagung dan berhasil menemukan tengkorak Wadjak yang kedua. Dan, semangatnya makin membara ketika ia menggali endapan purba di dasar Sungai Bengawan Solo yang mongering, di Desa Trinil, Ngawi.
Di sana, ia menemukan banyak fosil. Mulai dari gigi primata purba, ratusan fosil binatang, batu cokelat kehitaman menyerupai cangkang kura-kura, atap tengkorak, tulang paha kiri manusia dan banyak fosil lainnya.
Dia yakin sebagian besar temuannya berasal dari manusia yang menyerupai kera. Maka, sejak itu diumumkanlah penemuan Pithecanthropus erectus, manusia kera yang berjalan tegak.
Sejak itu, nama Pithecanthropus erectus dan Tanah Jawa bergema nyaring di dunia ilmiah, dan kisahnya ditulis dengan tinta emas dalam lembar-lembar publikasi dunia.
Sayang sekali, Darwin tidak pernah mendengar pembuktian teorinya oleh Dubois, karena ia meninggal pada tahun 1882.
Menjawab Dunia Dubois tidak sendiri, Harry Widianto dan Truman Simanjuntak dalam bukunya ”Sangiran Menjawab Dunia” menulis juga tentang kiprah tokoh lain selain Dubois. Ada Ernst Haeckel, seorang naturalis Jerman dan Charles Lyell, seorang geolog akbar saat itu.
Dalam bukunya, The History of Natural Creation, 1874, Haeckel menulis, manusia pada awalnya muncul dalam bentuk primitif, Homo primigenius yang didahului dengan mata rantai yang terputus : sejenis manusia yang secara fisik mirip monyet, tanpa artikulasi bahasa dan karenanya disebut Phitecanthropus alalus (bisu).
Dia juga dengan gigih mempertahankan ide-ide Darwin, dengan mencoba membangun suatu pohon silsilah manusia, yang bermula dari segumpal protoplasma dan berakhir dengan orang Papua modern, dengan sangat hipotetis.
Sangiran ada, karena ketiga tokoh dunia itu. Ketiga tokoh ini yang kemudian disebut sebagai orang-orang yang ”Menemukan Jawa”. Berkat jasa ketiganya, tidak hanya para antropolog, geolog, atau ilmuwan sejarah dan budaya yang bisa melihat Jawa di Sangiran. Tetapi juga semua mata dunia bisa melihat sebuah peradaban manusia dalam kemasannya yang menawan.
Dan temuan para ahli itu kini tersimpan di Musem Sangiran, Sragen. Sebuah museum besar yang pada tahun 1996 tercatat sebagai salah satu warisan budaya dunia di World Heritage List Unesco, dengan nama Sangiran Early Man Site.
Ahli Paleoanthropology, Prof Dr Dominique Grimaud-Herve menyebut, situs Sangiran sebagai impian semua ahli paleoanthropology dunia.
Museum Sangiran kini tidak hanya dikenal sebagai pusat informasi situs peradaban dunia, dengan meletakkan penemuan-penemuan sejenis dari berbagai daerah di Indonesia.
Bumi Sangiran telah memberikan lebih dari 50 % populasi homo erectus di dunia, yang disimpan di beberapa klaster yakni Klaster Krikilan, Klaster Ngebung, Bukuran dan Klaster Dayu.
Museum yang dikemas sebagai museum scientiofic cultural ini pantas disejajarkan dengan museum top di belahan dunia lainnya. Museum ini telah menjawab dunia, yang ingin melihat Jawa masa lampau, dan Sangiran pantas disebut sebagai The Homeland of Java Man. (10)
Eko H Mudjiharto, wartawan Suara Merdeka di Semarang.
Wacana Suara Merdeka 31 Desember 2010